This is my personal weblog, you may find here my personal experiences, my special interests, my beloved family, and not-so serious writings about daily life...
April 20, 2007
Pegunungan Alpen Yang Tak Terlupakan...
Pengalaman aku dan keluarga naek ke puncak Pegunungan Alpen sungguh tak akan terlupakan! Rasanya kami sudah dekat berada di atap langit nan biru, putih salju terhampar sejauh mata memandang, puluhan bukit dan gunung seperti ‘tunduk’ berada di bawah kaki-kaki kami.
Ini semua berkat Kang Ahya, kawan di München yang menjamu kami selama 5 hari mengisi liburan anak-anak, dan menunjukkan beberapa objek menarik yang patut dikunjungi, terima kasih, Kang!
Dua puluh satu tahun yang lalu (1986), aku juga pernah naik ke puncak gunung, ya, Gunung Galunggung di Tasikmalaya, bahkan dua kali aku turun ke dasar puncak Gunung yang meletus empat tahun sebelumnya itu. Saat itu aku adalah komandan Pramuka di Madrasah Aliyah (MAN) Cipasung, atau istilahnya, Pradana, juga pengalaman yang tidak pernah terlupakan.
Tapi, Gunung Galunggung dan Pegunungan Alpen tentu berbeda, terutama pemandangan di sekitarnya. Pun untuk sampai ke puncak tertingginya, Zugspitse, yang merupakan puncak gunung tertinggi di Jerman (hampir 3000 km), kita difasilitasi menaiki kereta bergerigi (karena rodanya harus kuat mencengkram jalan yang dilalui) dan kereta gantung.
Saat berada di atas kereta gantung kecil yang hanya muat beberapa puluh penumpang itulah kami hanya bias pasrah kepada Yang Kuasa; jika sesuatu terjadi dengan tali-tali yang dibuat oleh manusia itu, hampir bisa dipastikan maut akan menjemput semua penumpangnya, wallahu a’lam.
Selain ke Garmisch dan Zugspitze, pada hari yang lain kami juga mengunjungi beberapa tempat menarik di kota München. Salah satunya adalah Deutsches Museum yang sangat besar dan terkenal itu. Bukan hanya di München, hampir semua museum di Jerman rasanya tidak pernah membosankan, semuanya terorganisasi dengan baik, jauh dari kesan kusam, serem, atau membosankan. Jujur aku akui, Negara ini pandai memelihara khazanah budayanya, dan mengorganisasinya menjadi komoditi yang bisa ‘dijual’.
Anak-anakku begitu menyukai Deutsches Museum di München! Saking lamanya ‘bermain-main’ di sini, hari itu kami sampai tidak sempat mengunjungi objek lainnya. Sejak saat itulah, ketika kami kembali ke Bonn, kami menyempatkan mengunjungi beberapa museum yang banyak tersebar di Kota ini. Entahlah kalau sudah kembali ke Jakarta, apa anak-anak juga akan suka mengunjungi museum di sana? Lagi-lagi, wallahu a’lam.
Bubuka: Dongeng Si Encep
Aku juga tidak pernah membayangkan kalau suatu saat akan mendapat kesempatan mengunjungi beberapa kota besar di sejumlah negara: Paris, Amsterdam, Salsburg, München, Berlin, dan banyak kota cantik lain di Eropa, kemudian Osaka, Nara, Kyoto, dan Tokyo di Negara Matahari Terbit, Jepang. Bahkan sejak Agustus 2006 lalu aku boyongan keluarga untuk tinggal di Bonn, sebagai “Gastwissenschaftler” dari the Alexander von Humboldt Stiftung, sebuah Yayasan terkemuka dan bergengsi di Jerman.
Dulu, ketika pertama kali mau nyobain naik pesawat saja, rasanya heboh banget! Saat itu tahun 1999, ketika aku diundang oleh kawan-kawan di Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat untuk mendiskusikan buku pertama karanganku, Menyoal Wahdatul Wujud, aku masih ingat, betapa ngebetnya aku kepengen duduk di dekat jendela pesawat terbang agar aku bisa melihat-lihat pemandangan di luar pesawat….yah, maklumlah aku ini si Encep yang orang kampung!
Saterasna....
MASA KECIL DI KAMPUNG HALAMAN...
Dulu, ketika pertama kali mau nyobain naik pesawat saja, rasanya heboh banget! Saat itu tahun 1999, ketika aku diundang oleh kawan-kawan di Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat untuk mendiskusikan buku pertama karanganku, Menyoal Wahdatul Wujud, aku masih ingat, betapa ngebetnya aku kepengen duduk di dekat jendela pesawat terbang agar aku bisa melihat-lihat pemandangan di luar pesawat….yah, maklumlah aku ini si Encep yang orang kampung!
Saterasna....
MASA KECIL DI KAMPUNG HALAMAN...
April 19, 2007
Masa Kecil di Kampung Halaman: Kuningan
Menurut sahibul hikayat, masa-masa awal kehidupan orang tuaku dulu termasuk sangat sederhana, hidup berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lain di daerah Kuningan, Jawa Barat, mulai dari Cipancur, Cidahu, lalu Cihideunghilir, dengan penghasilan pas-pasan sebagai Guru Agama SR, dan jumlah tanggungan keluarga yang cukup banyak.
Tentu aku juga tidak tahu persis seberapa prihatin kehidupan ekonomi keluargaku pada masa-masa awal itu, karena aku sendiri baru dilahirkan pada 8 Agustus 1969, saat Bapak dan Mimih sudah memboyong semua anggota keluarganya ke Pasapen, yang sekarang menjadi pusat kota Kuningan. Tapi konon, menurut cerita kakakku, A Dudung, pada tahun 1961 kehidupan keluarga benar-benar prihatin, tidak jarang Mimih hanya mampu memasak bubur 1 kali sehari untuk disantap oleh 8 anggota keluarga…!
Mungkin ketika aku lahir kondisi ekonomi orang tuaku sudah sedikit membaik. Yang aku ingat, pada sekitar tahun 1970-an itu Bapak malah sudah menjadi Pegawai Negeri dengan titel pendidikan Sarjana Muda (BA), dan bekerja sebagai Penilik Pendais, semacam pengawas sekolah-sekolah agama (madrasah) di Kuningan. Masih terbayang dalam ingatanku, bagaimana di atas pintu rumahku tertulis nama: M. Harun, BA. Jangan lupa, nilai sosial gelar sarjana muda pada masa itu mungkin setara dengan gelar Magister saat ini…! Mimih almarhumah pun seingatku adalah pensiunan pegawai Departemen Agama, aku lupa tugas sehari-harinya, tapi aku masih ingat sering main ke Kantor Mimih yang jaraknya memang tidak jauh dari rumah.
Memang, untuk ukuran rata-rata saat itu, dengan status sosial Bapak dan Mimih sebagai pegawai negeri, sebetulnya kehidupan keluargaku tidak terlalu berkekurangan. Hanya saja, ceritanya menjadi lain karena kami adalah keluarga besar, dengan 9 bersaudara, bahkan 13 bersaudara jika 4 saudara kami panjang umur. Aku sendiri adalah anak ketujuh. Dengan demikian, Bapak dan Mimih tidak punya pilihan selain menerapkan “sistem ekonomi ketat” pada anggota keluarganya, mulai dari ketat jatah pakaian, ketat biaya pendidikan, dan bahkan jatah makan pun harus dibagi rata seketat mungkin; tak jarang aku harus puas dengan menyantap sepotong atau bahkan seperempat potong telor saja saat makan, meski perut masih keroncongan…
Meski demikian, aku patut bersyukur punya Bapak dan Mimih yang memiliki tingkat kesadaran tinggi terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Memang kami tidak mampu sekolah di SD Negeri yang di Kuningan saat itu dianggap cukup bergengsi. Apalagi Bapakku kayaknya fanatik banget untuk menyekolahkan anak-anaknya di madrasah, dan kemudian diasramakan di pondok pesantren, sebuah jenis pendidikan Islam tradisional yang memang banyak dijumpai di Indonesia. Alhasil, semua anak-anaknya sempat mengecam pendidikan di bangku madrasah dan pesantren. Aku sendiri menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) PUI Kuningan, berturut-turut tahun 1981 dan 1984, dan kemudian menghabiskan masa-masa SMU-ku di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung Singaparna Tasikmalaya, sekaligus menjadi santri di pesantren setempat.
Sungguh banyak kenangan manis dengan saudara-saudaraku, saling ledek, saling musuhan, dan lain-lain layaknya anak-anak. Hampir semua saudara-saudaraku punya nama panggilan di samping nama resminya; aku pun tidak pernah dipanggil Oman, tapi selalu si Encep…
Saterasna....
BELAJAR DI MADRASAH...
Tentu aku juga tidak tahu persis seberapa prihatin kehidupan ekonomi keluargaku pada masa-masa awal itu, karena aku sendiri baru dilahirkan pada 8 Agustus 1969, saat Bapak dan Mimih sudah memboyong semua anggota keluarganya ke Pasapen, yang sekarang menjadi pusat kota Kuningan. Tapi konon, menurut cerita kakakku, A Dudung, pada tahun 1961 kehidupan keluarga benar-benar prihatin, tidak jarang Mimih hanya mampu memasak bubur 1 kali sehari untuk disantap oleh 8 anggota keluarga…!
Mungkin ketika aku lahir kondisi ekonomi orang tuaku sudah sedikit membaik. Yang aku ingat, pada sekitar tahun 1970-an itu Bapak malah sudah menjadi Pegawai Negeri dengan titel pendidikan Sarjana Muda (BA), dan bekerja sebagai Penilik Pendais, semacam pengawas sekolah-sekolah agama (madrasah) di Kuningan. Masih terbayang dalam ingatanku, bagaimana di atas pintu rumahku tertulis nama: M. Harun, BA. Jangan lupa, nilai sosial gelar sarjana muda pada masa itu mungkin setara dengan gelar Magister saat ini…! Mimih almarhumah pun seingatku adalah pensiunan pegawai Departemen Agama, aku lupa tugas sehari-harinya, tapi aku masih ingat sering main ke Kantor Mimih yang jaraknya memang tidak jauh dari rumah.
Memang, untuk ukuran rata-rata saat itu, dengan status sosial Bapak dan Mimih sebagai pegawai negeri, sebetulnya kehidupan keluargaku tidak terlalu berkekurangan. Hanya saja, ceritanya menjadi lain karena kami adalah keluarga besar, dengan 9 bersaudara, bahkan 13 bersaudara jika 4 saudara kami panjang umur. Aku sendiri adalah anak ketujuh. Dengan demikian, Bapak dan Mimih tidak punya pilihan selain menerapkan “sistem ekonomi ketat” pada anggota keluarganya, mulai dari ketat jatah pakaian, ketat biaya pendidikan, dan bahkan jatah makan pun harus dibagi rata seketat mungkin; tak jarang aku harus puas dengan menyantap sepotong atau bahkan seperempat potong telor saja saat makan, meski perut masih keroncongan…
Meski demikian, aku patut bersyukur punya Bapak dan Mimih yang memiliki tingkat kesadaran tinggi terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Memang kami tidak mampu sekolah di SD Negeri yang di Kuningan saat itu dianggap cukup bergengsi. Apalagi Bapakku kayaknya fanatik banget untuk menyekolahkan anak-anaknya di madrasah, dan kemudian diasramakan di pondok pesantren, sebuah jenis pendidikan Islam tradisional yang memang banyak dijumpai di Indonesia. Alhasil, semua anak-anaknya sempat mengecam pendidikan di bangku madrasah dan pesantren. Aku sendiri menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) PUI Kuningan, berturut-turut tahun 1981 dan 1984, dan kemudian menghabiskan masa-masa SMU-ku di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung Singaparna Tasikmalaya, sekaligus menjadi santri di pesantren setempat.
Sungguh banyak kenangan manis dengan saudara-saudaraku, saling ledek, saling musuhan, dan lain-lain layaknya anak-anak. Hampir semua saudara-saudaraku punya nama panggilan di samping nama resminya; aku pun tidak pernah dipanggil Oman, tapi selalu si Encep…
Saterasna....
BELAJAR DI MADRASAH...
April 18, 2007
Belajar di Madrasah
Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) PUI tempatku belajar tergolong madrasah yang sederhana; lokasi antara gedung MI dan MTs nyaris tak terpisahkan.
Sebagai salah satu madrasah swasta, para pengelola MI dan MTs PUI harus “jatuh bangun” mencari biaya agar madrasahnya tidak gulung tikar; dukungan dari Pemerintah tentu saja ada, tapi menurutku, kemampuannya bertahan tampaknya lebih karena ada semangat ideologis dari orang-orang seperti Bapak yang keukeuh untuk menghidupkan lembaga pendidikan bernafaskan keagamaan semisal MI dan MTs PUI ini. Aku tidak tahu persis bagaimana kondisinya sekarang, meski aku tahu proses belajar mengajar di Madrasah PUI masih tetap berlangsung hingga saat ini.
Dulu, semasa di MI, aku bukanlah murid yang terlalu menonjol, pembawaanku cenderung pendiam dan juga penakut. Prestasi belajarku juga datar-datar saja, bahkan untuk pelajaran tertentu seperti Matematika, Fisika, dan pelajaran eksak lainnya, nilaiku sering jeblok, kalau tidak 5 ya paling banter 6. Sekarang ini aku sering kagum sendiri sama Fadli, anak sulungku yang kelas 3, nilai matematikanya selalu tinggi, mungkin berkat kegigihan Mamahnya juga yang super ketat mengontrol PR sekolah.
Mungkin karena perawakanku kecil, sewaktu di MI aku sering menjadi “mainan” kawan-kawanku, badanku biasanya diangkat, lalu dilemparkan ke kerumunan murid-murid perempuan. Aku jengkel sekali, tapi tak berdaya. Sule, aku tak akan pernah lupa nama kawanku yang satu itu, dia “jagoan” yang paling ditakuti murid-murid lain, dan aku sering menjadi “korban”nya…Untungnya, di kalangan guru-guru, aku malah termasuk murid yang disayang, mungkin karena tidak pernah neko-neko, aku dekat dengan hampir semua guru, mulai dari Pak Suharno, Sang Kepala Sekolah, Pak Edi, Pak Puhun, Pak Mamat, dan guru-guru lainnya…wah, aku lupa kebanyakan nama guruku!
Menginjak MTs, penampilanku mulai berubah. Aku tidak lagi terlalu pendiam, meski tetap kalem, he he…aku juga “mulai agak pandai”, hampir setiap semester menjadi bintang kelas, mulai dari kelas 1 sampai kelas 3. Saingan beratku hanya satu, namanya Uu, kami sering saling bergantian sebagai juara kelas. Entah bagaimana cara belajarku di rumah, aku lupa….tapi aku rupanya memiliki bakat untuk menghapal pelajaran, sampai-sampai aku sering jadi utusan lomba cerdas cermat, dan menghapal, misalnya, semua nama-nama Menteri Kabinet Pembangunan saat itu. Saat di Tsanawiyah ini, aku mulai menyukai pelajaran bahasa Inggris. Bahkan aku sempat menyelesaikan kursus bahasa Inggris di English Language Institute di daerah Wirarangan, meski hanya sampai tingkat Elementary One saja. Lumayan lah…aku masih menyimpan ijazah kursus itu, dimana tertulis April, 30th 1984 sebagai tanggal kelulusanku…berarti saat itu aku duduk di kelas 3 MTs.
