November 20, 2007

Fatwa Abu Bakar Ba'asyir

Suatu siang saat santai menikmati liburan bersama keluarga, aku menerima telpon seorang Ibu yang sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Jerman. Ia menikah dengan seorang Jerman, dan telah menjadi warga negara Jerman.

Dengan sedikit tergopoh-gopoh ia menceritakan kepadaku bahwa baru saja ia membaca berita di sebuah media Muslim, yang mengutip 'fatwa' seorang ulama: 'haram hukumnya seorang muslim hidup di Negara Kafir"...Ibu ini jadi ketakutan, bahwa selama ini ia berarti melaksanakan suatu perbuatan haram yang dilarang agama....

Sontak aku terkejut, untuk sementara aku berusaha menjelaskan ke Ibu itu bahwa kita juga tidak perlu terburu-buru dan menelan mentah-mentah berita di internet, meskipun dari situs yang mengatasnamakan Islam. Aku berjanji untuk mempelajari berita itu....

Belakangan, aku pun menemukan sumber kegelisahan sang Ibu tadi, rupanya benar, 'fatwa' itu berbunyi: “Orang Islam haram hidup di negeri kafir, itu tidak boleh. Orang Islam harus menjadi warga negara di negara Islam, itulah ketetapan dan perintah Allah”, tak lain dan tak bukan, ulama yang mengungkapkan hal tersebut adalah Abu Bakar Ba'asyir yang dikutip pernyataannya di sini. Ah, aku tidak sependapat, Ustaz...........!

Meski belum pernah ketemu langsung, aku yakin Abu Bakar Ba'asyir adalah seorang yang secara praktik keagamaan sangat saleh. Tapi, jujur aku akui pula, banyak pandangan radikalnya tentang Islam yang aku tidak sependapat. Salah satunya ya 'fatwa' yang baru dikeluarkannya ini, meskipun ia melandasi pernyataannya itu dengan kutipan al-Quran surat al-Nisa: 59.

Bagiku, ini adalah sebuah contoh versi tafsir atas sebuah ayat al-Quran, bukan 'hukum pasti' yang dihendaki Allah dengan sebenar-benarnya. Abu Bakar Ba'asyir punya hak untuk menafsirkan ayat tersebut seperti yang ia katakan, tapi soal benar dan tidaknya, hanya Allah yang Mahatahu.

Aku sendiri merasa punya hak untuk tidak sependapat dengannya, dan memahami ayat itu bukan sebagai larangan hidup di sebuah negara non-Muslim.

Dari berbagai literatur tafsir yang aku baca, ayat itu sering dijadikan sebagai justifikasi bahwa dasar hukum Islam itu ada empat: al-Quran, Hadis Nabi, Ijma, dan Qiyas. Ini kalau bunyi ayatnya lengkap dikutip. Sayangnya dalam berita itu disebutkan bahwa Abu Bakar Ba'asyir hanya mengutip separuh ayat, dan langsung menafsirkan keharusan ketaatan kepada 'ulil amri' sebagai keharusan seorang Muslim hidup di sebuah negara Islam.

Menurutku, Abu Bakar Ba'asyir berlebihan dalam membenci serta mencurigai Barat dan non-Muslim, tidak bisa bersikap objektif. Ia menutup mata bahwa dalam beberapa hal, negara yang dikelola oleh non-Muslim lebih bisa menciptakan ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan bagi warga masyarakatnya, sementara tidak jarang sebuah negara yang dikelola oleh kalangan Muslim malah tidak pernah berhasil menciptakan keadilan, kepatuhan hukum, kejujuran, dan kesejahteraan di kalangan warganya. Kalau begitu, mana yang lebih baik?

Ahh, aku tidak heran kalau konflik antarumat beragama di Indonesia tidak pernah berhenti, karena fatwa-fatwa dari tokoh-tokoh agamanya sering tidak menyejukkan hati, dan sebaliknya malah manas-manasi......


2 comments:

Anonymous said...

Ada fakta menarik, Mang...Fatwa tersebut diadopsi dari fatwa Mufti Saudi. Anehnya, kenapa mereka tak memberikan fatwa atas penyedian fasilitas militer bagi pihak yang dipersepsikan kafir itu?Lantas kenapa fatwa itu berlaku umum tanpa pengecualian? Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan pakar fikih al-Azhar, narasumber berpendapat konsep dar al-harb dan dar al-islam hanyalah produk ijtihad yang terbuka pada pemahaman baru. Tabik....

Anonymous said...

O begitu yah? makasih yah atas infonya. Saya kira semua yang bersifat tidak qath'i memang terbuka untuk penafsiran, meski tentu ada kriteria dan kualifikasi tertentu untuk bisa menafsirkan....Salam