Wah, awal tahun 1990 adalah masa transisi besar-besaran dalam sejarah hidupku! Aku mulai masuk dunia baru yang sudah lama aku idam-idamkan; kelak dunia inilah yang kemudian membawaku pada dunia akademis yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya...bagi orang lain yang jalan hidupnya ”lurus-lurus” saja, menjadi mahasiswa mungkin bukan hal istimewa, tapi bagiku, ini adalah hasil yang aku capai dengan keringat dan peluh selama beberapa waktu...
Aku hampir membayangkan, selesai lah sudah cita-cita hidupku dengan menjadi mahasiswa, meski ternyata nasib berkata lain karena belakangan aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah sampai jenjang tertinggi, program doktoral, dan bahkan menjadi ”Gastwissenschaftler”, atau peneliti tamu di Jerman, atas award dari the Alexander von Humboldt-Stiftung...sungguh sebuah pengalaman yang bahkan sudah melewati batas mimpi sendiri...!, maklumlah, aku ini si Encep yang orang kampung...
Selama kuliah di IAIN, aku juga tidak berarti berhenti mencari sesuap nasi, karena aku harus membayar sendiri biaya kuliahku. Kini, aku harus mencari kegiatan yang sifatnya tidak mengikat, sehingga tidak mengganggu aktivitas kuliah; banyak bisnis kecil-kecilan yang aku jalani, mulai dari berjualan jam tangan, batik, bisnis multilevel CNI, sampai terakhir membuka kios kacamata.
Aku masih ingat, modal awalku adalah pinjaman uang dari kakakku, A Jojo dan Ceu Lili, sebesar Rp 1.000.000,-; itu pun tidak cash semua, karena aku juga membawa sebuah televisi 14 inch merek National Quintrix, yang dihargai oleh A Jojo seharga Rp 400.000,-. Alhasil, aku membawa uang Rp 600.000,-; yang aku belikan alat periksa mata seharga Rp 500.000,-, dan sisanya untuk membeli beberapa buah frame kacamata sebagai koleksi untuk dipajang di etalase yang aku pesan secara khusus...tentu saja aku tidak memiliki pendidikan formal menjadi dokter kacamata, aku hanya kreativ bekerja sama dengan seorang sarjana optikal, Kang Makmun namanya, dan aku mempelajari "secara ilegal" bagaimana caranya memeriksa mata...
Begitulah, aku bak pengusaha kecil saja jadinya, mencari sebanyak-banyaknya uang untuk mendukung aktivitas kuliahku. Selain bisnis, aku juga banyak mengajar ngaji di rumah-rumah orang kaya yang sibuk dengan pekerjaannya, dan tidak sempat mengajari anak-anaknya, atau mengisi berbagai undangan pengajian, baik di masjid, di hotel, maupun di berbagai perkantoran, lumayan, uang tranpotnya seringkali dapat menambah tabunganku untuk membayar biaya kuliah semester berikutnya...Bahkan, karena mungkin terlalu serius mencari uang, aku sempat dijuluki sebagai ”mahasiswa kaya”, karena aku bisa membeli sepeda motor, televisi, dan membayar rumah kontrakan sendiri...
Meski aku sibuk mencari uang, aku juga tidak melupakan tugas utamaku sebagai mahasiswa, belajar...! bahkan lebih dari itu, aku sempat menjadi aktivis kampus, dan menduduki jabatan tertinggi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Cabang Ciputat tahun 1992-1993, serta Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Adab pada 1993-1994.
Di organisasi profesi, aku juga tidak ketinggalan aktiv di Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA), dan mengikuti sejumlah lomba di DKI Jakarta. Dalam hal ini, prestasi tertinggiku adalah sebagai Juara Pertama lomba Kaligrafi bidang mushaf Al-Quran tingkat DKI Jakarta pada 1993. Lumayan juga, aku mengoleksi sejumlah piala kejuaraan, di samping piala lomba pidato yang memang menjadi ”kegemaranku” saat itu...
Syukurlah, semua ini tak luput dari bekal yang aku peroleh selama beberapa tahun belajar di pesantren, khususnya pengetahuanku atas bahasa Arab, sehingga aku tidak terlalu repot belajar lagi, dan bisa beraktivitas secara leluasa di luar kampus.
Bahkan, aku patut bersyukur karena bisa menyelesaikan kuliah dalam 4 tahun saja dengan predikat cumlaude, dan menjadi mahasiswa terbaik di Fakultas Adab. Aku pun didaulat untuk berpidato mewakili para wisudawan..., dan aku pun mengggunakan kesempatan itu untuk mengungkapkan terima kasih kepada orang tuaku, Bapak dan Mimih... entah apa perasaan Bapak yang saat itu duduk di deretan bangku undangan, aku sempat melihatnya menangis tersedu-sedu...sayang, Mimih tidak sempat menyaksikan semuanya ini, aku bahkan tidak sempat melihat kembali wajah lembutnya ketika Mimih wafat pada 1991...terakhir aku sempat melambaikan tangan perpisahan di Masjid Istiqlal, usai menyaksikan Festifal Istiqlal di Jakarta...semoga Mimih berbangga di alam baqa, dan tentram di sisi-Nya, amin...
Saterasna....
MENITI KARIR...
No comments:
Post a Comment