Mungkin melihat minatku inilah, A Dudung sebagai Kakak yang sudah bisa mengayomi adik-adiknya membelikan buku “Belajar Bahasa Inggris Sistem 50 Jam”, aku masih ingat warnanya merah. Biasanya buku itu aku bawa kemana pun pergi. Ya, sangat membantu memang, meski tidak fasih benar, aku merasakan manfaatnya saat ini, aku punya sedikit modal untuk berkomunikasi dengan dunia yang lebih luas…
Selain berusaha berprestasi, selama di MTs ini aku juga aktiv kegiatan pramuka dan gemar berolah raga. Selain bola voli, pingpong adalah olah raga favoritku. Pernah aku menjadi utusan sekolah untuk kejuaraan pingpong antarmadrasah, meski aku akhirnya kalah…aku pun tidak pernah lagi dilempar-lempat ke kerumunan murid perempuan; sebaliknya aku malah sudah mulai berani “melemparkan” diri dekat-dekat dengan siswi madrasah….ah bagian itu tidak perlu diceritain yah….nanti ada yang cemburu…!
Kenangan masa kecilku di kampung pada masa-masa sekolah di tingkat MTs ini masih banyak yang kuingat. Selain di sekolah, kenangan di rumah pun tak kurang indahnya….kebetulan saat itu adalah “masa-masa kejayaan” Majlis Taklim yang dirintis oleh Bapak dan Mimih almarhum. Bapak menyulap rumah menjadi semacam pesantren, tempat belajar mengaji, baik pada pagi, siang, dan terutama malam hari. Ratusan kawan-kawan belajar a-ba-ta-sa di rumahku setiap harinya, mulai dari tingkat alif-alifan, sampai belajar kitab Safinah dan Sullam al-Taufiq, dua buah kitab kuning klasik yang berisi tuntunan ibadah dan dasar-dasar ajaran moral.
Berkat Majlis Taklim di rumah ini pula, aku memiliki banyak sahabat. Beberapa nama masih melekat dalam benakku: Iman, Eki, Eti (ketiganya kakak beradik), Adin, Ijah, Ipah, Rohman, Dudung, Oban, dan banyak lagi. Bahkan, kalau mau jujur, aku juga suka deg-degan kalau ada salah satu di antara sahabatku, tentu saja yang perempuan bo!, tidak datang mengaji, gara-gara hujan misalnya, aku tidak mengerti apa artinya saat itu, he he.....Kini, sebagian besar sahabatku tidak ketahuan juntrungnya di mana, hanya sebagian kecil yang lantas ketemu lagi.
Bapak dan Mimih almarhum sangat piawai dalam mengelola urusan pendidikan agama ini, anak-anaknya “dipaksa” menjadi santri senior yang bertugas membantu mengajari anak-anak lainnya.
Memang tidak sulit karena sejak kecil anak-anak Bapak dan Mimih sudah harus pandai mengaji Quran dan Kitab. Bahkan aku masih ingat, sampai kelas 3 Tsanawiyah, aku sudah khatam al-Quran sebanyak 32 kali….saat itu aku memang rajin menghitung berapa kali tamat al-Quran, terutama pada bulan Ramadan, soalnya Bapak selalu memberikan hadiah seribu rupiah bagi yang khatam al-Quran…Selain al-Quran, Bapak dan Mimih juga mengajari aku dan saudara-saudaraku membaca dan memahami kitab Safinah itu berulang-ulang, sampai aku hafal bagian-bagian tertentu, baik teks Arab maupun terjemahannya dalam bahasa Sunda, misalnya wa bihi “sareng ka Gusti Allah”, nasta’inu “nyuhunkeun pitulung abdi sadaya”, ‘ala umuriddunya “kana perkara dunya” waddini “sareng kana perkara agama”…Wah, sungguh bekal pengetahuan yang sangat berharga, meski terus terang saat itu sih aku sering pundung juga karena dipaksa mengaji, tapi kelak aku benar-benar bangga memiliki kemampuan membaca teks-teks kitab kuning yang ditulis dengan Arab gundul itu…
Jujur saja, kemampuanku membaca kitab kuning itulah salah satu kunci yang membuka pintu karir seperti yang aku capai sekarang ini….nuhun Pak…nuhun Mih…nuhun ka sadayana…! Tentu saja sebagai anak-anak, kadang-kadang berat juga mengikuti irama pendidikan Bapak yang sangat ketat ini, khususnya untuk urusan pendidikan agama, seperti mengaji dan shalat. Kalau lupa shalat karena main layang-layang sama A Uud misalnya, aku disuruh berdiri menghadap tembok, lalu Bapak menempeleng betis kakiku seraya mengucap: …bismillahirrahmanirrahim….plak…plak…plak!
Kalau sudah begitu, aku pun merajuk sama Mimih yang biasanya akan segera menentramkanku…Begitulah Bapak dan Mimih almarhumah berbagi tugas sebagai orang tua dalam mendidik anak-anaknya: jika Bapak bersikap keras, maka bagian Mimih yang lembut, ibarat gas dan rem dalam kendaraan, dua-duanya saling dibutuhkan agar perjalanan bisa mulus, lancar, dan selamat….Kini terbukti sudah, anak-anak Bapak dan Mimih tidak ada yang menjadi baragajul……..! Sayang, Mimih keburu tutup usia pada tahun 1991, hingga tidak sempat menyaksikan semua kisah sukses yang diraih anak-anaknya…
Saterasna....
AA, CEUCEU, ADI...
Sebagai salah satu madrasah swasta, para pengelola MI dan MTs PUI harus “jatuh bangun” mencari biaya agar madrasahnya tidak gulung tikar; dukungan dari Pemerintah tentu saja ada, tapi menurutku, kemampuannya bertahan tampaknya lebih karena ada semangat ideologis dari orang-orang seperti Bapak yang keukeuh untuk menghidupkan lembaga pendidikan bernafaskan keagamaan semisal MI dan MTs PUI ini. Aku tidak tahu persis bagaimana kondisinya sekarang, meski aku tahu proses belajar mengajar di Madrasah PUI masih tetap berlangsung hingga saat ini.
Dulu, semasa di MI, aku bukanlah murid yang terlalu menonjol, pembawaanku cenderung pendiam dan juga penakut. Prestasi belajarku juga datar-datar saja, bahkan untuk pelajaran tertentu seperti Matematika, Fisika, dan pelajaran eksak lainnya, nilaiku sering jeblok, kalau tidak 5 ya paling banter 6. Sekarang ini aku sering kagum sendiri sama Fadli, anak sulungku yang kelas 3, nilai matematikanya selalu tinggi, mungkin berkat kegigihan Mamahnya juga yang super ketat mengontrol PR sekolah.
Mungkin karena perawakanku kecil, sewaktu di MI aku sering menjadi “mainan” kawan-kawanku, badanku biasanya diangkat, lalu dilemparkan ke kerumunan murid-murid perempuan. Aku jengkel sekali, tapi tak berdaya. Sule, aku tak akan pernah lupa nama kawanku yang satu itu, dia “jagoan” yang paling ditakuti murid-murid lain, dan aku sering menjadi “korban”nya…Untungnya, di kalangan guru-guru, aku malah termasuk murid yang disayang, mungkin karena tidak pernah neko-neko, aku dekat dengan hampir semua guru, mulai dari Pak Suharno, Sang Kepala Sekolah, Pak Edi, Pak Puhun, Pak Mamat, dan guru-guru lainnya…wah, aku lupa kebanyakan nama guruku!
Menginjak MTs, penampilanku mulai berubah. Aku tidak lagi terlalu pendiam, meski tetap kalem, he he…aku juga “mulai agak pandai”, hampir setiap semester menjadi bintang kelas, mulai dari kelas 1 sampai kelas 3. Saingan beratku hanya satu, namanya Uu, kami sering saling bergantian sebagai juara kelas. Entah bagaimana cara belajarku di rumah, aku lupa….tapi aku rupanya memiliki bakat untuk menghapal pelajaran, sampai-sampai aku sering jadi utusan lomba cerdas cermat, dan menghapal, misalnya, semua nama-nama Menteri Kabinet Pembangunan saat itu. Saat di Tsanawiyah ini, aku mulai menyukai pelajaran bahasa Inggris. Bahkan aku sempat menyelesaikan kursus bahasa Inggris di English Language Institute di daerah Wirarangan, meski hanya sampai tingkat Elementary One saja. Lumayan lah…aku masih menyimpan ijazah kursus itu, dimana tertulis April, 30th 1984 sebagai tanggal kelulusanku…berarti saat itu aku duduk di kelas 3 MTs.
Mungkin melihat minatku inilah, A Dudung sebagai Kakak yang sudah bisa mengayomi adik-adiknya membelikan buku “Belajar Bahasa Inggris Sistem 50 Jam”, aku masih ingat warnanya merah. Biasanya buku itu aku bawa kemana pun pergi. Ya, sangat membantu memang, meski tidak fasih benar, aku merasakan manfaatnya saat ini, aku punya sedikit modal untuk berkomunikasi dengan dunia yang lebih luas…
Selain berusaha berprestasi, selama di MTs ini aku juga aktiv kegiatan pramuka dan gemar berolah raga. Selain bola voli, pingpong adalah olah raga favoritku. Pernah aku menjadi utusan sekolah untuk kejuaraan pingpong antarmadrasah, meski aku akhirnya kalah…aku pun tidak pernah lagi dilempar-lempat ke kerumunan murid perempuan; sebaliknya aku malah sudah mulai berani “melemparkan” diri dekat-dekat dengan siswi madrasah….ah bagian itu tidak perlu diceritain yah….nanti ada yang cemburu…!
Kenangan masa kecilku di kampung pada masa-masa sekolah di tingkat MTs ini masih banyak yang kuingat. Selain di sekolah, kenangan di rumah pun tak kurang indahnya….kebetulan saat itu adalah “masa-masa kejayaan” Majlis Taklim yang dirintis oleh Bapak dan Mimih almarhum. Bapak menyulap rumah menjadi semacam pesantren, tempat belajar mengaji, baik pada pagi, siang, dan terutama malam hari. Ratusan kawan-kawan belajar a-ba-ta-sa di rumahku setiap harinya, mulai dari tingkat alif-alifan, sampai belajar kitab Safinah dan Sullam al-Taufiq, dua buah kitab kuning klasik yang berisi tuntunan ibadah dan dasar-dasar ajaran moral.
Berkat Majlis Taklim di rumah ini pula, aku memiliki banyak sahabat. Beberapa nama masih melekat dalam benakku: Iman, Eki, Eti (ketiganya kakak beradik), Adin, Ijah, Ipah, Rohman, Dudung, Oban, dan banyak lagi. Bahkan, kalau mau jujur, aku juga suka deg-degan kalau ada salah satu di antara sahabatku, tentu saja yang perempuan bo!, tidak datang mengaji, gara-gara hujan misalnya, aku tidak mengerti apa artinya saat itu, he he.....Kini, sebagian besar sahabatku tidak ketahuan juntrungnya di mana, hanya sebagian kecil yang lantas ketemu lagi.
Bapak dan Mimih almarhum sangat piawai dalam mengelola urusan pendidikan agama ini, anak-anaknya “dipaksa” menjadi santri senior yang bertugas membantu mengajari anak-anak lainnya.
Memang tidak sulit karena sejak kecil anak-anak Bapak dan Mimih sudah harus pandai mengaji Quran dan Kitab. Bahkan aku masih ingat, sampai kelas 3 Tsanawiyah, aku sudah khatam al-Quran sebanyak 32 kali….saat itu aku memang rajin menghitung berapa kali tamat al-Quran, terutama pada bulan Ramadan, soalnya Bapak selalu memberikan hadiah seribu rupiah bagi yang khatam al-Quran…Selain al-Quran, Bapak dan Mimih juga mengajari aku dan saudara-saudaraku membaca dan memahami kitab Safinah itu berulang-ulang, sampai aku hafal bagian-bagian tertentu, baik teks Arab maupun terjemahannya dalam bahasa Sunda, misalnya wa bihi “sareng ka Gusti Allah”, nasta’inu “nyuhunkeun pitulung abdi sadaya”, ‘ala umuriddunya “kana perkara dunya” waddini “sareng kana perkara agama”…Wah, sungguh bekal pengetahuan yang sangat berharga, meski terus terang saat itu sih aku sering pundung juga karena dipaksa mengaji, tapi kelak aku benar-benar bangga memiliki kemampuan membaca teks-teks kitab kuning yang ditulis dengan Arab gundul itu…
Jujur saja, kemampuanku membaca kitab kuning itulah salah satu kunci yang membuka pintu karir seperti yang aku capai sekarang ini….nuhun Pak…nuhun Mih…nuhun ka sadayana…! Tentu saja sebagai anak-anak, kadang-kadang berat juga mengikuti irama pendidikan Bapak yang sangat ketat ini, khususnya untuk urusan pendidikan agama, seperti mengaji dan shalat. Kalau lupa shalat karena main layang-layang sama A Uud misalnya, aku disuruh berdiri menghadap tembok, lalu Bapak menempeleng betis kakiku seraya mengucap: …bismillahirrahmanirrahim….plak…plak…plak!
Kalau sudah begitu, aku pun merajuk sama Mimih yang biasanya akan segera menentramkanku…Begitulah Bapak dan Mimih almarhumah berbagi tugas sebagai orang tua dalam mendidik anak-anaknya: jika Bapak bersikap keras, maka bagian Mimih yang lembut, ibarat gas dan rem dalam kendaraan, dua-duanya saling dibutuhkan agar perjalanan bisa mulus, lancar, dan selamat….Kini terbukti sudah, anak-anak Bapak dan Mimih tidak ada yang menjadi baragajul……..! Sayang, Mimih keburu tutup usia pada tahun 1991, hingga tidak sempat menyaksikan semua kisah sukses yang diraih anak-anaknya…
Saterasna....
AA, CEUCEU, ADI...
April 17, 2007
Aa, Ceuceu, Adi
Nah, ini bagian yang aku paling suka menceritakannya, soal hubungan antarsaudara, khususnya aku, A Uud, Ceu Evi, Ohan, dan Neng. Saat itu, saudara-saudara lainnya sudah banyak yang sekolah jauh di pesantren, atau sudah berumah tangga sehingga tidak pertemuan dengan mereka tidak sesering dengan saudara-saudara yang aku sebut itu.
Banyak suka dukanya, ada yang menjengkelkan, ada yang menyenangkan, ada pula yang lucu…aku tentu tidak ingat semuanya, tapi A Uud lumayan berkesan dalam ingatanku, tapi tidak semuanya manis lho, A! soalnya A Uud kan seneng banget ngerjain adik-adiknya…aku sering diledek dengan sebutan Cepot, mungkin karena nama panggilanku Encep, sekarang sih A Uud manggil aku Mang Oman, dulu mah kayaknya lebih sering Cepotnya daipada Encep, ngiri kali yah, soalnya Encep kan artinya kasep, he…he…. Aku pun jadinya ikut ngelunjak ke A Uud, aku ledek lagi dengan panggilan Udel…..! ah, gak tahu tuh nemu dari mana, lupa lagi…pokoknya ada “ud” nya lah….
Rupanya saling ledek ini jadi bumbu hubungan persaudaraan kami, dulu memang suka terasa menjengkelkan, tapi kini kan jadi kenangan, asal jangan saling bermusuhan saja sampai putus silaturahmi.
