August 26, 2007

'Ustaz' yang Kebablasan...

Tanpa sengaja, beberapa hari lalu anakku nemu sebuah link video di YouTobe mengenai ceramah agama seorang Ustaz, sebut saja 'R'. Aku tidak tahu persis di mana lokasi dia ceramah, tapi pasti di daerah Sunda, dugaanku di Bandung. Aku pun tertarik mendengarkannya.

Awalnya aku tertarik karena mendengar logat Sundanya yang masih kental, maklum telinga Sundaku rupanya masih sensitif, lagian rasanya aku sudah lama tidak mendengarkan ceramah ulama lokal.

Tapi, mengikuti kata per kata ceramah Ustaz ini, telingaku mulai merasa tidak nyaman, isi ceramahnya lebih banyak mengandung provokasi untuk tidak menyukai pemeluk agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani, semua materi dikemukakan dalam kerangka adanya, menurut anggapan dia, teori konspirasi Yahudi-Nasrani untuk menghancurkan Islam. Tentu dia juga mengutip ayat al-Quran, meski bacaannya tidak terlalu fasih untuk ukuran seorang Ustaz, aku mafhum, dia seorang muallaf.

Aku tahu, setiap pemeluk agama harus meyakini kebenaran agama yang dipeluknya. Tapi aku tidak pernah setuju kalau cara mengajak untuk meningkatkan iman itu melalui hujatan dan celaan terhadap agama lain, rasanya lebih baik memperbaiki dapur sendiri daripada menghabiskan energi mengurusi, bahkan menjelek-jelekkan dapur orang.

Ustaz ini seperti sudah menemukan kebenaran yang maha hakiki, seolah surga hanya miliknya, dan seakan tidak rela berbagai surga dengan orang lain, sehingga didoakannya orang lain agar masuk neraka...na'uzubillah min dhalik!

Ustaz ini menurutku juga sangat bias jender, dia beberapa kali menggambarkan perempuan dengan tidak sepatutnya, misalnya mengumpamakan perempuan berpakaian levis ketat dengan seekor ‘munding’ (kerbau).

Tapi dengan begitu, aku jadi tambah penasaran untuk mengklik video sambungan ceramah Ustaz ini, dan ternyata ‘provokasi’nya semakin menjadi-jadi. Dengan dalih harus hati-hati terhadap hal-hal yang mungkin masih syubhat atau bahkan tidak halal, dia menyebut haramnya sejumlah makanan dan minuman, bahkan termasuk minuman air putih kemasan yang menurutnya keuntungannya diperuntukkan bagi ‘orang kafir’.

Puncak ketidakberesan Ustaz ini, yang sempat membuat aku setengah berteriak, adalah ketika ia menghalalkan, dan bahkan menganjurkan, tindakan pemerkosaan terhadap perempuan yang berpakaian menor. Ia bahkan bersumpah akan menjadi orang pertama yang memperkosa di hadapan hadirin, jika saat itu ada perempuan berpakaian menor yang masuk ke arena pengajian. Astagfirullah…..!

Aku tahu, seorang Ustaz perlu bercanda untuk menyegarkan suasana, tapi apa yang dilakukan oleh Ustaz ini menurutku sudah kelewat batas…toh Islam juga mengajarkan kita untuk menyampaikan sesuatu melalui tindakan santun dan kata-kata yang baik. (16: 125).

Aku terus terang menangis dalam batin, mengapa masih ada orang-orang yang tega membodohi umat seperti itu. Aku yakin, untuk membangun kejayaan umat bukan melalui provokasi agar antar agama saling bermusuhan, tapi melalui saling pengertian. Aku jadi berburuk sangka, jangan-jangan Ustaz ini banyak berdusta, dia mengaku telah keliling ke 7 negara (Cina, Korea, Venezuela, Australia, Jerman, Belanda, dan Vatikan) untuk belajar teologi, dan mengaku bahwa rumah mertuanya ada di Belanda, tapi anehnya, menurutnya Paris dan Prancis itu adalah dua negara…!

Aku memang baru bisa mengunjungi beberapa Negara di Asia dan tinggal di Eropa, tapi dengan begitu aku bisa melihat dan merasakan, betapa ada kebaikan di mana-mana; aku bisa belajar bagaimana umat mayoritas memberikan kenyamanan kepada kelompok minoritas; aku merasakan nikmatnya kebersamaan, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau sebagai minoritas aku diancam, dimaki, dan bahkan diintimidasi, meski melalui kata-kata…..

