Dengan mengucap basmallah dan bekal uang secukupnya, aku pun berangkat ke Ibukota. Tentu saja niat utamanya kuliah, tapi ternyata jalan yang harus aku tempuh tidak semulus yang dibayangkan. Beruntung aku punya Kakak sepupu, A Ihin dan Ceu Adah, yang tinggal di Jakarta, tepatnya di Sukabumi Udik Kebayoran Lama, meski masih ngontrak saja...aku berhutang budi sekali atas kebaikan mereka berdua yang untuk pertama kalinya memberikan tumpangan.
Aku sering bertukar pikiran dengan A Ihin dan Ceu Adah tentang rencana kuliahku, selain kami juga sering bertukar ilmu, A Ihin mengajariku bermain gitar, dan sebagai imbalannya aku diminta mengajarinya Kitab Alfiyya, tentang tatabahasa Arab...A Ihin saat itu memang seorang seniman yang kental nuansa Islamnya, skripsinya saja tentang musikalisasi Al-Quran, kalau tidak salah...
Aku tentu saja tidak mungkin hanya ucang-ucang angge di rumah A Ihin dan Ceu Adah. Aku harus mencari penghasilan sendiri. Tapi seperti yang sering orang bilang, :...Jakarta memang kejam, siapa suruh datang ke Ibukota! Tidak mudah mencari uang di Jakarta, aku pun nekat melakukan apa saja, ”...asal halal...”, pikirku!
Dengan bekal gendongan rokok pinjaman dari A Ihin, setiap hari aku berjalan kaki menyusuri jalan Kebayoran Lama sampai Tanah Abang sambil berteriak: ”...rokok...rokok...permen....”. begitulah, aku menjadi pedagang asongan demi mencari ”sesuap nasi”.
Aku jalani ”profesi” itu dalam beberapa bulan...aku masih ingat, seringkali pagi hari Ceu Adah mengantar kepergianku dengan tetes air mata haru, ”...duh, bertahun-tahun mesantren kok malah jadi pedagang asongan, sabar aja yah, insya Allah suatu saat akan lebih baik...” begitu kira-kira Ceu Adah sering menasihatiku...aku pun sering menangis dalam hati, ”...kalau cuma akan menjadi penjaja rokok, kenapa harus capek-capek belajar di pesantren...” begitu keluhku. Tapi sudahlah, aku anggap ini hanya batu loncatan saja, mungkin lebih baik aku jalani saja hidup ini bagai air yang mengalir...
Syukurlah, dengan menjadi pedagang asongan, aku punya penghasilan sendiri, mau tahu berapa? Setiap hari aku berhasil mengumpulkan uang rata-rata Rp. 10.000,- atau paling banyak Rp 15.000,-, tapi karena modalnya milik Kakakku, penghasilan bersihku hanya 10%, jadi sekitar Rp 1000,- sampai Rp 1.500,- saja setiap harinya. Pelan-pelan aku simpan uang itu di tabungan, tentu saja tidak disimpan di Bank, karena terlalu kecil, Ceu Adah lah yang mengatur dan menyimpannya.
Atas saran A Ihin, untuk menambah penghasilan, aku pun menjajakan permen ke warung-warung di sekitar tempat tinggal, aku simpan beberapa bungkus, minggu berikutnya aku tengok lagi, dan pemilik warung membayar permen yang terjual...lumayan juga, yang penting aku bisa berbangga karena punya penghasilan sendiri...
Nasibku saat itu jauh lebih baik dari Mang Kiman, kawan yang senasib menjadi pedagang asongan, sialnya, suatu hari ketika sedang berwudlu untuk shalat Zuhur di Kebayoran Lama, gendongannya dicuri orang, sungguh keterlaluan si Pencuri! orang susah kok dibikin masih susah....
Aku tak akan lupa, awal tahun 1989, melalui usaha A Ihin pula, aku mendapat informasi di koran tentang lowongan kerja di sebuah Penerbit buku, Kalam Mulia. Posisi yang dibutuhkan adalah sebagai editor bahasa Arab. Aku pun memberanikan diri melamar dan ikut tes, bersaing dengan beberapa mahasiswa IAIN Ciputat dan Insitut Ilmu Al-Quran (IIQ). Alhamdulillah, hanya aku yang lulus! Aku pun sangat berbangga, kali ini aku berfikir, ”...ah, ternyata tidak sia-sia bertahun-tahun mesantren, kemampuanku tidak kalah dibanding mahasiswa...”.
Bulan berikutnya aku pun ”naik pangkat”, dari seorang pedagang asongan menjadi editor bahasa Arab dan karyawan kantoran. Lumayan, kalau biasanya penghasilanku Rp 1.000,- per hari, atau sekitar Rp 30.000,- per bulan; kini aku mendapat gaji Rp 80.000,- per bulan, plus uang makan Rp 2000,- per hari, ditambah pula fasilitas penginapan di Mess Perusahaan. Aku bersyukur dan menikmati sekali dengan pekerjaanku kali ini karena aku merasa lebih bisa memanfaatkan hasil jerih payahku belajar ilmu bahasa Arab di pesantren selama bertahun-tahun. Tugasku saat itu adalah menjadi ”palang pintu” semua buku, termasuk kitab suci Al-Quran, yang akan dicetak. Aku harus memeriksanya kalau-kalau ada teks bahasa Arab yang salah tulis, baik huruf maupun harakatnya...