Dengan Ceu Evi pun aku tak kalah sengitnya, kalau Ceu Evi ngeledek aku dengan Cepotnya, maka aku pun punya ledekan si Mbok…gak tahu juga bagaimana ceritanya sampai muncul kata si Mbok, mungkin Ceu Evi masih ingat? Bahkan aku (tentunya “belajar” dari A Uud) suka melantunkan “puisi” ledekan buat Ceu Evi, begini lho: “bokser…bokser…si Mbok ditarik ka Sindangsari ngageleser…” waktu itu kita-kita memang sering maen ke SIindangsari, rumahnya Ceu Juju. Nah, kalau sudah diledek begitu, si Mbok, eh maksudnya Ceu Evi, pasti marah luar biasa, kita-kita bisa dikejar kemana pun larinya…
Begitu pun dengan Ohan, yang dulu mah dipanggilnya Ujang, seingatku aku baru memanggilnya Ohan setelah dia jadi mahasiswa; aku juga sering meledeknya dengan menyebut “Jangkrik”, lagi-lagi cuma nyari kata yang dimulai dengan kata “jang”, biar cocok dengan Ujang…., sama dengan “Udel” untuk A Uud…Jadi, kalau pengen si Ujang nangis, aku tinggal “nyanyi” saja: “jangkrik genggong jangkrik genggong, si Ujang ceurik huluna ngagorolong…”; kalau sudah begitu, Ujang pun pasti ikut-ikutan manggil aku si Cepot! Ah, anak-anak memang nakal, tapi begitulah dunianya, toh sekarang kelihatan semuanya harmonis, jadi kalau anak-anak seperti itu ya anggap biasa saja…tapi jujur saja, aku, A Uud, Ceu Evi, dan Ohan memang mengalami masa-masa kecil bersama sehingga banyak kenangan yang kalau diingat sekarang sangat menggelikan.
Dengan Ohan, aku juga ingat masa dikhitan bersama, Ohan dipangku sama Bapak, sementara aku dipangku sama Wa Makruf almarhum, pas memang kakak adik…Sayangnya aku tidak punya banyak kenangan yang kuingat dengan Neng, si Bungsu dari Mimih tea, maklum saat itu Neng masih sangat kecil.
Tentu saja di samping kenangan “buruk” tentang saling ledek itu, aku juga punya kenangan yang sangat manis dengan saudara-saudaraku. A Uud adalah teman main terbaikku: main laying-layang, main kelereng, main gambaran, main roger-rogeran, dan lain-lain. Kalau ada anak nakal yang ngerjain aku, maka A Uud pasti membelaku, entahlah di kalangan teman-teman main, A Uud rupanya cukup disegani juga, mungkin karena memang pemberani dan galak waktu itu, meski sekarang ini A Uud adalah figure orang yang luar biasa lembut, Kakak yang mengayomi dan rendah hati, pokoknya beda deh, aku semakin yakin, “manusia itu memang bisa berubah…!”
A Uud pula yang pertama kali ngajarin aku naik motor. Kebetulan A Uud memang paling berani uring-uringan dengan Bapak, walaupun suka dilarang bawa motor, A Uud sering umpet-umpetan meminjamnya. Aku ingat betul suatu ketika Bapak sedang menerima tamu, A Uud mengajakku belajar naik motor, pelan-pelan motor pun dikeluarkan lewat pintu samping, ini masih mendingan, A Uud bahkan pernah mengeluarkan motor lewat pintu jendela, wow! Aku pun membonceng A Uud kea rah Cigadung, dan ngeng…ngeng…ngeng…aku ikutin petunjuk A Uud yang bilang: “gasna dianggeran ambeh stabil…”, begitu katanya.
Masa-masa berikutnya, A Uud dan Ceu Evi pun pergi belajar di Pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya, di mana kelak aku pun menyusul kesana, Bapak memang sangat keukeuh untuk membekali anak-anaknya dengan pendidikan agama, khususnya di pesantren. A Uud sih pernah juga mesantren di Cidewa Ciamis, aku lupa alasannya, kenapa A Uud pundah-pindah, apa karena nakal juga yah? Waktu itu kalau di Cidewa memang ada A Dudung yang “ngawasin”, meski kayaknya A Uud ya tetep A Uud, waktu aku berkunjung sama Ceu Yayah ke Cidewa, ternyata A Uud kerjanya main kelereng, banyak banget kelerengnya, sampe-sampe aku pikir, enak juga yah mesantren, bias ngumpulin banyak kelereng, rupanya itu hanya A Uud, he he….punten lah A! saat itu aku juga diajak naik kereta, anehnya kok bias gratis, ah lagi-lagi A Uud memang kreativ…
Sudahlah, kalau diingat-ingat mungkin tidak akan pernah habis cerita tentang saudara-saudaraku ini, terlalu banyak. Memang dengna kakak-kakak yang lain aku tidak punya banyak memori selain satu dua peristiwa saja; maklum Ceu Yayah san Ceu Lili sudah suluan mesantren, A Dudung juga sudah kuliah, Ceu Juju bahkan sudah berumah tangga. Salah satu kenangan tentang A Dudung yang aku tidak akan pernah lupa adalah ketika aku turut mengantar kepergian A Dudung pergi ke Semarang naik sepeda, katanya mau kuliah…Wah, aku baru bisa bayangin sekarang ini betapa jauhnya Semarang kalau ditempuh dengan bersepeda dari Kuningan. Di Semarang pun A Dudung hidup prihatin, jadi tukang cukur, dan berjualan, kini A Dudung sudah jadi Hakim pengadilan agama, aku pun semakin yakin: “hidup prihatin seringkali membawa keberhasilan”.
Dari Ceu Lili juga hanya beberapa kenangan yang aku ingat, salah satunya adalah papatah Ceu Lili kalau aku ngepel: "Cep…” kata Ceu Lili, “lamun ngepel kudu hiji-hiji tehelna dilap ambeh imeut…”. Ya, saat itu kita memang sering bergiliran untuk merawat rumah, Mimih adalah “manager” yang mengatur dan membagi tugas, si Encep, si Ujang, A Uud, Ceu Evi, dan Neng melakukan pekerjaan rumah sebisanya…nyiram kembang, maraban hayam, dan lain-lain…bahkan juga Bantu-bantu bikin kue, bikin kecap, bikin kacang atom, dan macam-macam usaha yang pernah dilakukan oleh Bapak dan Mimih, orang tuaku memang sangat ulet menambah penghasilan keluarga, mungkin karena terdorong kebutuhan, sehingga dipaksa oleh keadaan untuk bisa kreativ, aku pun bahkan sempat bisa membuat kopiah berkat bimbingan Bapak. Waktu aku Tanya, bagaimana Bapak bisa tahu cara membuat kopiah? Bapak bilang, gampang saja, kopiah yang Bapak punya dibongkar, lalu dilihat cara nyusunnya…..ah, luar biasa!
Saterasna....
MULAI MENGEMBARA...
Banyak suka dukanya, ada yang menjengkelkan, ada yang menyenangkan, ada pula yang lucu…aku tentu tidak ingat semuanya, tapi A Uud lumayan berkesan dalam ingatanku, tapi tidak semuanya manis lho, A! soalnya A Uud kan seneng banget ngerjain adik-adiknya…aku sering diledek dengan sebutan Cepot, mungkin karena nama panggilanku Encep, sekarang sih A Uud manggil aku Mang Oman, dulu mah kayaknya lebih sering Cepotnya daipada Encep, ngiri kali yah, soalnya Encep kan artinya kasep, he…he…. Aku pun jadinya ikut ngelunjak ke A Uud, aku ledek lagi dengan panggilan Udel…..! ah, gak tahu tuh nemu dari mana, lupa lagi…pokoknya ada “ud” nya lah….
Rupanya saling ledek ini jadi bumbu hubungan persaudaraan kami, dulu memang suka terasa menjengkelkan, tapi kini kan jadi kenangan, asal jangan saling bermusuhan saja sampai putus silaturahmi.
Dengan Ceu Evi pun aku tak kalah sengitnya, kalau Ceu Evi ngeledek aku dengan Cepotnya, maka aku pun punya ledekan si Mbok…gak tahu juga bagaimana ceritanya sampai muncul kata si Mbok, mungkin Ceu Evi masih ingat? Bahkan aku (tentunya “belajar” dari A Uud) suka melantunkan “puisi” ledekan buat Ceu Evi, begini lho: “bokser…bokser…si Mbok ditarik ka Sindangsari ngageleser…” waktu itu kita-kita memang sering maen ke SIindangsari, rumahnya Ceu Juju. Nah, kalau sudah diledek begitu, si Mbok, eh maksudnya Ceu Evi, pasti marah luar biasa, kita-kita bisa dikejar kemana pun larinya…
Begitu pun dengan Ohan, yang dulu mah dipanggilnya Ujang, seingatku aku baru memanggilnya Ohan setelah dia jadi mahasiswa; aku juga sering meledeknya dengan menyebut “Jangkrik”, lagi-lagi cuma nyari kata yang dimulai dengan kata “jang”, biar cocok dengan Ujang…., sama dengan “Udel” untuk A Uud…Jadi, kalau pengen si Ujang nangis, aku tinggal “nyanyi” saja: “jangkrik genggong jangkrik genggong, si Ujang ceurik huluna ngagorolong…”; kalau sudah begitu, Ujang pun pasti ikut-ikutan manggil aku si Cepot! Ah, anak-anak memang nakal, tapi begitulah dunianya, toh sekarang kelihatan semuanya harmonis, jadi kalau anak-anak seperti itu ya anggap biasa saja…tapi jujur saja, aku, A Uud, Ceu Evi, dan Ohan memang mengalami masa-masa kecil bersama sehingga banyak kenangan yang kalau diingat sekarang sangat menggelikan.
Dengan Ohan, aku juga ingat masa dikhitan bersama, Ohan dipangku sama Bapak, sementara aku dipangku sama Wa Makruf almarhum, pas memang kakak adik…Sayangnya aku tidak punya banyak kenangan yang kuingat dengan Neng, si Bungsu dari Mimih tea, maklum saat itu Neng masih sangat kecil.
Tentu saja di samping kenangan “buruk” tentang saling ledek itu, aku juga punya kenangan yang sangat manis dengan saudara-saudaraku. A Uud adalah teman main terbaikku: main laying-layang, main kelereng, main gambaran, main roger-rogeran, dan lain-lain. Kalau ada anak nakal yang ngerjain aku, maka A Uud pasti membelaku, entahlah di kalangan teman-teman main, A Uud rupanya cukup disegani juga, mungkin karena memang pemberani dan galak waktu itu, meski sekarang ini A Uud adalah figure orang yang luar biasa lembut, Kakak yang mengayomi dan rendah hati, pokoknya beda deh, aku semakin yakin, “manusia itu memang bisa berubah…!”
A Uud pula yang pertama kali ngajarin aku naik motor. Kebetulan A Uud memang paling berani uring-uringan dengan Bapak, walaupun suka dilarang bawa motor, A Uud sering umpet-umpetan meminjamnya. Aku ingat betul suatu ketika Bapak sedang menerima tamu, A Uud mengajakku belajar naik motor, pelan-pelan motor pun dikeluarkan lewat pintu samping, ini masih mendingan, A Uud bahkan pernah mengeluarkan motor lewat pintu jendela, wow! Aku pun membonceng A Uud kea rah Cigadung, dan ngeng…ngeng…ngeng…aku ikutin petunjuk A Uud yang bilang: “gasna dianggeran ambeh stabil…”, begitu katanya.
Masa-masa berikutnya, A Uud dan Ceu Evi pun pergi belajar di Pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya, di mana kelak aku pun menyusul kesana, Bapak memang sangat keukeuh untuk membekali anak-anaknya dengan pendidikan agama, khususnya di pesantren. A Uud sih pernah juga mesantren di Cidewa Ciamis, aku lupa alasannya, kenapa A Uud pundah-pindah, apa karena nakal juga yah? Waktu itu kalau di Cidewa memang ada A Dudung yang “ngawasin”, meski kayaknya A Uud ya tetep A Uud, waktu aku berkunjung sama Ceu Yayah ke Cidewa, ternyata A Uud kerjanya main kelereng, banyak banget kelerengnya, sampe-sampe aku pikir, enak juga yah mesantren, bias ngumpulin banyak kelereng, rupanya itu hanya A Uud, he he….punten lah A! saat itu aku juga diajak naik kereta, anehnya kok bias gratis, ah lagi-lagi A Uud memang kreativ…
Sudahlah, kalau diingat-ingat mungkin tidak akan pernah habis cerita tentang saudara-saudaraku ini, terlalu banyak. Memang dengna kakak-kakak yang lain aku tidak punya banyak memori selain satu dua peristiwa saja; maklum Ceu Yayah san Ceu Lili sudah suluan mesantren, A Dudung juga sudah kuliah, Ceu Juju bahkan sudah berumah tangga. Salah satu kenangan tentang A Dudung yang aku tidak akan pernah lupa adalah ketika aku turut mengantar kepergian A Dudung pergi ke Semarang naik sepeda, katanya mau kuliah…Wah, aku baru bisa bayangin sekarang ini betapa jauhnya Semarang kalau ditempuh dengan bersepeda dari Kuningan. Di Semarang pun A Dudung hidup prihatin, jadi tukang cukur, dan berjualan, kini A Dudung sudah jadi Hakim pengadilan agama, aku pun semakin yakin: “hidup prihatin seringkali membawa keberhasilan”.
Dari Ceu Lili juga hanya beberapa kenangan yang aku ingat, salah satunya adalah papatah Ceu Lili kalau aku ngepel: "Cep…” kata Ceu Lili, “lamun ngepel kudu hiji-hiji tehelna dilap ambeh imeut…”. Ya, saat itu kita memang sering bergiliran untuk merawat rumah, Mimih adalah “manager” yang mengatur dan membagi tugas, si Encep, si Ujang, A Uud, Ceu Evi, dan Neng melakukan pekerjaan rumah sebisanya…nyiram kembang, maraban hayam, dan lain-lain…bahkan juga Bantu-bantu bikin kue, bikin kecap, bikin kacang atom, dan macam-macam usaha yang pernah dilakukan oleh Bapak dan Mimih, orang tuaku memang sangat ulet menambah penghasilan keluarga, mungkin karena terdorong kebutuhan, sehingga dipaksa oleh keadaan untuk bisa kreativ, aku pun bahkan sempat bisa membuat kopiah berkat bimbingan Bapak. Waktu aku Tanya, bagaimana Bapak bisa tahu cara membuat kopiah? Bapak bilang, gampang saja, kopiah yang Bapak punya dibongkar, lalu dilihat cara nyusunnya…..ah, luar biasa!
Saterasna....
MULAI MENGEMBARA...
April 15, 2007
Mulai mengembara
Tahun 1985 aku mulai berkelana ke luar rumah mengikuti jejak kakak-kakaku. Pesantren Cipasung di Singaparna, Tasikmalaya adalah tempat pertamaku memperdalam agama melanjutkan pelajaran dasar dari orangtua di rumah. Sore sampai malam aku menjadi santri, sedangkan pagi hari aku menjadi siswa di Madrasah Aliyah negeri (MAN) Cipasung sampai tahun 1987.
Hidup dan belajar sambil prihatin! Itulah kesan yang tidak pernah terlupakan selama aku di Pesantren. Bapak dan Mimih memang mengirimiku uang melalui pos wesel untuk biaya hidup setiap bulannya, “hanya” beberapa puluh ribu rupiah, jauh dari cukup, bahkan untuk kebutuhan pokok sekalipun, makanya setiap bulan aku pasti ngutang ke Ibu angkatku, terutama untuk keperluan makan. Kalau ingin lebih irit, aku pun masak nasi liwet sendiri, lalu nyari lauk seadanya di Mang Ucoy, tahu, atau tempe, atau oncom dan garam, bagiku sudah cukup saat itu…pokoknya, yang penting mah ada DS (deungeun santri) lah...
Untung aku tidak sendirian, aku punya kawan dan sahabat senasib sepenanggungan, istilah Sunda mah sapapait samamanis....di antara mereka adalah Sunardi dan Ade Saefullah. Bersama mereka aku melewati masa-masa pahit dan manis di Cipasung.
Meski demikian, kesederhanaan dan keprihatinan tidak membuatku surut semangat belajar. Di sekolah aku bahkan selalu menjadi juara kelas. Di Pramuka pun aku aktiv dan bahkan pernah menduduki jabatan tertinggi sebagai Ketua Pradana. Begitulah, bagiku saat itu tidak pernah berfikir bahwa aku ini orang yang datang dari keluarga sederhana, sebaliknya aku sering bersyukur karena masih bisa sekolah, banyak tentu saja orang lain yang lebih tidak beruntung dibanding aku, ada yang tidak bisa sekolah, dan kalau pun sekolah, tidak selalu bisa berprestasi...aku ingat beberapa kawanku di Kampung yang kerjanya luntang-lantung, jadi preman, dan bahkan mabuk-mabukan. Sekarang baru terasa buahnya, dulu memang tidak tahu bedanya antara yang kerja keras dan yang berleha-leha....ah, jadi menggurui yah...!
Sebetulnya sih banyak kenangan, baik yang manis maupun pahit, selama aku di Cipasung, tapi tidak mungkin semuanya aku tuliskan di sini. Singkat cerita, aku pun dinyatakan lulus dari MAN Cipasung pada 1987. Berkat prestasiku, aku mendapat penghargaan lulus PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat) untuk langsung bisa masuk kuliah tanpa tes di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung. Awalnya aku bersorak gembira, tapi ternyata aku harus gigit jari karena Bapakku tidak menyanggupi membayar biaya kuliahnya. Memang, walaupun lulus melalui PMDK, tapi hanya bebas biaya masuknya saja...Aku memang sering mendengar Bapak setengah bersumpah untuk menyekolahkan semua anak-anaknya, tapi hanya tingkat SLTA saja, setelah itu, semua diminta mencari jalan hidup masing-masing, begitu katanya!
Aku pun tidak jadi kuliah, malah dimasukkan ke pesantren salaf (pesantren tanpa jenjang pendidikan formal) di Baitul Hikmah, Haurkuning, Salopa, Tasikmalaya. Jadilah aku santri ”murni” mulai pertengahan tahun 1987. Pesantren Haurkuning ini terkenal dengan kekhususannya mengajarkan ilmu tatabahasa Arab. Pimpinan Pesantrennya, K.H. Saefuddin Zuhri, yang akrab dipanggil Akang, mewajibkan santri-santrinya untuk menghafal kitab-kitab nahw sarf, seperti al-Ajurumiyya, Kailani, Nazm al-Maqsud, hingga yang tertinggi, Alfiyya ibn Malik.
Kalau ada yang dianggap melanggar, hukumannya adalah direndam di kolam samping masjid, aku pun sempat mengalami rendaman air kolam itu, lumayan bikin malu, meski hanya satu kali...Untungnya, berkat pengetahuan dasar dari orang tua di kampung, ditambah dengan tiga tahun menjadi santri di Cipasung, aku malah menjadi santri kesayangan Akang. Selain mengikuti berbagai pelajaran, aku juga sering diajak pergi oleh Akang untuk menemani undangan pengajian. Saat itu kebetulan Akang baru beli motor bekas, Honda 90, yang lebih sering disebut ”Serenet”. Kebetulan hanya aku santri yang punya SIM motor, jadilah aku supir pribadi Akang, wah seneng banget saat itu! maklum aku jadi sangat dekat dengan orang nomor satu di Pesantren...
Setiap hari aku memacu motor kesayangan Akang ini naik turun gunung, pasalnya Pesantren ini memang terletak di atas bukit, jadi kalau mau berangkat harus menukik dengan tajam, dan kalau pulang harus pasang perseneling rendah sejak awal sambil mengucap bismillahirrahmanirrahim...kadang si ”Serenet” tidak kuat juga naik gunung ini dan berhenti di tengah-tengah. Kalau sudah begitu, aku pun mengulang lagi dari bawah sampai berhasil.....wah!
Hanya satu tahun aku jalani mesantren di Haurkuning, sungguh banyak suka duka yang aku alami. Mengingat letaknya yang agak terpencil, pola kehidupan di Haurkuning pun lebih sederhana dibanding di Cipasung; kadang aku makan hanya dengan terasi yang dibakar saja, atau terasinya ”disop” dan diaduk ke dalam nasi, kadang juga aku mencari jantung pisang untuk dijadikan sebagai sayurnya. Untungnya sekali-sekali aku diajak makan di rumah Akang, yang lauknya biasanya lebih baik dibanding hidangan santri.
Meski aku merasa kerasan hidup di pesantren, tapi jujur saja aku tidak pernah berhenti memikirkan untuk bisa kuliah. Tahun 1998 aku pamit ke Akang, aku ingat saat itu habis liburan Idul Fitri, tapi Akang menahanku, dan memintaku untuk tinggal, minimal sampai habis Idul Idha berikutnya, katanya sih tanggung menyelesaikan pengajian kitab Tafsir. Tapi kali ini aku memaksa, aku merasa sudah terlalu lama belajar agama di pesantren, apalagi aku ingat bahwa masa berlaku ijazahku adalah paling lama tiga tahun setelah tahun kelulusan. Artinya, tahun 1990 adalah tahun terakhir aku memiliki kesempatan untuk masuk ke dunia perguruan tinggi.
Akhirnya dengan tidak terlalu mendapat restu dari Akang, aku pun kembali ke Kuningan, dan mengutarakan hasratku ke Bapak untuk melanjutkan kuliah. Tapi, lagi-lagi aku terbentur kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan. Alih-alih dikuliahkan, Bapak malah memaksaku untuk kembali belajar di pesantren yang lain, kali ini adalah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, sebuah pesantren khusus di bidang ilmu tauhid (ketuhanan), pimpinan K.H. Khoer Affandi, yang di Jawa Barat dikenal sebagai mantan tokoh Darul Islam (DI/TII). Kebetulan salah seorang kerabat dekatku, Ayi Isah, menjadi menantu sang Kyai.
Tentu saja aku malas-malasan, meski aku tidak sanggup membantah kehendak Bapak, saat itu aku memang tidak punya pilihan...Ternyata aku hanya mampu empat bulan bertahan di Pesantren ini. Uniknya, meski aku tidak kerasan, selama empat bulan itu aku sempat mengikuti rangkaian lomba pidato yang kebetulan diadakan setiap tahun oleh Pesantren dalam rangka memperingati hari besar Islam. Awalnya juga tidak sengaja, peserta lomba perwakilan kamarku tiba-tiba sakit, dan aku diminta menggantikannya.
Tak dinyana, aku meraih juara pertama antarkamar, aku pun maju ke tahap berikutnya, dan ternyata aku juga menjadi juara pertama antarasrama, serta terakhir di babak final memboyong piala kejuaraan sebagai terbaik pertama tingkat pesantren. Saat itu aku masih ingat bahwa di babak final aku mengalahkan santri senior yang konon sebelumnya selalu menjadi juara pertama, kalau tidak salah namanya Kang Toni, punten lah, Kang...lumayan juga sih hadiahnya berupa kupon makan gratis dengan lauk yang komplit selama beberapa minggu... Bulan berikutnya aku dijadwalkan mengikuti lomba pidato antarpesantren, tapi aku keburu tidak tahan dan tidak betah lagi.
Berkali-kali aku minta izin ke Pimpinan Pesantren, saat itu melalui Kang Asep yang suaminya Ayi Isah kerabat dekatku, tapi aku tidak pernah mendapat izin pulang,”...sabar lah, nanti juga betah...”, begitu nasihat Kang Asep yang sering aku dengar setiap aku minta izin pulang. Akhirnya, kesabaranku habis sudah...! suatu subuh aku nekat minggat dari Pesantren dengan berharudum kain sarung dan menenteng sepatuku melewati rel kereta, aku pun menuju Terminal Bus Tasikmalaya dan meluncur ke Kuningan....ah, sungguh petualangan yang tak mungkin terlupakan!
Hari demi hari, hasrat hati untuk segera menjadi mahasiswa semakin menggebu, terutama kalau mengingat batas berlaku ijazahku itu, aku selalu berifkir bagaimana cara mengatasi masalah ekonomi yang menjadi kendala utamaku? Memang, di rumah aku tidak kekurangan kegiatan, bahkan pengetahuan agamaku sangat dibutuhkan masyarakat saat itu, sehingga aku sering sekali mengisi berbagai pengajian, tapi aku tidak puas dengan itu semua, aku merasa masih bisa mengembangkan potensiku dengan lebih baik, Bapak sendiri saja sarjana muda, masak aku tidak bisa mengenyam bangku kuliah? Begitu pikirku...
Motivasi itulah yang kelak kemudian mengubah jalan hidupku. Aku bersyukur memiliki saudara-saudara yang mendukung niatku, meski mereka juga tidak bisa menutupi kebutuhan finansialku. A Jojo, Ceu Lili, A Dudung, Ceu Juju, dan Kakak-kakak lainnya mendorongku untuk mencoba mengadu nasib di Kota Metropolitan, Jakarta, dan mencari jalan untuk kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Ciputat.
Saterasna....
BERGELUT DENGAN KEJAMNYA IBUKOTA...
Hidup dan belajar sambil prihatin! Itulah kesan yang tidak pernah terlupakan selama aku di Pesantren. Bapak dan Mimih memang mengirimiku uang melalui pos wesel untuk biaya hidup setiap bulannya, “hanya” beberapa puluh ribu rupiah, jauh dari cukup, bahkan untuk kebutuhan pokok sekalipun, makanya setiap bulan aku pasti ngutang ke Ibu angkatku, terutama untuk keperluan makan. Kalau ingin lebih irit, aku pun masak nasi liwet sendiri, lalu nyari lauk seadanya di Mang Ucoy, tahu, atau tempe, atau oncom dan garam, bagiku sudah cukup saat itu…pokoknya, yang penting mah ada DS (deungeun santri) lah...
Untung aku tidak sendirian, aku punya kawan dan sahabat senasib sepenanggungan, istilah Sunda mah sapapait samamanis....di antara mereka adalah Sunardi dan Ade Saefullah. Bersama mereka aku melewati masa-masa pahit dan manis di Cipasung.
Meski demikian, kesederhanaan dan keprihatinan tidak membuatku surut semangat belajar. Di sekolah aku bahkan selalu menjadi juara kelas. Di Pramuka pun aku aktiv dan bahkan pernah menduduki jabatan tertinggi sebagai Ketua Pradana. Begitulah, bagiku saat itu tidak pernah berfikir bahwa aku ini orang yang datang dari keluarga sederhana, sebaliknya aku sering bersyukur karena masih bisa sekolah, banyak tentu saja orang lain yang lebih tidak beruntung dibanding aku, ada yang tidak bisa sekolah, dan kalau pun sekolah, tidak selalu bisa berprestasi...aku ingat beberapa kawanku di Kampung yang kerjanya luntang-lantung, jadi preman, dan bahkan mabuk-mabukan. Sekarang baru terasa buahnya, dulu memang tidak tahu bedanya antara yang kerja keras dan yang berleha-leha....ah, jadi menggurui yah...!
Sebetulnya sih banyak kenangan, baik yang manis maupun pahit, selama aku di Cipasung, tapi tidak mungkin semuanya aku tuliskan di sini. Singkat cerita, aku pun dinyatakan lulus dari MAN Cipasung pada 1987. Berkat prestasiku, aku mendapat penghargaan lulus PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat) untuk langsung bisa masuk kuliah tanpa tes di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung. Awalnya aku bersorak gembira, tapi ternyata aku harus gigit jari karena Bapakku tidak menyanggupi membayar biaya kuliahnya. Memang, walaupun lulus melalui PMDK, tapi hanya bebas biaya masuknya saja...Aku memang sering mendengar Bapak setengah bersumpah untuk menyekolahkan semua anak-anaknya, tapi hanya tingkat SLTA saja, setelah itu, semua diminta mencari jalan hidup masing-masing, begitu katanya!
Aku pun tidak jadi kuliah, malah dimasukkan ke pesantren salaf (pesantren tanpa jenjang pendidikan formal) di Baitul Hikmah, Haurkuning, Salopa, Tasikmalaya. Jadilah aku santri ”murni” mulai pertengahan tahun 1987. Pesantren Haurkuning ini terkenal dengan kekhususannya mengajarkan ilmu tatabahasa Arab. Pimpinan Pesantrennya, K.H. Saefuddin Zuhri, yang akrab dipanggil Akang, mewajibkan santri-santrinya untuk menghafal kitab-kitab nahw sarf, seperti al-Ajurumiyya, Kailani, Nazm al-Maqsud, hingga yang tertinggi, Alfiyya ibn Malik.
Kalau ada yang dianggap melanggar, hukumannya adalah direndam di kolam samping masjid, aku pun sempat mengalami rendaman air kolam itu, lumayan bikin malu, meski hanya satu kali...Untungnya, berkat pengetahuan dasar dari orang tua di kampung, ditambah dengan tiga tahun menjadi santri di Cipasung, aku malah menjadi santri kesayangan Akang. Selain mengikuti berbagai pelajaran, aku juga sering diajak pergi oleh Akang untuk menemani undangan pengajian. Saat itu kebetulan Akang baru beli motor bekas, Honda 90, yang lebih sering disebut ”Serenet”. Kebetulan hanya aku santri yang punya SIM motor, jadilah aku supir pribadi Akang, wah seneng banget saat itu! maklum aku jadi sangat dekat dengan orang nomor satu di Pesantren...
Setiap hari aku memacu motor kesayangan Akang ini naik turun gunung, pasalnya Pesantren ini memang terletak di atas bukit, jadi kalau mau berangkat harus menukik dengan tajam, dan kalau pulang harus pasang perseneling rendah sejak awal sambil mengucap bismillahirrahmanirrahim...kadang si ”Serenet” tidak kuat juga naik gunung ini dan berhenti di tengah-tengah. Kalau sudah begitu, aku pun mengulang lagi dari bawah sampai berhasil.....wah!
Hanya satu tahun aku jalani mesantren di Haurkuning, sungguh banyak suka duka yang aku alami. Mengingat letaknya yang agak terpencil, pola kehidupan di Haurkuning pun lebih sederhana dibanding di Cipasung; kadang aku makan hanya dengan terasi yang dibakar saja, atau terasinya ”disop” dan diaduk ke dalam nasi, kadang juga aku mencari jantung pisang untuk dijadikan sebagai sayurnya. Untungnya sekali-sekali aku diajak makan di rumah Akang, yang lauknya biasanya lebih baik dibanding hidangan santri.
Meski aku merasa kerasan hidup di pesantren, tapi jujur saja aku tidak pernah berhenti memikirkan untuk bisa kuliah. Tahun 1998 aku pamit ke Akang, aku ingat saat itu habis liburan Idul Fitri, tapi Akang menahanku, dan memintaku untuk tinggal, minimal sampai habis Idul Idha berikutnya, katanya sih tanggung menyelesaikan pengajian kitab Tafsir. Tapi kali ini aku memaksa, aku merasa sudah terlalu lama belajar agama di pesantren, apalagi aku ingat bahwa masa berlaku ijazahku adalah paling lama tiga tahun setelah tahun kelulusan. Artinya, tahun 1990 adalah tahun terakhir aku memiliki kesempatan untuk masuk ke dunia perguruan tinggi.
Akhirnya dengan tidak terlalu mendapat restu dari Akang, aku pun kembali ke Kuningan, dan mengutarakan hasratku ke Bapak untuk melanjutkan kuliah. Tapi, lagi-lagi aku terbentur kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan. Alih-alih dikuliahkan, Bapak malah memaksaku untuk kembali belajar di pesantren yang lain, kali ini adalah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, sebuah pesantren khusus di bidang ilmu tauhid (ketuhanan), pimpinan K.H. Khoer Affandi, yang di Jawa Barat dikenal sebagai mantan tokoh Darul Islam (DI/TII). Kebetulan salah seorang kerabat dekatku, Ayi Isah, menjadi menantu sang Kyai.
Tentu saja aku malas-malasan, meski aku tidak sanggup membantah kehendak Bapak, saat itu aku memang tidak punya pilihan...Ternyata aku hanya mampu empat bulan bertahan di Pesantren ini. Uniknya, meski aku tidak kerasan, selama empat bulan itu aku sempat mengikuti rangkaian lomba pidato yang kebetulan diadakan setiap tahun oleh Pesantren dalam rangka memperingati hari besar Islam. Awalnya juga tidak sengaja, peserta lomba perwakilan kamarku tiba-tiba sakit, dan aku diminta menggantikannya.
Tak dinyana, aku meraih juara pertama antarkamar, aku pun maju ke tahap berikutnya, dan ternyata aku juga menjadi juara pertama antarasrama, serta terakhir di babak final memboyong piala kejuaraan sebagai terbaik pertama tingkat pesantren. Saat itu aku masih ingat bahwa di babak final aku mengalahkan santri senior yang konon sebelumnya selalu menjadi juara pertama, kalau tidak salah namanya Kang Toni, punten lah, Kang...lumayan juga sih hadiahnya berupa kupon makan gratis dengan lauk yang komplit selama beberapa minggu... Bulan berikutnya aku dijadwalkan mengikuti lomba pidato antarpesantren, tapi aku keburu tidak tahan dan tidak betah lagi.
Berkali-kali aku minta izin ke Pimpinan Pesantren, saat itu melalui Kang Asep yang suaminya Ayi Isah kerabat dekatku, tapi aku tidak pernah mendapat izin pulang,”...sabar lah, nanti juga betah...”, begitu nasihat Kang Asep yang sering aku dengar setiap aku minta izin pulang. Akhirnya, kesabaranku habis sudah...! suatu subuh aku nekat minggat dari Pesantren dengan berharudum kain sarung dan menenteng sepatuku melewati rel kereta, aku pun menuju Terminal Bus Tasikmalaya dan meluncur ke Kuningan....ah, sungguh petualangan yang tak mungkin terlupakan!
Hari demi hari, hasrat hati untuk segera menjadi mahasiswa semakin menggebu, terutama kalau mengingat batas berlaku ijazahku itu, aku selalu berifkir bagaimana cara mengatasi masalah ekonomi yang menjadi kendala utamaku? Memang, di rumah aku tidak kekurangan kegiatan, bahkan pengetahuan agamaku sangat dibutuhkan masyarakat saat itu, sehingga aku sering sekali mengisi berbagai pengajian, tapi aku tidak puas dengan itu semua, aku merasa masih bisa mengembangkan potensiku dengan lebih baik, Bapak sendiri saja sarjana muda, masak aku tidak bisa mengenyam bangku kuliah? Begitu pikirku...
Motivasi itulah yang kelak kemudian mengubah jalan hidupku. Aku bersyukur memiliki saudara-saudara yang mendukung niatku, meski mereka juga tidak bisa menutupi kebutuhan finansialku. A Jojo, Ceu Lili, A Dudung, Ceu Juju, dan Kakak-kakak lainnya mendorongku untuk mencoba mengadu nasib di Kota Metropolitan, Jakarta, dan mencari jalan untuk kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Ciputat.
Saterasna....
BERGELUT DENGAN KEJAMNYA IBUKOTA...
April 14, 2007
Kuliah, Berprestasi, dan Berdikari
Wah, awal tahun 1990 adalah masa transisi besar-besaran dalam sejarah hidupku! Aku mulai masuk dunia baru yang sudah lama aku idam-idamkan; kelak dunia inilah yang kemudian membawaku pada dunia akademis yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya...bagi orang lain yang jalan hidupnya ”lurus-lurus” saja, menjadi mahasiswa mungkin bukan hal istimewa, tapi bagiku, ini adalah hasil yang aku capai dengan keringat dan peluh selama beberapa waktu...
Aku hampir membayangkan, selesai lah sudah cita-cita hidupku dengan menjadi mahasiswa, meski ternyata nasib berkata lain karena belakangan aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah sampai jenjang tertinggi, program doktoral, dan bahkan menjadi ”Gastwissenschaftler”, atau peneliti tamu di Jerman, atas award dari the Alexander von Humboldt-Stiftung...sungguh sebuah pengalaman yang bahkan sudah melewati batas mimpi sendiri...!, maklumlah, aku ini si Encep yang orang kampung...
Selama kuliah di IAIN, aku juga tidak berarti berhenti mencari sesuap nasi, karena aku harus membayar sendiri biaya kuliahku. Kini, aku harus mencari kegiatan yang sifatnya tidak mengikat, sehingga tidak mengganggu aktivitas kuliah; banyak bisnis kecil-kecilan yang aku jalani, mulai dari berjualan jam tangan, batik, bisnis multilevel CNI, sampai terakhir membuka kios kacamata.
Aku masih ingat, modal awalku adalah pinjaman uang dari kakakku, A Jojo dan Ceu Lili, sebesar Rp 1.000.000,-; itu pun tidak cash semua, karena aku juga membawa sebuah televisi 14 inch merek National Quintrix, yang dihargai oleh A Jojo seharga Rp 400.000,-. Alhasil, aku membawa uang Rp 600.000,-; yang aku belikan alat periksa mata seharga Rp 500.000,-, dan sisanya untuk membeli beberapa buah frame kacamata sebagai koleksi untuk dipajang di etalase yang aku pesan secara khusus...tentu saja aku tidak memiliki pendidikan formal menjadi dokter kacamata, aku hanya kreativ bekerja sama dengan seorang sarjana optikal, Kang Makmun namanya, dan aku mempelajari "secara ilegal" bagaimana caranya memeriksa mata...
Begitulah, aku bak pengusaha kecil saja jadinya, mencari sebanyak-banyaknya uang untuk mendukung aktivitas kuliahku. Selain bisnis, aku juga banyak mengajar ngaji di rumah-rumah orang kaya yang sibuk dengan pekerjaannya, dan tidak sempat mengajari anak-anaknya, atau mengisi berbagai undangan pengajian, baik di masjid, di hotel, maupun di berbagai perkantoran, lumayan, uang tranpotnya seringkali dapat menambah tabunganku untuk membayar biaya kuliah semester berikutnya...Bahkan, karena mungkin terlalu serius mencari uang, aku sempat dijuluki sebagai ”mahasiswa kaya”, karena aku bisa membeli sepeda motor, televisi, dan membayar rumah kontrakan sendiri...
Meski aku sibuk mencari uang, aku juga tidak melupakan tugas utamaku sebagai mahasiswa, belajar...! bahkan lebih dari itu, aku sempat menjadi aktivis kampus, dan menduduki jabatan tertinggi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Cabang Ciputat tahun 1992-1993, serta Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Adab pada 1993-1994.
Di organisasi profesi, aku juga tidak ketinggalan aktiv di Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA), dan mengikuti sejumlah lomba di DKI Jakarta. Dalam hal ini, prestasi tertinggiku adalah sebagai Juara Pertama lomba Kaligrafi bidang mushaf Al-Quran tingkat DKI Jakarta pada 1993. Lumayan juga, aku mengoleksi sejumlah piala kejuaraan, di samping piala lomba pidato yang memang menjadi ”kegemaranku” saat itu...
Syukurlah, semua ini tak luput dari bekal yang aku peroleh selama beberapa tahun belajar di pesantren, khususnya pengetahuanku atas bahasa Arab, sehingga aku tidak terlalu repot belajar lagi, dan bisa beraktivitas secara leluasa di luar kampus.
Bahkan, aku patut bersyukur karena bisa menyelesaikan kuliah dalam 4 tahun saja dengan predikat cumlaude, dan menjadi mahasiswa terbaik di Fakultas Adab. Aku pun didaulat untuk berpidato mewakili para wisudawan..., dan aku pun mengggunakan kesempatan itu untuk mengungkapkan terima kasih kepada orang tuaku, Bapak dan Mimih... entah apa perasaan Bapak yang saat itu duduk di deretan bangku undangan, aku sempat melihatnya menangis tersedu-sedu...sayang, Mimih tidak sempat menyaksikan semuanya ini, aku bahkan tidak sempat melihat kembali wajah lembutnya ketika Mimih wafat pada 1991...terakhir aku sempat melambaikan tangan perpisahan di Masjid Istiqlal, usai menyaksikan Festifal Istiqlal di Jakarta...semoga Mimih berbangga di alam baqa, dan tentram di sisi-Nya, amin...
Saterasna....
MENITI KARIR...
Aku hampir membayangkan, selesai lah sudah cita-cita hidupku dengan menjadi mahasiswa, meski ternyata nasib berkata lain karena belakangan aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah sampai jenjang tertinggi, program doktoral, dan bahkan menjadi ”Gastwissenschaftler”, atau peneliti tamu di Jerman, atas award dari the Alexander von Humboldt-Stiftung...sungguh sebuah pengalaman yang bahkan sudah melewati batas mimpi sendiri...!, maklumlah, aku ini si Encep yang orang kampung...
Selama kuliah di IAIN, aku juga tidak berarti berhenti mencari sesuap nasi, karena aku harus membayar sendiri biaya kuliahku. Kini, aku harus mencari kegiatan yang sifatnya tidak mengikat, sehingga tidak mengganggu aktivitas kuliah; banyak bisnis kecil-kecilan yang aku jalani, mulai dari berjualan jam tangan, batik, bisnis multilevel CNI, sampai terakhir membuka kios kacamata.
Aku masih ingat, modal awalku adalah pinjaman uang dari kakakku, A Jojo dan Ceu Lili, sebesar Rp 1.000.000,-; itu pun tidak cash semua, karena aku juga membawa sebuah televisi 14 inch merek National Quintrix, yang dihargai oleh A Jojo seharga Rp 400.000,-. Alhasil, aku membawa uang Rp 600.000,-; yang aku belikan alat periksa mata seharga Rp 500.000,-, dan sisanya untuk membeli beberapa buah frame kacamata sebagai koleksi untuk dipajang di etalase yang aku pesan secara khusus...tentu saja aku tidak memiliki pendidikan formal menjadi dokter kacamata, aku hanya kreativ bekerja sama dengan seorang sarjana optikal, Kang Makmun namanya, dan aku mempelajari "secara ilegal" bagaimana caranya memeriksa mata...
Begitulah, aku bak pengusaha kecil saja jadinya, mencari sebanyak-banyaknya uang untuk mendukung aktivitas kuliahku. Selain bisnis, aku juga banyak mengajar ngaji di rumah-rumah orang kaya yang sibuk dengan pekerjaannya, dan tidak sempat mengajari anak-anaknya, atau mengisi berbagai undangan pengajian, baik di masjid, di hotel, maupun di berbagai perkantoran, lumayan, uang tranpotnya seringkali dapat menambah tabunganku untuk membayar biaya kuliah semester berikutnya...Bahkan, karena mungkin terlalu serius mencari uang, aku sempat dijuluki sebagai ”mahasiswa kaya”, karena aku bisa membeli sepeda motor, televisi, dan membayar rumah kontrakan sendiri...
Meski aku sibuk mencari uang, aku juga tidak melupakan tugas utamaku sebagai mahasiswa, belajar...! bahkan lebih dari itu, aku sempat menjadi aktivis kampus, dan menduduki jabatan tertinggi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Cabang Ciputat tahun 1992-1993, serta Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Adab pada 1993-1994.
Di organisasi profesi, aku juga tidak ketinggalan aktiv di Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA), dan mengikuti sejumlah lomba di DKI Jakarta. Dalam hal ini, prestasi tertinggiku adalah sebagai Juara Pertama lomba Kaligrafi bidang mushaf Al-Quran tingkat DKI Jakarta pada 1993. Lumayan juga, aku mengoleksi sejumlah piala kejuaraan, di samping piala lomba pidato yang memang menjadi ”kegemaranku” saat itu...
Syukurlah, semua ini tak luput dari bekal yang aku peroleh selama beberapa tahun belajar di pesantren, khususnya pengetahuanku atas bahasa Arab, sehingga aku tidak terlalu repot belajar lagi, dan bisa beraktivitas secara leluasa di luar kampus.
Bahkan, aku patut bersyukur karena bisa menyelesaikan kuliah dalam 4 tahun saja dengan predikat cumlaude, dan menjadi mahasiswa terbaik di Fakultas Adab. Aku pun didaulat untuk berpidato mewakili para wisudawan..., dan aku pun mengggunakan kesempatan itu untuk mengungkapkan terima kasih kepada orang tuaku, Bapak dan Mimih... entah apa perasaan Bapak yang saat itu duduk di deretan bangku undangan, aku sempat melihatnya menangis tersedu-sedu...sayang, Mimih tidak sempat menyaksikan semuanya ini, aku bahkan tidak sempat melihat kembali wajah lembutnya ketika Mimih wafat pada 1991...terakhir aku sempat melambaikan tangan perpisahan di Masjid Istiqlal, usai menyaksikan Festifal Istiqlal di Jakarta...semoga Mimih berbangga di alam baqa, dan tentram di sisi-Nya, amin...
Saterasna....
MENITI KARIR...
Bergulat dengan Kejamnya Ibukota: Pedagang Asongan
Dengan mengucap basmallah dan bekal uang secukupnya, aku pun berangkat ke Ibukota. Tentu saja niat utamanya kuliah, tapi ternyata jalan yang harus aku tempuh tidak semulus yang dibayangkan. Beruntung aku punya Kakak sepupu, A Ihin dan Ceu Adah, yang tinggal di Jakarta, tepatnya di Sukabumi Udik Kebayoran Lama, meski masih ngontrak saja...aku berhutang budi sekali atas kebaikan mereka berdua yang untuk pertama kalinya memberikan tumpangan.
Aku sering bertukar pikiran dengan A Ihin dan Ceu Adah tentang rencana kuliahku, selain kami juga sering bertukar ilmu, A Ihin mengajariku bermain gitar, dan sebagai imbalannya aku diminta mengajarinya Kitab Alfiyya, tentang tatabahasa Arab...A Ihin saat itu memang seorang seniman yang kental nuansa Islamnya, skripsinya saja tentang musikalisasi Al-Quran, kalau tidak salah...
Aku tentu saja tidak mungkin hanya ucang-ucang angge di rumah A Ihin dan Ceu Adah. Aku harus mencari penghasilan sendiri. Tapi seperti yang sering orang bilang, :...Jakarta memang kejam, siapa suruh datang ke Ibukota! Tidak mudah mencari uang di Jakarta, aku pun nekat melakukan apa saja, ”...asal halal...”, pikirku!
Dengan bekal gendongan rokok pinjaman dari A Ihin, setiap hari aku berjalan kaki menyusuri jalan Kebayoran Lama sampai Tanah Abang sambil berteriak: ”...rokok...rokok...permen....”. begitulah, aku menjadi pedagang asongan demi mencari ”sesuap nasi”.