Ah, ini cuma uneg-unegku, aku juga hanya manusia, sudut pandangku bisa keliru, tapi jujur baru kali ini aku mendengar ada Ustaz yang menghalalkan pemerkosaan, meski mungkin cuma becanda……

Salajengna......

August 18, 2007

Percaya Dulu, Urusan Belakangan...

Waktu di Jakarta, aku lumayan sering mendengar Kak Edi, panggilan akrab untuk Prof. Azyumardi Azra, bilang bahwa dalam pola kehidupan sehari-hari, masyarakat kita lebih sering berangkat dari anggapan bahwa seseorang itu tidak jujur, sehingga mereka sering harus selalu waspada jangan sampai 'dikadalin' orang.

Penjual, misalnya, jangan mudah percaya kalau ada pembeli yang belakangan mengembalikan barang yang sudah dibelinya, karena alasan tidak berfungsi maksimal, atau sedikit cacat. Bisa jadi pembeli itu 'ngakalin' karena pengen ganti barang baru, padahal cacatnya bukan karena bawaan sewaktu dibeli.

Kini, semenjak aku menjadi bagian dari masyarakat di Bonn khususnya, dan Jerman pada umumnya, saya merasa bahwa masyarakat di sini lebih sering berangkat dari anggapan bahwa seseorang itu baik, jujur, dan tidak suka 'ngadalin'.

Pernah misalnya...aku membeli dua buah City Roller di Real buat Fadli dan Alif; setelah 10 hari dipake, baut salah satunya lepas entah dimana. Aku tahu ini bukan murni kesalahan pihak penjual, karena harusnya aku juga ngecek baut-baut itu. Lalu, mumpung belum lewat 14 hari, aku memutuskan menukarnya kembali ke Real. Dan, tanpa 'ba bi bu', aku langsung mendapatkan uangku kembali.

Bandingkan misalnya ketika sebelum berangkat ke Jerman, aku membeli sebuah Kamera SLR (Single Lense Reflex) Canon EOS 350D di Mangga Dua, dengan garansi 2 tahun. Saat dipake di Jerman, setiap aku shot gambar, ada goresan tipis membentang di bagian dalam kaca Kamera, yang aku yakin sudah ada sebelumnya.

Dan saat kembali ke Jakarta dua bulan kemudian, aku pun komplain ke penjual. Apa yang terjadi? dia bilang mungkin itu akibat keteledoranku, how come...?! aku pun diminta membayar biaya tambahan jika ingin Kamera itu diganti dengan yang lain. Dan seperti biasa, sebagai konsumen, di Indonesia kita lebih sering dibuat tidak berdaya oleh penjual...

Contoh lain, setelah kami sekeluarga cek kesehatan di dokter Gigi di Siegburg, seperti biasa aku mengirimkan tagihan yang aku terima dari sang dokter, yang kebetulan Wong Surabaya, ke pihak asuransi untuk mendapat penggantian biaya. Nah, beberapa waktu kemudian aku mendapat pemberitahuan dari Asuransi bahwa penggantian biaya medis tersebut semuanya sudah ditransfer ke rekeningku, sementara aku ternyata lupa belum membayarnya ke dokter itu, meski memang tenggat waktunya masih ada 10 hari...karena merasa malu dan menyesal (meski pihak Asuransi pasti tidak tahu), aku pun segera transfer ke Sang dokter.

Jadi, coba pilih, apakah lebih baik 'menganggap bahwa pada dasarnya orang lain itu tidak jujur', sehingga kita harus waspada, atau mendingan 'menganggap bahwa pada dasarnya orang lain itu baik dan jujur', dan biarkan hukum alam menyeleksinya?



Salajengna......

August 7, 2007

Hamburg: Model Lain Kota di Jerman

Foto: Landungsbrücken

Di penghujung liburan sekolah anak-anak, bersyukur aku dan keluarga masih dapat menikmati indahnya Hamburg, Kota terbesar kedua setelah Berlin. Ini berkat Kang Ahya yang merekomendasikan kami bersilaturahmi ke Keluarga Mas Prio dan Mbak Ninoek di Kota Pelabuhan itu.

Dibanding kota-kota lain di Jerman yang pernah kami kunjungi, Hamburg kayaknya punya kesan unik tersendiri. Kota ini tampak sangat metropolis berkat Pelabuhan tuanya yang sangat terkenal, Landungsbruecken. Di Kota ini pula untuk pertama kalinya kami ketemu Toko dan Restoran Indonesia, “Cita Rasa”, yang memang katanya cuma satu-satunya di Jerman. Hamburg juga punya Doner unik yang belum pernah kami temukan di kota-kota lain di Jerman.

Kami mengawali perjalanan hari pertama di jantung Kota tempat berdirinya gedung Rathaus, tentunya setelah istirahat sejenak di rumah kawan baru kami, Mas Prio dan Mbak Ninoek.

Setiap memandang gedung-gedung tua di kota-kota di Jerman, aku sering termenung, betapa Negeri ini pandai merawat dan merajut sejarahnya. Rathaus yang tampak megah ini konon pertama kali dibangun pada 1189. Pernah hancur pada 1842, Rathaus Hamburg mengalami restorasi pada 1886, dan akhirnya diresmikan pada 1887.

Seperti biasa kalau lagi berkunjung ke sebuah kota, sore itu kami ingin sekali menunggu saat matahari terbenam, sehingga bisa menikmati kelap-kelipnya lampu Rathaus, plus shot foto sunset di Alster. Sayangnya, hujan kembali turun, kami pun terpaksa pulang tergesa-gesa.

Kekecewaan di hari pertama sungguh tergantikan keesokan harinya, karena cuaca begitu cerah, dan Mas Prio, yang ternyata seorang fotografer handal ini, dengan sangat telaten menunjukkan lokasi-lokasi mana saja yang patut dikunjungi dan indah untuk berfoto.

Landungsbruecken adalah tujuan kami berikutnya. Dermaga ini menghubungkan para pengunjung ke kota-kota lainnya seperti Finkenwerder, Oevelgoenne, dan Blankenesse menggunakan kapal Feri yang tiketnya menyatu dengan tiket Bus, U-Bahn, dan S-Bahn, suatu kemudahan yang baru di Kota ini kami menjumpainya.

Selesai wisata dengan Feri, kami mengunjungi Miniatur Wunderland, sebuah objek wisata yang menghadirkan “the largest model railway in the world”. Tentu saja anak-anak kami begitu antusias, maklum selama di Jerman ini, salah satu ‘hobi’ mereka, khususnya Jiddane, adalah melihat kereta api lewat, dan tentu saja menaikinya.

Akhirnya, prejalanan hari kedua berakhir seiring dengan terbenamnya matahari di Pelabuhan Elbe, sungguh pemandangan yang sangat indah, boleh lihat sebagian foto-foto Sunset ini di Album Flickr sebelah.

Hari terakhir adalah milik anak-anak, khususnya Fadli dan Alif. Mereka sangat menikmati beberapa jenis permainan, seperti Bom-Bom Car dan pesiar di “rumah hantu” di Arena Hamburger Dom, sebuah Festival terbesar Jerman Utara, yang setiap tahun diadakan pada April, Agustus, dan November.

Sebelum itu, kami juga sempat menikmati “Planten und Blumen”, sebuah lapangan luas yang sangat cocok sebagai tempat wisata keluarga. Rasanya baru di sini kami menjumpai Spielplatz besar dengan permainan basah-basahan yang sangat menggoda anak-anak. Sayangnya, sore itu kami sudah harus kembali ke Bonn, jadi anak-anak gak bisa menikmati permainan yang disediakan.

Akhirnya, sesaat sebelum naik kereta ICE ke Bonn, kami mencicipi Doner khas Hamburg yang lain daripada yang lain. Aku gak perlu cerita ramuannya deh (karena memang gak ngerti), yang jelas kalau di tempat lain satu potong Doner pun gak pernah habis kami makan (bukan karena gedenya, tapi kurang cocok rasanya), di Hamburg anak-anakku sanggup menghabiskan satu porsi masing-masing. Ah, apa karena mereka kelaparan yah? Mungkin juga dua-duanya. Tapi, sungguh deh, Doner Hamburg memang beda…..!

Mas Prio, Mbak Ninoek, dan ananda Alisha, makasih yah atas kemurahan hatinya menampung kami berlima, semoga suatu saat kami bisa membalas kebaikannya.

Salajengna......