Bapak dan Mimih pun pernah menyempatkan diri mampir di Messku pada tahun 1989 itu. Mereka yang dulu tidak terlalu rela melepasku ke Jakarta karena meninggalkan tugas pengajian di Kampung, kini bisa mulai berbangga melihat apa yang aku peroleh...belakangan, aku juga bisa menghubungkan A Dudung yang rajin menulis dengan pihak Penerbit yang kebetulan bersedia menerbitkan karya-karyanya.
Pada masa ini pula aku berhutang budi pada keluarga Ceu Ai dan Kang Nazaruddin, karena aku juga sempat numpang di rumahnya beberapa waktu sebelum aku mendapat fasilitas Mess dari Perusahaan. Ceu Ai dan Akang banyak memberiku motivasi agar bisa bertahan dan terus mengembangkan potensi di Jakarta. Ceu Ai dan Akang sedemikian sabar menampungku meski rumahnya tidak terlalu besar. Sayang, beberapa waktu setelah aku pindah ke Mess, rumah ini malah hangus dalam suatu peristiwa kebakaran, meski tidak ada jiwa yang hilang...nuhun Ceu, nuhun Kang...
Meski aktivitas, penghasilan, dan status sosialku sudah lebih baik, aku tidak pernah berhenti memimpikan menjadi mahasiswa. Selama setahun lebih aku berusaha menyisihkan uang untuk biaya masuk kuliah, karena tahun depan, 1990, tidak ada pilihan lain kecuali harus masuk kuliah, kalau tidak, hanguslah ijazahku...
Usahaku tidak sia-sia, aku berhasil mengumpulkan uang ratusan ribu rupiah, dan cukup untuk membayar biaya pendaftaran kuliah ke IAIN Ciputat, aku lupa jumlah persis biayanya berapa..., aku bahkan bisa membeli sebuah sepeda motor tua, Honda CB seharga Rp 200.000,-, lumayan untuk mobilitas di Jakarta. Saat itu A Uud yang mencarikan motornya di Kuningan. Murah memang, karena surat-suratnya juga sudah mati, alias tidak berlaku lagi! Aku berani membelinya karena Kang Nazarudin bekerja di Polda Metro Jaya dan biasa mengurus surat-surat kendaran bermotor...
Juni 1990, aku terdaftar sebagai peserta tes masuk IAIN Ciputat, senengnya bukan main, meski baru mau tes saja...Malangnya, jalan yang harus aku lalui untuk sekedar ikut tes masuk pun rupanya harus terjal...!. Detik-detik terakhir menjelang waktunya tes, aku mendapat mengalami persitiwa yang nyaris memupuskan semua harapan dan cita-citaku untuk menjadi mahasiswa. Aku ingat, hari itu Rabu sore, aku masih pulang kerja dari Penerbit dan pulang langsung ke Ciputat, aku pun sudah minta izin ke pimpinan Perusahaan untuk tidak masuk kerja keesokan harinya. Saat itu, Aep, keponakanku, sudah duluan menjadi mahasiswa di Fakultas Tarbiyah (Pendidikan), aku pun biasa numpang di tempat kostnya. Malam itu, rencananya aku mau mempelajari bekas soal-soal ujian masuk tahun sebelumnya, sebagai persiapan tes besok hari.
Hanya saja, sore itu ceritanya menjadi lain karena Aep tidak ada di tempat. Celakanya, aku menitipkan Kartu Tanda Ujian di Aep, dan setahuku Kartu itu disimpan di buku agendanya. Menurut kawan sekamarnya, Alfan, Aep sedang ikut camping Pramuka di Cipatuguran Sukabumi, dan buku agenda itu pasti dibawanya. Gile, pikirku...! tidak ada pesan apapun dari Aep, apakah Kartu itu dititipkan atau disimpan di suatu tempat lain. Harap maklum, saat itu belum ada teknologi Hand Phone, sehingga belum bisa kontak melalui pesan singkat (SMS) seperti sekarang...Aku juga tidak tahu dimana itu yang namanya Cipatuguran? Kawan Aep pun sama-sama tidak tahu...
Sampai jam 20.00 aku masih mencoba mencari jalan keluar; aku memang menyimpan salinan Kartu itu, aku pun coba menemui saudara sepepu, Ayi Ade dan Ayi Didin, yang saat itu sudah menjadi dosen di IAIN dan Ayi Ade bahkan menjadi anggota panitia ujian masuk. Harapanku, besok hari, panitia memperbolehkan aku mengikuti ujian masuk dengan membawa salinan Kartunya...Malang nasibku, aku hidup di Indonesia, negara yang sistemnya seringkali lebih cenderung mempersulit daripada mempermudah urusan...! usahaku pun terbentur sistem yang dibuat itu...ah, agak emosional aku waktu itu!