Aku jalani ”profesi” itu dalam beberapa bulan...aku masih ingat, seringkali pagi hari Ceu Adah mengantar kepergianku dengan tetes air mata haru, ”...duh, bertahun-tahun mesantren kok malah jadi pedagang asongan, sabar aja yah, insya Allah suatu saat akan lebih baik...” begitu kira-kira Ceu Adah sering menasihatiku...aku pun sering menangis dalam hati, ”...kalau cuma akan menjadi penjaja rokok, kenapa harus capek-capek belajar di pesantren...” begitu keluhku. Tapi sudahlah, aku anggap ini hanya batu loncatan saja, mungkin lebih baik aku jalani saja hidup ini bagai air yang mengalir...
Syukurlah, dengan menjadi pedagang asongan, aku punya penghasilan sendiri, mau tahu berapa? Setiap hari aku berhasil mengumpulkan uang rata-rata Rp. 10.000,- atau paling banyak Rp 15.000,-, tapi karena modalnya milik Kakakku, penghasilan bersihku hanya 10%, jadi sekitar Rp 1000,- sampai Rp 1.500,- saja setiap harinya. Pelan-pelan aku simpan uang itu di tabungan, tentu saja tidak disimpan di Bank, karena terlalu kecil, Ceu Adah lah yang mengatur dan menyimpannya.
Atas saran A Ihin, untuk menambah penghasilan, aku pun menjajakan permen ke warung-warung di sekitar tempat tinggal, aku simpan beberapa bungkus, minggu berikutnya aku tengok lagi, dan pemilik warung membayar permen yang terjual...lumayan juga, yang penting aku bisa berbangga karena punya penghasilan sendiri...
Nasibku saat itu jauh lebih baik dari Mang Kiman, kawan yang senasib menjadi pedagang asongan, sialnya, suatu hari ketika sedang berwudlu untuk shalat Zuhur di Kebayoran Lama, gendongannya dicuri orang, sungguh keterlaluan si Pencuri! orang susah kok dibikin masih susah....
Aku tak akan lupa, awal tahun 1989, melalui usaha A Ihin pula, aku mendapat informasi di koran tentang lowongan kerja di sebuah Penerbit buku, Kalam Mulia. Posisi yang dibutuhkan adalah sebagai editor bahasa Arab. Aku pun memberanikan diri melamar dan ikut tes, bersaing dengan beberapa mahasiswa IAIN Ciputat dan Insitut Ilmu Al-Quran (IIQ). Alhamdulillah, hanya aku yang lulus! Aku pun sangat berbangga, kali ini aku berfikir, ”...ah, ternyata tidak sia-sia bertahun-tahun mesantren, kemampuanku tidak kalah dibanding mahasiswa...”.
Bulan berikutnya aku pun ”naik pangkat”, dari seorang pedagang asongan menjadi editor bahasa Arab dan karyawan kantoran. Lumayan, kalau biasanya penghasilanku Rp 1.000,- per hari, atau sekitar Rp 30.000,- per bulan; kini aku mendapat gaji Rp 80.000,- per bulan, plus uang makan Rp 2000,- per hari, ditambah pula fasilitas penginapan di Mess Perusahaan. Aku bersyukur dan menikmati sekali dengan pekerjaanku kali ini karena aku merasa lebih bisa memanfaatkan hasil jerih payahku belajar ilmu bahasa Arab di pesantren selama bertahun-tahun. Tugasku saat itu adalah menjadi ”palang pintu” semua buku, termasuk kitab suci Al-Quran, yang akan dicetak. Aku harus memeriksanya kalau-kalau ada teks bahasa Arab yang salah tulis, baik huruf maupun harakatnya...
Bapak dan Mimih pun pernah menyempatkan diri mampir di Messku pada tahun 1989 itu. Mereka yang dulu tidak terlalu rela melepasku ke Jakarta karena meninggalkan tugas pengajian di Kampung, kini bisa mulai berbangga melihat apa yang aku peroleh...belakangan, aku juga bisa menghubungkan A Dudung yang rajin menulis dengan pihak Penerbit yang kebetulan bersedia menerbitkan karya-karyanya.
Pada masa ini pula aku berhutang budi pada keluarga Ceu Ai dan Kang Nazaruddin, karena aku juga sempat numpang di rumahnya beberapa waktu sebelum aku mendapat fasilitas Mess dari Perusahaan. Ceu Ai dan Akang banyak memberiku motivasi agar bisa bertahan dan terus mengembangkan potensi di Jakarta. Ceu Ai dan Akang sedemikian sabar menampungku meski rumahnya tidak terlalu besar. Sayang, beberapa waktu setelah aku pindah ke Mess, rumah ini malah hangus dalam suatu peristiwa kebakaran, meski tidak ada jiwa yang hilang...nuhun Ceu, nuhun Kang...
Meski aktivitas, penghasilan, dan status sosialku sudah lebih baik, aku tidak pernah berhenti memimpikan menjadi mahasiswa. Selama setahun lebih aku berusaha menyisihkan uang untuk biaya masuk kuliah, karena tahun depan, 1990, tidak ada pilihan lain kecuali harus masuk kuliah, kalau tidak, hanguslah ijazahku...
Usahaku tidak sia-sia, aku berhasil mengumpulkan uang ratusan ribu rupiah, dan cukup untuk membayar biaya pendaftaran kuliah ke IAIN Ciputat, aku lupa jumlah persis biayanya berapa..., aku bahkan bisa membeli sebuah sepeda motor tua, Honda CB seharga Rp 200.000,-, lumayan untuk mobilitas di Jakarta. Saat itu A Uud yang mencarikan motornya di Kuningan. Murah memang, karena surat-suratnya juga sudah mati, alias tidak berlaku lagi! Aku berani membelinya karena Kang Nazarudin bekerja di Polda Metro Jaya dan biasa mengurus surat-surat kendaran bermotor...
Juni 1990, aku terdaftar sebagai peserta tes masuk IAIN Ciputat, senengnya bukan main, meski baru mau tes saja...Malangnya, jalan yang harus aku lalui untuk sekedar ikut tes masuk pun rupanya harus terjal...!. Detik-detik terakhir menjelang waktunya tes, aku mendapat mengalami persitiwa yang nyaris memupuskan semua harapan dan cita-citaku untuk menjadi mahasiswa. Aku ingat, hari itu Rabu sore, aku masih pulang kerja dari Penerbit dan pulang langsung ke Ciputat, aku pun sudah minta izin ke pimpinan Perusahaan untuk tidak masuk kerja keesokan harinya. Saat itu, Aep, keponakanku, sudah duluan menjadi mahasiswa di Fakultas Tarbiyah (Pendidikan), aku pun biasa numpang di tempat kostnya. Malam itu, rencananya aku mau mempelajari bekas soal-soal ujian masuk tahun sebelumnya, sebagai persiapan tes besok hari.
Hanya saja, sore itu ceritanya menjadi lain karena Aep tidak ada di tempat. Celakanya, aku menitipkan Kartu Tanda Ujian di Aep, dan setahuku Kartu itu disimpan di buku agendanya. Menurut kawan sekamarnya, Alfan, Aep sedang ikut camping Pramuka di Cipatuguran Sukabumi, dan buku agenda itu pasti dibawanya. Gile, pikirku...! tidak ada pesan apapun dari Aep, apakah Kartu itu dititipkan atau disimpan di suatu tempat lain. Harap maklum, saat itu belum ada teknologi Hand Phone, sehingga belum bisa kontak melalui pesan singkat (SMS) seperti sekarang...Aku juga tidak tahu dimana itu yang namanya Cipatuguran? Kawan Aep pun sama-sama tidak tahu...
Sampai jam 20.00 aku masih mencoba mencari jalan keluar; aku memang menyimpan salinan Kartu itu, aku pun coba menemui saudara sepepu, Ayi Ade dan Ayi Didin, yang saat itu sudah menjadi dosen di IAIN dan Ayi Ade bahkan menjadi anggota panitia ujian masuk. Harapanku, besok hari, panitia memperbolehkan aku mengikuti ujian masuk dengan membawa salinan Kartunya...Malang nasibku, aku hidup di Indonesia, negara yang sistemnya seringkali lebih cenderung mempersulit daripada mempermudah urusan...! usahaku pun terbentur sistem yang dibuat itu...ah, agak emosional aku waktu itu!
Jam 21.00, aku pun memutuskan mencari dimana itu yang namanya Cipatuguran? Beruntung Alfan berbaik hati menemaniku berboncengan di Motor Honda CB bututku. Awalnya aku sempat ragu, karena sebetulnya hampir dua hari sekali Motorku suka ngadat, kadang-kadang rantainya putus, maklum Motor tua! Tapi aku tidak punya pilihan lain, kuisi tangki bensinnya sampai penuh, karena aku tidak akan tahu seberapa jauh perjalanan malamku ini...
Singkat cerita, setelah bertanya puluhan kali, aku pun nyampe di tempat yang disebut Cipatuguran, Sukabumi itu. Aku tidak tahu berapa kilometer jarak yang telah aku tempuh, yang jelas, dengan kecepatan kira-kira 50 km per jam, aku tiba di Cipatuguran jam 02.00 dinihari! Aku pun nekat mengetuk pintu sebuah rumah yang ada tulisan ”Ketua RT” untuk menanyakan apakah ada rombongan anggota Pramuka yang sedang camping di daerah ini...Beruntung, Pak RT berbaik hati untuk mengantarkanku ke lokasinya yang ternyata di pinggir pantai.
Aku pun membangunkan Aep yang saat itu sedang tertidur lelap...”dimana Kartu Ujian Masuk yang aku titipkan? Besok aku membutuhkannya” ujarku. Aep malah terkaget-kaget, mungkin karena baru bangun tidur, atau karena lupa pernah dititipin Kartu itu. Setelah beberapa saat mengumpulkan kesadarannya, barulah Aep bilang: ”...waduh, Kartu itu aku pindahkan ke buku lain, kalau tidak salah buku Fiqh”...Alamaak! ternyata kartu itu tidak ada di Cipatuguran...aku pun tidak membuang-buang waktu di tempat itu, aku segera bergegas kembali pulang, mengingat waktu tempuh Cipatuguran-Ciputat yang sekitar 5 jam. Aku harus sudah ada di Ciputat sebelum jam 7 pagi...
Motor CB aku pacu secepat mungkin, meski mata mengantuk luar biasa...di sebuah persimpangan aku menabrak pinggir tebing akibat kantuk yang tak tertahankan! Beruntung hanya tali kopling Motorku yang putus...aku pun memutuskan istirahat sejenak sambil minum kopi di sebuah warung di pinggir jalan; setelah itu, aku kembali memacu Motorku, kali ini tanpa tali kopling! bayangkan saja betapa susahnya aku mengendarai motor dengan perseneling manual tanpa tali kopling....setiap habis berhenti dan mulai jalan, aku turun, lalu aku dorong sambil memasukkan perseneling ke gigi dua, dan setelah bunyi, aku dan Alfan pun loncat ke atasnya.....bak di filem saja!
Jam 6.00 pagi aku tiba di Ciputat, pas bensin motorku habis, aku pun menuntunnya ke pom bensin terdekat...tiba di tempat kost, aku tidak segera mencari buku yang disebut oleh Aep itu, karena aku muntah-muntah dan tidak enak badan, mungkin masuk angin, lagi pula aku pikir bukunya sudah pasti ada, dan kartunya pasti terselip di situ...Ternyata dugaanku meleset, bukunya memang ada, tapi tidak ada Kartu di dalamnya! Badanku lemas, nyaris pupus harapanku, jam sudah menunjukkan angka 7! Atas saran Alfan, aku memutuskan membongkar semua buku-buku Aep di lemarinya.....! akhirnya, kutemukan juga Kartu itu di buku yang lain...dasar si Aep!
Aku pun bergegas ke kampus, aku tidak bisa konsentrasi, mataku mengantuk berat, beruntung jadwal hari pertama ujian adalah bahasa Arab, bidang yang aku tekuni dan pelajari selama bertahun-tahun, jadi aku bisa mengerjakannya meski sambil sedikit mengantuk..saat istirahat tiba, aku benar-benar tertidur di atas rumput lapangan kampus, mungkin aku akan kehilangan jadwal berikutnya dan tidak jadi mahasiswa jika bel tanda masuk kelas lagi tidak membangunkanku...!
Alhamdulillah, singkat cerita aku dinyatakan lulus dan resmi menjadi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN (kini namanya UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Aku pun secara resmi mengundurkan diri dari Penerbit Kalam Mulia, meski pada masa-masa awal masih nyambi mengerjakan ”proyek” lay out dan mounting buku-buku yang akan diterbitkan, atau menjualkan buku-buku terbitannnya ke toko-toko, sekedar menyambung penghasilan bulanan sebelum ada sumber penghasilan lain...
Saterasna....
KULIAH, BERPRESTASI, DAN BERDIKARI...
Aku sering bertukar pikiran dengan A Ihin dan Ceu Adah tentang rencana kuliahku, selain kami juga sering bertukar ilmu, A Ihin mengajariku bermain gitar, dan sebagai imbalannya aku diminta mengajarinya Kitab Alfiyya, tentang tatabahasa Arab...A Ihin saat itu memang seorang seniman yang kental nuansa Islamnya, skripsinya saja tentang musikalisasi Al-Quran, kalau tidak salah...
Aku tentu saja tidak mungkin hanya ucang-ucang angge di rumah A Ihin dan Ceu Adah. Aku harus mencari penghasilan sendiri. Tapi seperti yang sering orang bilang, :...Jakarta memang kejam, siapa suruh datang ke Ibukota! Tidak mudah mencari uang di Jakarta, aku pun nekat melakukan apa saja, ”...asal halal...”, pikirku!
Dengan bekal gendongan rokok pinjaman dari A Ihin, setiap hari aku berjalan kaki menyusuri jalan Kebayoran Lama sampai Tanah Abang sambil berteriak: ”...rokok...rokok...permen....”. begitulah, aku menjadi pedagang asongan demi mencari ”sesuap nasi”.
Aku jalani ”profesi” itu dalam beberapa bulan...aku masih ingat, seringkali pagi hari Ceu Adah mengantar kepergianku dengan tetes air mata haru, ”...duh, bertahun-tahun mesantren kok malah jadi pedagang asongan, sabar aja yah, insya Allah suatu saat akan lebih baik...” begitu kira-kira Ceu Adah sering menasihatiku...aku pun sering menangis dalam hati, ”...kalau cuma akan menjadi penjaja rokok, kenapa harus capek-capek belajar di pesantren...” begitu keluhku. Tapi sudahlah, aku anggap ini hanya batu loncatan saja, mungkin lebih baik aku jalani saja hidup ini bagai air yang mengalir...
Syukurlah, dengan menjadi pedagang asongan, aku punya penghasilan sendiri, mau tahu berapa? Setiap hari aku berhasil mengumpulkan uang rata-rata Rp. 10.000,- atau paling banyak Rp 15.000,-, tapi karena modalnya milik Kakakku, penghasilan bersihku hanya 10%, jadi sekitar Rp 1000,- sampai Rp 1.500,- saja setiap harinya. Pelan-pelan aku simpan uang itu di tabungan, tentu saja tidak disimpan di Bank, karena terlalu kecil, Ceu Adah lah yang mengatur dan menyimpannya.
Atas saran A Ihin, untuk menambah penghasilan, aku pun menjajakan permen ke warung-warung di sekitar tempat tinggal, aku simpan beberapa bungkus, minggu berikutnya aku tengok lagi, dan pemilik warung membayar permen yang terjual...lumayan juga, yang penting aku bisa berbangga karena punya penghasilan sendiri...
Nasibku saat itu jauh lebih baik dari Mang Kiman, kawan yang senasib menjadi pedagang asongan, sialnya, suatu hari ketika sedang berwudlu untuk shalat Zuhur di Kebayoran Lama, gendongannya dicuri orang, sungguh keterlaluan si Pencuri! orang susah kok dibikin masih susah....
Aku tak akan lupa, awal tahun 1989, melalui usaha A Ihin pula, aku mendapat informasi di koran tentang lowongan kerja di sebuah Penerbit buku, Kalam Mulia. Posisi yang dibutuhkan adalah sebagai editor bahasa Arab. Aku pun memberanikan diri melamar dan ikut tes, bersaing dengan beberapa mahasiswa IAIN Ciputat dan Insitut Ilmu Al-Quran (IIQ). Alhamdulillah, hanya aku yang lulus! Aku pun sangat berbangga, kali ini aku berfikir, ”...ah, ternyata tidak sia-sia bertahun-tahun mesantren, kemampuanku tidak kalah dibanding mahasiswa...”.
Bulan berikutnya aku pun ”naik pangkat”, dari seorang pedagang asongan menjadi editor bahasa Arab dan karyawan kantoran. Lumayan, kalau biasanya penghasilanku Rp 1.000,- per hari, atau sekitar Rp 30.000,- per bulan; kini aku mendapat gaji Rp 80.000,- per bulan, plus uang makan Rp 2000,- per hari, ditambah pula fasilitas penginapan di Mess Perusahaan. Aku bersyukur dan menikmati sekali dengan pekerjaanku kali ini karena aku merasa lebih bisa memanfaatkan hasil jerih payahku belajar ilmu bahasa Arab di pesantren selama bertahun-tahun. Tugasku saat itu adalah menjadi ”palang pintu” semua buku, termasuk kitab suci Al-Quran, yang akan dicetak. Aku harus memeriksanya kalau-kalau ada teks bahasa Arab yang salah tulis, baik huruf maupun harakatnya...
Bapak dan Mimih pun pernah menyempatkan diri mampir di Messku pada tahun 1989 itu. Mereka yang dulu tidak terlalu rela melepasku ke Jakarta karena meninggalkan tugas pengajian di Kampung, kini bisa mulai berbangga melihat apa yang aku peroleh...belakangan, aku juga bisa menghubungkan A Dudung yang rajin menulis dengan pihak Penerbit yang kebetulan bersedia menerbitkan karya-karyanya.
Pada masa ini pula aku berhutang budi pada keluarga Ceu Ai dan Kang Nazaruddin, karena aku juga sempat numpang di rumahnya beberapa waktu sebelum aku mendapat fasilitas Mess dari Perusahaan. Ceu Ai dan Akang banyak memberiku motivasi agar bisa bertahan dan terus mengembangkan potensi di Jakarta. Ceu Ai dan Akang sedemikian sabar menampungku meski rumahnya tidak terlalu besar. Sayang, beberapa waktu setelah aku pindah ke Mess, rumah ini malah hangus dalam suatu peristiwa kebakaran, meski tidak ada jiwa yang hilang...nuhun Ceu, nuhun Kang...
Meski aktivitas, penghasilan, dan status sosialku sudah lebih baik, aku tidak pernah berhenti memimpikan menjadi mahasiswa. Selama setahun lebih aku berusaha menyisihkan uang untuk biaya masuk kuliah, karena tahun depan, 1990, tidak ada pilihan lain kecuali harus masuk kuliah, kalau tidak, hanguslah ijazahku...
Usahaku tidak sia-sia, aku berhasil mengumpulkan uang ratusan ribu rupiah, dan cukup untuk membayar biaya pendaftaran kuliah ke IAIN Ciputat, aku lupa jumlah persis biayanya berapa..., aku bahkan bisa membeli sebuah sepeda motor tua, Honda CB seharga Rp 200.000,-, lumayan untuk mobilitas di Jakarta. Saat itu A Uud yang mencarikan motornya di Kuningan. Murah memang, karena surat-suratnya juga sudah mati, alias tidak berlaku lagi! Aku berani membelinya karena Kang Nazarudin bekerja di Polda Metro Jaya dan biasa mengurus surat-surat kendaran bermotor...
Juni 1990, aku terdaftar sebagai peserta tes masuk IAIN Ciputat, senengnya bukan main, meski baru mau tes saja...Malangnya, jalan yang harus aku lalui untuk sekedar ikut tes masuk pun rupanya harus terjal...!. Detik-detik terakhir menjelang waktunya tes, aku mendapat mengalami persitiwa yang nyaris memupuskan semua harapan dan cita-citaku untuk menjadi mahasiswa. Aku ingat, hari itu Rabu sore, aku masih pulang kerja dari Penerbit dan pulang langsung ke Ciputat, aku pun sudah minta izin ke pimpinan Perusahaan untuk tidak masuk kerja keesokan harinya. Saat itu, Aep, keponakanku, sudah duluan menjadi mahasiswa di Fakultas Tarbiyah (Pendidikan), aku pun biasa numpang di tempat kostnya. Malam itu, rencananya aku mau mempelajari bekas soal-soal ujian masuk tahun sebelumnya, sebagai persiapan tes besok hari.
Hanya saja, sore itu ceritanya menjadi lain karena Aep tidak ada di tempat. Celakanya, aku menitipkan Kartu Tanda Ujian di Aep, dan setahuku Kartu itu disimpan di buku agendanya. Menurut kawan sekamarnya, Alfan, Aep sedang ikut camping Pramuka di Cipatuguran Sukabumi, dan buku agenda itu pasti dibawanya. Gile, pikirku...! tidak ada pesan apapun dari Aep, apakah Kartu itu dititipkan atau disimpan di suatu tempat lain. Harap maklum, saat itu belum ada teknologi Hand Phone, sehingga belum bisa kontak melalui pesan singkat (SMS) seperti sekarang...Aku juga tidak tahu dimana itu yang namanya Cipatuguran? Kawan Aep pun sama-sama tidak tahu...
Sampai jam 20.00 aku masih mencoba mencari jalan keluar; aku memang menyimpan salinan Kartu itu, aku pun coba menemui saudara sepepu, Ayi Ade dan Ayi Didin, yang saat itu sudah menjadi dosen di IAIN dan Ayi Ade bahkan menjadi anggota panitia ujian masuk. Harapanku, besok hari, panitia memperbolehkan aku mengikuti ujian masuk dengan membawa salinan Kartunya...Malang nasibku, aku hidup di Indonesia, negara yang sistemnya seringkali lebih cenderung mempersulit daripada mempermudah urusan...! usahaku pun terbentur sistem yang dibuat itu...ah, agak emosional aku waktu itu!
Jam 21.00, aku pun memutuskan mencari dimana itu yang namanya Cipatuguran? Beruntung Alfan berbaik hati menemaniku berboncengan di Motor Honda CB bututku. Awalnya aku sempat ragu, karena sebetulnya hampir dua hari sekali Motorku suka ngadat, kadang-kadang rantainya putus, maklum Motor tua! Tapi aku tidak punya pilihan lain, kuisi tangki bensinnya sampai penuh, karena aku tidak akan tahu seberapa jauh perjalanan malamku ini...
Singkat cerita, setelah bertanya puluhan kali, aku pun nyampe di tempat yang disebut Cipatuguran, Sukabumi itu. Aku tidak tahu berapa kilometer jarak yang telah aku tempuh, yang jelas, dengan kecepatan kira-kira 50 km per jam, aku tiba di Cipatuguran jam 02.00 dinihari! Aku pun nekat mengetuk pintu sebuah rumah yang ada tulisan ”Ketua RT” untuk menanyakan apakah ada rombongan anggota Pramuka yang sedang camping di daerah ini...Beruntung, Pak RT berbaik hati untuk mengantarkanku ke lokasinya yang ternyata di pinggir pantai.
Aku pun membangunkan Aep yang saat itu sedang tertidur lelap...”dimana Kartu Ujian Masuk yang aku titipkan? Besok aku membutuhkannya” ujarku. Aep malah terkaget-kaget, mungkin karena baru bangun tidur, atau karena lupa pernah dititipin Kartu itu. Setelah beberapa saat mengumpulkan kesadarannya, barulah Aep bilang: ”...waduh, Kartu itu aku pindahkan ke buku lain, kalau tidak salah buku Fiqh”...Alamaak! ternyata kartu itu tidak ada di Cipatuguran...aku pun tidak membuang-buang waktu di tempat itu, aku segera bergegas kembali pulang, mengingat waktu tempuh Cipatuguran-Ciputat yang sekitar 5 jam. Aku harus sudah ada di Ciputat sebelum jam 7 pagi...
Motor CB aku pacu secepat mungkin, meski mata mengantuk luar biasa...di sebuah persimpangan aku menabrak pinggir tebing akibat kantuk yang tak tertahankan! Beruntung hanya tali kopling Motorku yang putus...aku pun memutuskan istirahat sejenak sambil minum kopi di sebuah warung di pinggir jalan; setelah itu, aku kembali memacu Motorku, kali ini tanpa tali kopling! bayangkan saja betapa susahnya aku mengendarai motor dengan perseneling manual tanpa tali kopling....setiap habis berhenti dan mulai jalan, aku turun, lalu aku dorong sambil memasukkan perseneling ke gigi dua, dan setelah bunyi, aku dan Alfan pun loncat ke atasnya.....bak di filem saja!
Jam 6.00 pagi aku tiba di Ciputat, pas bensin motorku habis, aku pun menuntunnya ke pom bensin terdekat...tiba di tempat kost, aku tidak segera mencari buku yang disebut oleh Aep itu, karena aku muntah-muntah dan tidak enak badan, mungkin masuk angin, lagi pula aku pikir bukunya sudah pasti ada, dan kartunya pasti terselip di situ...Ternyata dugaanku meleset, bukunya memang ada, tapi tidak ada Kartu di dalamnya! Badanku lemas, nyaris pupus harapanku, jam sudah menunjukkan angka 7! Atas saran Alfan, aku memutuskan membongkar semua buku-buku Aep di lemarinya.....! akhirnya, kutemukan juga Kartu itu di buku yang lain...dasar si Aep!
Aku pun bergegas ke kampus, aku tidak bisa konsentrasi, mataku mengantuk berat, beruntung jadwal hari pertama ujian adalah bahasa Arab, bidang yang aku tekuni dan pelajari selama bertahun-tahun, jadi aku bisa mengerjakannya meski sambil sedikit mengantuk..saat istirahat tiba, aku benar-benar tertidur di atas rumput lapangan kampus, mungkin aku akan kehilangan jadwal berikutnya dan tidak jadi mahasiswa jika bel tanda masuk kelas lagi tidak membangunkanku...!
Alhamdulillah, singkat cerita aku dinyatakan lulus dan resmi menjadi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN (kini namanya UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Aku pun secara resmi mengundurkan diri dari Penerbit Kalam Mulia, meski pada masa-masa awal masih nyambi mengerjakan ”proyek” lay out dan mounting buku-buku yang akan diterbitkan, atau menjualkan buku-buku terbitannnya ke toko-toko, sekedar menyambung penghasilan bulanan sebelum ada sumber penghasilan lain...
Saterasna....
KULIAH, BERPRESTASI, DAN BERDIKARI...
April 13, 2007
Meniti Karir: Panutup
Selepas dari IAIN pada 1995, rupanya roda kehidupan terus berputar, sekali lagi..ibarat air mengalir, aku mencoba mengikuti arusnya...suatu ketika aku bertemu dengan Henri Chambert-Loir, seorang filolog asal Prancis, yang sedang mengedit dan berencana menerbitkan sebuah manuskrip kuno berbahasa Arab karangan Shaikh Yusuf al-Makassari, Zubdat al-Asrar, dengan terjemahan bahasa Jawa. Teks itu merupakan bagian dari disertasi Prof. Dr. Nabilah Lubis, guru besar di Fakultas Adab UIN Jakarta.
Atas usulan dari Prof. Dr. Nabilah Lubis, aku diminta membantu mengedit teksnya. Saat itu, Henri Chambert-Loir melihat potensiku yang dianggap menguasai sejumlah bahasa yang banyak dibutuhkan oleh seorang filolog, yaitu bahasa Melayu, Sunda, Jawa, dan terutama bahasa Arab...Ia pun mendorongku untuk mengambil kuliah Magister di UI, dengan pengkhususan bidang filologi.
Sebetulnya pada saat yang sama aku juga diterima sebagai penerima beasiswa penuh untuk kuliah Magister di almamater sendiri, IAIN Jakarta, tapi aku lebih memilih kuliah di UI karena bidang kajiannya lebih menantang... Henri Chambert-Loir mendukung pilihanku, ia pun sangat berjasa dalam mencarikan beasiswa, sehingga aku mendapatkannya dari Program Penggalakan Kajian Naskah-naskah Nusantara. Lebih dari itu, ia memberiku kesempatan magang di Ecole francaise d’Extreme Orient (EFEO), lembaga riset Prancis di Jakarta yang dipimpinnya, sehingga aku mendapatkan tambahan penghasilan...
Pada 1996 pula, tepatnya 7 April 1996, aku mempersunting gadis yang kemudian menjadi pendampingku kini, Ida. Melalui ikatan keluarga inilah kami mendapat karunia tiga buah hati, Fadli Husnurrahman (1997), Alif Alfaini Rahman (2000), dan Jiddane Ashkura Rahman (2004). Mereka inilah yang sampai detik ini setia mendampingiku dalam berbagai suka dan duka. Aku bertemu dengan ”pacarku” itu saat mengajar ngaji keponakan-keponakannya, he he...Aku akan cerita soal istri dan anak-anakku pada bagian tersendiri...
Aku merampungkan kuliah Magister dengan cepat, tepatnya tahun 1998, tidak lebih dari 2 tahun...ini bisa aku tempuh karena relatif tidak ada hambatan dari segi biaya...alhamdulillah, aku bersyukur berulang kali, aku sering mengingat masa-masa sulit dulu, susahnya minta ampun mau memulai kuliah, tapi begitu ”pintunya” terbuka, rezeki sepertinya datang sendiri...apalagi mulai tahun 1996 aku mulai diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di almamaterku sebelumnya, IAIN Jakarta, yang mulai tahun 2000 berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta...
Tahun 1998, aku resmi menyandang gelar Magister Humaniora (M.Hum), sungguh bangga rasanya menyandang gelar itu...maklum, aku ini si Encep yang orang kampung! Belum ada anggota keluargaku yang mencapai prestasi ini, aku pun tidak pernah membayangkan sebelumnya, apalagi saat aku ”hanya” sebagai pedagang asongan...
Dulu aku sempat berfikir, bisa menjadi mahasiswa adalah kejutan dan pengalaman terbesar dalam hidupku...tapi mulai tahun 1998 itu, ternyata masih banyak perjalanan hidup yang membuatku terkejut sendiri...! sampai tahun 1999, aku lebih intensif magang di EFEO, dan pada masa inilah aku berhasil menerbitkan tiga buah buku sekaligus: pertama, buku Menyoal Wahdatul Wujud, tesis yang kemudian diterbitkan oleh salah satu Penerbit terkemuka di Indonesia, Mizan; kelak buku ini dianggap sebagai salah satu buku terbaik oleh almamater tempatku mengajar, UIN Jakarta.
Buku ini pula yang membawaku untuk pertama kalinya terbang ke Sumatra Barat dalam sebuah peluncuran dan diskusi buku yang diselenggarakan oleh kawan-kawan di Universitas Andalas. Buku kedua adalah Jawa Barat: Katalog Lima Lembaga, dimana aku bertindak sebagai editor atas buku yang menghimpun sejumlah naskah-naskah kuno di Jawa Barat itu; dan terakhir adalah buku Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia se-Dunia; buku ini ditulis berdua bersama Henri Chambert-Loir, dan melalui buku inilah namaku mulai dikenal di kalangan peminat pernaskahan di seluruh dunia...sungguh bangga rasanya ketika aku search namaku sendiri di dunia maya, maka muncullah buku-buku karanganku itu yang tersimpan di berbagai perpustakaan di universitas-universitas ternama di dunia...!
Aku pun memulai pengalaman internasional di dunia akademik dalam sebuah seminar tentang ”History of Translation in Indonesia and Malaysia(Project Association Archipel” di Paris pada 1-5 April 2001. Saat itu aku mempresentasikan sebuah paper tentang tradisi intelektual Islam di Palembang. Lagi-lagi Henri Chambert-Loir yang untuk pertama kalinya memfasilitasi karir keilmuan internasionalku. Dia lah yang memprakarsai dan mengusulkan agar aku menjadi salah seorang pembicara dalam seminar itu, terima kasih ”Pak” Henri....
Aku memanfaatkan kesempatan ke Paris itu untuk berkunjung juga ke Perpustakaan Leiden "surga" nya referensi tentang kajian Indonesia. Tentu saja aku sangat bersuka cita, ini untuk pertama kalinya aku terbang ke luar negeri, apalagi atas undangan sebagai pembicara seminar, wah! Pokoknya aku semakin yakin deh bahwa ”orang kampung” pun bukan mustahil meraih kesuksesan asal mau belajar, gigih, pantang menyerah, dan jujur...Tak dinyana, belakangan aku bisa kembali ke Paris bersama keluarga, saat kami tinggal di Jerman.
Berikutnya, dunia penelitian dan tulis menulis sepertinya benar-benar menjadi duniaku, terutama setelah pada 1999 aku melanjutkan studi program doktoral di Universitas Indonesia, atas beasiswa penuh dari Indonesian International Education Foundation (IIEF). Sejak masa itu, aku benar-benar jatuh hati pada Sumatra Barat yang ternyata menyimpan khazanah naskah yang sedemikian kaya, khususnya naskah keagamaan, dan aku pun banyak menulis artikel berkaitan dengan wilayah ini.....disertasi yang aku tulis pun memilih tema ”Tarikat Shattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-naskah di Sumatra Barat”.
Aku berhasil mempertahankan disertasi itu pada 11 September 2003, dan dinyatakan lulus dengan predikat cum laude...jujur saja aku sangat bangga dengan prestasiku ini, apalagi promotorku, Prof. Dr. Achadiati Ikram, bilang dalam pidatonya bahwa aku adalah orang pertama yang mengkaji naskah dengan metode dan pendekatan yang aku lakukan, yakni pendekatan filologis dan sejarah sosial intelektual Islam....si Encep pun kini bergelar DR......! Alhamdulillah ya Allah, aku sungguh tak pernah membayangkan akan mendapatkan semua karunia-Mu yang sangat besar ini, perkenankan lah aku untuk dapat mensyukurinya...!
Minatku pada dunia penelitian dan tulis menulis semakin terkondisikan ketika aku diminta oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, yang sampai saat ini masih sebagai Rektor UIN Jakarta, untuk aktiv di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM). Belakangan, aku pun terlibat dalam penerbitan jurnal internasional, Studia Islamika, yang mengkhususkan kajiannya pada Islam di Indonesia dan Asia Tenggara...aku bersyukur sekali, apalagi saat itu aku bisa mendampingi kawanku yang sangat energik, Dr. Jamhari, yang duduk sebagai Direktur PPIM. Aku sungguh banyak belajar dari Mas Jamhari yang antropolog ini, baik dalam hal membangun jaringan dengan kolega-kolega, di dalam maupun di luar negeri.
Melalui kesempatan yang diberikan oleh Mas Jamhari dan PPIM pula, pada September 2005 lalu aku terbang ke Jepang dan mengunjungi beberapa kota besar di sana, mulai dari Osaka, Nara, Kyoto, sampai Tokyo. Selain mendapat tugas memimpin rombongan 10 orang kyai dari guru dari pesantren di Indonesia untuk melihat dari dekat pendidikan sains dan teknologi di sekolah-sekolah di Jepang, pada saat yang sama aku juga mendapat undangan untuk presentasi dalam sebuah seminar di Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) tentang tradisi intelektual Islam di Aceh.
Aku pun patut berterima kasih ke kawan-kawan di PPIM, tempatku beraktivitas sebagai peneliti; mereka banyak memberiku kesempatan untuk menulis dan mengedit sejumlah artikel dan buku, sehingga memperpanjang daftar karya tulisku..Belakangan, buku-buku dan tulisan-tulisanku yang terbit sejak 1999 sampai 2005 itulah yang menjadi pertimbangan utama penilaian the Alexander von Humboldt-Stiftung, sehingga memberiku fellowship sebagai “Gastwissenschaftler” di Cologne University, bersama Prof. Dr. Edwin Wieringa sebagai academic hostku...<>pede (percaya diri) dengan pendidikan madrasah dan pesantren yang aku terima, kadang aku mengeluh dalam hati, kenapa orang tuaku tidak menyekolahkan aku ke jurusan sains atau teknologi, biar bisa cepat bekerja...! ternyata kunci masalahnya bukan pada sekolah agama atau umum, tapi bagaimana kita menekuninya...
Pencapaian pendidikan tidak harus selalu tergantung pada tingkat kemakmuran ekonomi keluarga.....banyak beasiswa menunggu di mana-mana, tergantung bagaimana kita berusaha meraihnya....!
Kini, aku dan keluarga masih menikmati kehidupan di Bonn, sebuah kota kecil di Jerman yang sangat tertib dan bersahabat...persis seperti bersahabatnya kawan-kawan Indonesia yang kami kenal, baik dari Bonn maupun Köln...
Sekian...
Atas usulan dari Prof. Dr. Nabilah Lubis, aku diminta membantu mengedit teksnya. Saat itu, Henri Chambert-Loir melihat potensiku yang dianggap menguasai sejumlah bahasa yang banyak dibutuhkan oleh seorang filolog, yaitu bahasa Melayu, Sunda, Jawa, dan terutama bahasa Arab...Ia pun mendorongku untuk mengambil kuliah Magister di UI, dengan pengkhususan bidang filologi.
Sebetulnya pada saat yang sama aku juga diterima sebagai penerima beasiswa penuh untuk kuliah Magister di almamater sendiri, IAIN Jakarta, tapi aku lebih memilih kuliah di UI karena bidang kajiannya lebih menantang... Henri Chambert-Loir mendukung pilihanku, ia pun sangat berjasa dalam mencarikan beasiswa, sehingga aku mendapatkannya dari Program Penggalakan Kajian Naskah-naskah Nusantara. Lebih dari itu, ia memberiku kesempatan magang di Ecole francaise d’Extreme Orient (EFEO), lembaga riset Prancis di Jakarta yang dipimpinnya, sehingga aku mendapatkan tambahan penghasilan...
Pada 1996 pula, tepatnya 7 April 1996, aku mempersunting gadis yang kemudian menjadi pendampingku kini, Ida. Melalui ikatan keluarga inilah kami mendapat karunia tiga buah hati, Fadli Husnurrahman (1997), Alif Alfaini Rahman (2000), dan Jiddane Ashkura Rahman (2004). Mereka inilah yang sampai detik ini setia mendampingiku dalam berbagai suka dan duka. Aku bertemu dengan ”pacarku” itu saat mengajar ngaji keponakan-keponakannya, he he...Aku akan cerita soal istri dan anak-anakku pada bagian tersendiri...
Aku merampungkan kuliah Magister dengan cepat, tepatnya tahun 1998, tidak lebih dari 2 tahun...ini bisa aku tempuh karena relatif tidak ada hambatan dari segi biaya...alhamdulillah, aku bersyukur berulang kali, aku sering mengingat masa-masa sulit dulu, susahnya minta ampun mau memulai kuliah, tapi begitu ”pintunya” terbuka, rezeki sepertinya datang sendiri...apalagi mulai tahun 1996 aku mulai diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di almamaterku sebelumnya, IAIN Jakarta, yang mulai tahun 2000 berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta...
Tahun 1998, aku resmi menyandang gelar Magister Humaniora (M.Hum), sungguh bangga rasanya menyandang gelar itu...maklum, aku ini si Encep yang orang kampung! Belum ada anggota keluargaku yang mencapai prestasi ini, aku pun tidak pernah membayangkan sebelumnya, apalagi saat aku ”hanya” sebagai pedagang asongan...
Dulu aku sempat berfikir, bisa menjadi mahasiswa adalah kejutan dan pengalaman terbesar dalam hidupku...tapi mulai tahun 1998 itu, ternyata masih banyak perjalanan hidup yang membuatku terkejut sendiri...! sampai tahun 1999, aku lebih intensif magang di EFEO, dan pada masa inilah aku berhasil menerbitkan tiga buah buku sekaligus: pertama, buku Menyoal Wahdatul Wujud, tesis yang kemudian diterbitkan oleh salah satu Penerbit terkemuka di Indonesia, Mizan; kelak buku ini dianggap sebagai salah satu buku terbaik oleh almamater tempatku mengajar, UIN Jakarta.
Buku ini pula yang membawaku untuk pertama kalinya terbang ke Sumatra Barat dalam sebuah peluncuran dan diskusi buku yang diselenggarakan oleh kawan-kawan di Universitas Andalas. Buku kedua adalah Jawa Barat: Katalog Lima Lembaga, dimana aku bertindak sebagai editor atas buku yang menghimpun sejumlah naskah-naskah kuno di Jawa Barat itu; dan terakhir adalah buku Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia se-Dunia; buku ini ditulis berdua bersama Henri Chambert-Loir, dan melalui buku inilah namaku mulai dikenal di kalangan peminat pernaskahan di seluruh dunia...sungguh bangga rasanya ketika aku search namaku sendiri di dunia maya, maka muncullah buku-buku karanganku itu yang tersimpan di berbagai perpustakaan di universitas-universitas ternama di dunia...!
Aku pun memulai pengalaman internasional di dunia akademik dalam sebuah seminar tentang ”History of Translation in Indonesia and Malaysia(Project Association Archipel” di Paris pada 1-5 April 2001. Saat itu aku mempresentasikan sebuah paper tentang tradisi intelektual Islam di Palembang. Lagi-lagi Henri Chambert-Loir yang untuk pertama kalinya memfasilitasi karir keilmuan internasionalku. Dia lah yang memprakarsai dan mengusulkan agar aku menjadi salah seorang pembicara dalam seminar itu, terima kasih ”Pak” Henri....
Aku memanfaatkan kesempatan ke Paris itu untuk berkunjung juga ke Perpustakaan Leiden "surga" nya referensi tentang kajian Indonesia. Tentu saja aku sangat bersuka cita, ini untuk pertama kalinya aku terbang ke luar negeri, apalagi atas undangan sebagai pembicara seminar, wah! Pokoknya aku semakin yakin deh bahwa ”orang kampung” pun bukan mustahil meraih kesuksesan asal mau belajar, gigih, pantang menyerah, dan jujur...Tak dinyana, belakangan aku bisa kembali ke Paris bersama keluarga, saat kami tinggal di Jerman.
Berikutnya, dunia penelitian dan tulis menulis sepertinya benar-benar menjadi duniaku, terutama setelah pada 1999 aku melanjutkan studi program doktoral di Universitas Indonesia, atas beasiswa penuh dari Indonesian International Education Foundation (IIEF). Sejak masa itu, aku benar-benar jatuh hati pada Sumatra Barat yang ternyata menyimpan khazanah naskah yang sedemikian kaya, khususnya naskah keagamaan, dan aku pun banyak menulis artikel berkaitan dengan wilayah ini.....disertasi yang aku tulis pun memilih tema ”Tarikat Shattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-naskah di Sumatra Barat”.
Aku berhasil mempertahankan disertasi itu pada 11 September 2003, dan dinyatakan lulus dengan predikat cum laude...jujur saja aku sangat bangga dengan prestasiku ini, apalagi promotorku, Prof. Dr. Achadiati Ikram, bilang dalam pidatonya bahwa aku adalah orang pertama yang mengkaji naskah dengan metode dan pendekatan yang aku lakukan, yakni pendekatan filologis dan sejarah sosial intelektual Islam....si Encep pun kini bergelar DR......! Alhamdulillah ya Allah, aku sungguh tak pernah membayangkan akan mendapatkan semua karunia-Mu yang sangat besar ini, perkenankan lah aku untuk dapat mensyukurinya...!
Minatku pada dunia penelitian dan tulis menulis semakin terkondisikan ketika aku diminta oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, yang sampai saat ini masih sebagai Rektor UIN Jakarta, untuk aktiv di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM). Belakangan, aku pun terlibat dalam penerbitan jurnal internasional, Studia Islamika, yang mengkhususkan kajiannya pada Islam di Indonesia dan Asia Tenggara...aku bersyukur sekali, apalagi saat itu aku bisa mendampingi kawanku yang sangat energik, Dr. Jamhari, yang duduk sebagai Direktur PPIM. Aku sungguh banyak belajar dari Mas Jamhari yang antropolog ini, baik dalam hal membangun jaringan dengan kolega-kolega, di dalam maupun di luar negeri.
Melalui kesempatan yang diberikan oleh Mas Jamhari dan PPIM pula, pada September 2005 lalu aku terbang ke Jepang dan mengunjungi beberapa kota besar di sana, mulai dari Osaka, Nara, Kyoto, sampai Tokyo. Selain mendapat tugas memimpin rombongan 10 orang kyai dari guru dari pesantren di Indonesia untuk melihat dari dekat pendidikan sains dan teknologi di sekolah-sekolah di Jepang, pada saat yang sama aku juga mendapat undangan untuk presentasi dalam sebuah seminar di Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) tentang tradisi intelektual Islam di Aceh.
Aku pun patut berterima kasih ke kawan-kawan di PPIM, tempatku beraktivitas sebagai peneliti; mereka banyak memberiku kesempatan untuk menulis dan mengedit sejumlah artikel dan buku, sehingga memperpanjang daftar karya tulisku..Belakangan, buku-buku dan tulisan-tulisanku yang terbit sejak 1999 sampai 2005 itulah yang menjadi pertimbangan utama penilaian the Alexander von Humboldt-Stiftung, sehingga memberiku fellowship sebagai “Gastwissenschaftler” di Cologne University, bersama Prof. Dr. Edwin Wieringa sebagai academic hostku...<>pede (percaya diri) dengan pendidikan madrasah dan pesantren yang aku terima, kadang aku mengeluh dalam hati, kenapa orang tuaku tidak menyekolahkan aku ke jurusan sains atau teknologi, biar bisa cepat bekerja...! ternyata kunci masalahnya bukan pada sekolah agama atau umum, tapi bagaimana kita menekuninya...
Pencapaian pendidikan tidak harus selalu tergantung pada tingkat kemakmuran ekonomi keluarga.....banyak beasiswa menunggu di mana-mana, tergantung bagaimana kita berusaha meraihnya....!
Kini, aku dan keluarga masih menikmati kehidupan di Bonn, sebuah kota kecil di Jerman yang sangat tertib dan bersahabat...persis seperti bersahabatnya kawan-kawan Indonesia yang kami kenal, baik dari Bonn maupun Köln...
Sekian...