Jam 21.00, aku pun memutuskan mencari dimana itu yang namanya Cipatuguran? Beruntung Alfan berbaik hati menemaniku berboncengan di Motor Honda CB bututku. Awalnya aku sempat ragu, karena sebetulnya hampir dua hari sekali Motorku suka ngadat, kadang-kadang rantainya putus, maklum Motor tua! Tapi aku tidak punya pilihan lain, kuisi tangki bensinnya sampai penuh, karena aku tidak akan tahu seberapa jauh perjalanan malamku ini...
Singkat cerita, setelah bertanya puluhan kali, aku pun nyampe di tempat yang disebut Cipatuguran, Sukabumi itu. Aku tidak tahu berapa kilometer jarak yang telah aku tempuh, yang jelas, dengan kecepatan kira-kira 50 km per jam, aku tiba di Cipatuguran jam 02.00 dinihari! Aku pun nekat mengetuk pintu sebuah rumah yang ada tulisan ”Ketua RT” untuk menanyakan apakah ada rombongan anggota Pramuka yang sedang camping di daerah ini...Beruntung, Pak RT berbaik hati untuk mengantarkanku ke lokasinya yang ternyata di pinggir pantai.
Aku pun membangunkan Aep yang saat itu sedang tertidur lelap...”dimana Kartu Ujian Masuk yang aku titipkan? Besok aku membutuhkannya” ujarku. Aep malah terkaget-kaget, mungkin karena baru bangun tidur, atau karena lupa pernah dititipin Kartu itu. Setelah beberapa saat mengumpulkan kesadarannya, barulah Aep bilang: ”...waduh, Kartu itu aku pindahkan ke buku lain, kalau tidak salah buku Fiqh”...Alamaak! ternyata kartu itu tidak ada di Cipatuguran...aku pun tidak membuang-buang waktu di tempat itu, aku segera bergegas kembali pulang, mengingat waktu tempuh Cipatuguran-Ciputat yang sekitar 5 jam. Aku harus sudah ada di Ciputat sebelum jam 7 pagi...
Motor CB aku pacu secepat mungkin, meski mata mengantuk luar biasa...di sebuah persimpangan aku menabrak pinggir tebing akibat kantuk yang tak tertahankan! Beruntung hanya tali kopling Motorku yang putus...aku pun memutuskan istirahat sejenak sambil minum kopi di sebuah warung di pinggir jalan; setelah itu, aku kembali memacu Motorku, kali ini tanpa tali kopling! bayangkan saja betapa susahnya aku mengendarai motor dengan perseneling manual tanpa tali kopling....setiap habis berhenti dan mulai jalan, aku turun, lalu aku dorong sambil memasukkan perseneling ke gigi dua, dan setelah bunyi, aku dan Alfan pun loncat ke atasnya.....bak di filem saja!
Jam 6.00 pagi aku tiba di Ciputat, pas bensin motorku habis, aku pun menuntunnya ke pom bensin terdekat...tiba di tempat kost, aku tidak segera mencari buku yang disebut oleh Aep itu, karena aku muntah-muntah dan tidak enak badan, mungkin masuk angin, lagi pula aku pikir bukunya sudah pasti ada, dan kartunya pasti terselip di situ...Ternyata dugaanku meleset, bukunya memang ada, tapi tidak ada Kartu di dalamnya! Badanku lemas, nyaris pupus harapanku, jam sudah menunjukkan angka 7! Atas saran Alfan, aku memutuskan membongkar semua buku-buku Aep di lemarinya.....! akhirnya, kutemukan juga Kartu itu di buku yang lain...dasar si Aep!
Aku pun bergegas ke kampus, aku tidak bisa konsentrasi, mataku mengantuk berat, beruntung jadwal hari pertama ujian adalah bahasa Arab, bidang yang aku tekuni dan pelajari selama bertahun-tahun, jadi aku bisa mengerjakannya meski sambil sedikit mengantuk..saat istirahat tiba, aku benar-benar tertidur di atas rumput lapangan kampus, mungkin aku akan kehilangan jadwal berikutnya dan tidak jadi mahasiswa jika bel tanda masuk kelas lagi tidak membangunkanku...!
Alhamdulillah, singkat cerita aku dinyatakan lulus dan resmi menjadi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN (kini namanya UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Aku pun secara resmi mengundurkan diri dari Penerbit Kalam Mulia, meski pada masa-masa awal masih nyambi mengerjakan ”proyek” lay out dan mounting buku-buku yang akan diterbitkan, atau menjualkan buku-buku terbitannnya ke toko-toko, sekedar menyambung penghasilan bulanan sebelum ada sumber penghasilan lain...
Saterasna....
KULIAH, BERPRESTASI, DAN BERDIKARI...
April 14, 2007
Bergulat dengan Kejamnya Ibukota: Pedagang Asongan
Posted by Oman Fathurahman at 4/14/2007 05:58:00 PM
Labels: Dongeng Si Encep
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment