Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) PUI tempatku belajar tergolong madrasah yang sederhana; lokasi antara gedung MI dan MTs nyaris tak terpisahkan.
Sebagai salah satu madrasah swasta, para pengelola MI dan MTs PUI harus “jatuh bangun” mencari biaya agar madrasahnya tidak gulung tikar; dukungan dari Pemerintah tentu saja ada, tapi menurutku, kemampuannya bertahan tampaknya lebih karena ada semangat ideologis dari orang-orang seperti Bapak yang keukeuh untuk menghidupkan lembaga pendidikan bernafaskan keagamaan semisal MI dan MTs PUI ini. Aku tidak tahu persis bagaimana kondisinya sekarang, meski aku tahu proses belajar mengajar di Madrasah PUI masih tetap berlangsung hingga saat ini.
Dulu, semasa di MI, aku bukanlah murid yang terlalu menonjol, pembawaanku cenderung pendiam dan juga penakut. Prestasi belajarku juga datar-datar saja, bahkan untuk pelajaran tertentu seperti Matematika, Fisika, dan pelajaran eksak lainnya, nilaiku sering jeblok, kalau tidak 5 ya paling banter 6. Sekarang ini aku sering kagum sendiri sama Fadli, anak sulungku yang kelas 3, nilai matematikanya selalu tinggi, mungkin berkat kegigihan Mamahnya juga yang super ketat mengontrol PR sekolah.
Mungkin karena perawakanku kecil, sewaktu di MI aku sering menjadi “mainan” kawan-kawanku, badanku biasanya diangkat, lalu dilemparkan ke kerumunan murid-murid perempuan. Aku jengkel sekali, tapi tak berdaya. Sule, aku tak akan pernah lupa nama kawanku yang satu itu, dia “jagoan” yang paling ditakuti murid-murid lain, dan aku sering menjadi “korban”nya…Untungnya, di kalangan guru-guru, aku malah termasuk murid yang disayang, mungkin karena tidak pernah neko-neko, aku dekat dengan hampir semua guru, mulai dari Pak Suharno, Sang Kepala Sekolah, Pak Edi, Pak Puhun, Pak Mamat, dan guru-guru lainnya…wah, aku lupa kebanyakan nama guruku!
Menginjak MTs, penampilanku mulai berubah. Aku tidak lagi terlalu pendiam, meski tetap kalem, he he…aku juga “mulai agak pandai”, hampir setiap semester menjadi bintang kelas, mulai dari kelas 1 sampai kelas 3. Saingan beratku hanya satu, namanya Uu, kami sering saling bergantian sebagai juara kelas. Entah bagaimana cara belajarku di rumah, aku lupa….tapi aku rupanya memiliki bakat untuk menghapal pelajaran, sampai-sampai aku sering jadi utusan lomba cerdas cermat, dan menghapal, misalnya, semua nama-nama Menteri Kabinet Pembangunan saat itu. Saat di Tsanawiyah ini, aku mulai menyukai pelajaran bahasa Inggris. Bahkan aku sempat menyelesaikan kursus bahasa Inggris di English Language Institute di daerah Wirarangan, meski hanya sampai tingkat Elementary One saja. Lumayan lah…aku masih menyimpan ijazah kursus itu, dimana tertulis April, 30th 1984 sebagai tanggal kelulusanku…berarti saat itu aku duduk di kelas 3 MTs.
Mungkin melihat minatku inilah, A Dudung sebagai Kakak yang sudah bisa mengayomi adik-adiknya membelikan buku “Belajar Bahasa Inggris Sistem 50 Jam”, aku masih ingat warnanya merah. Biasanya buku itu aku bawa kemana pun pergi. Ya, sangat membantu memang, meski tidak fasih benar, aku merasakan manfaatnya saat ini, aku punya sedikit modal untuk berkomunikasi dengan dunia yang lebih luas…
Selain berusaha berprestasi, selama di MTs ini aku juga aktiv kegiatan pramuka dan gemar berolah raga. Selain bola voli, pingpong adalah olah raga favoritku. Pernah aku menjadi utusan sekolah untuk kejuaraan pingpong antarmadrasah, meski aku akhirnya kalah…aku pun tidak pernah lagi dilempar-lempat ke kerumunan murid perempuan; sebaliknya aku malah sudah mulai berani “melemparkan” diri dekat-dekat dengan siswi madrasah….ah bagian itu tidak perlu diceritain yah….nanti ada yang cemburu…!
Kenangan masa kecilku di kampung pada masa-masa sekolah di tingkat MTs ini masih banyak yang kuingat. Selain di sekolah, kenangan di rumah pun tak kurang indahnya….kebetulan saat itu adalah “masa-masa kejayaan” Majlis Taklim yang dirintis oleh Bapak dan Mimih almarhum. Bapak menyulap rumah menjadi semacam pesantren, tempat belajar mengaji, baik pada pagi, siang, dan terutama malam hari. Ratusan kawan-kawan belajar a-ba-ta-sa di rumahku setiap harinya, mulai dari tingkat alif-alifan, sampai belajar kitab Safinah dan Sullam al-Taufiq, dua buah kitab kuning klasik yang berisi tuntunan ibadah dan dasar-dasar ajaran moral.
Berkat Majlis Taklim di rumah ini pula, aku memiliki banyak sahabat. Beberapa nama masih melekat dalam benakku: Iman, Eki, Eti (ketiganya kakak beradik), Adin, Ijah, Ipah, Rohman, Dudung, Oban, dan banyak lagi. Bahkan, kalau mau jujur, aku juga suka deg-degan kalau ada salah satu di antara sahabatku, tentu saja yang perempuan bo!, tidak datang mengaji, gara-gara hujan misalnya, aku tidak mengerti apa artinya saat itu, he he.....Kini, sebagian besar sahabatku tidak ketahuan juntrungnya di mana, hanya sebagian kecil yang lantas ketemu lagi.
Bapak dan Mimih almarhum sangat piawai dalam mengelola urusan pendidikan agama ini, anak-anaknya “dipaksa” menjadi santri senior yang bertugas membantu mengajari anak-anak lainnya.
Memang tidak sulit karena sejak kecil anak-anak Bapak dan Mimih sudah harus pandai mengaji Quran dan Kitab. Bahkan aku masih ingat, sampai kelas 3 Tsanawiyah, aku sudah khatam al-Quran sebanyak 32 kali….saat itu aku memang rajin menghitung berapa kali tamat al-Quran, terutama pada bulan Ramadan, soalnya Bapak selalu memberikan hadiah seribu rupiah bagi yang khatam al-Quran…Selain al-Quran, Bapak dan Mimih juga mengajari aku dan saudara-saudaraku membaca dan memahami kitab Safinah itu berulang-ulang, sampai aku hafal bagian-bagian tertentu, baik teks Arab maupun terjemahannya dalam bahasa Sunda, misalnya wa bihi “sareng ka Gusti Allah”, nasta’inu “nyuhunkeun pitulung abdi sadaya”, ‘ala umuriddunya “kana perkara dunya” waddini “sareng kana perkara agama”…Wah, sungguh bekal pengetahuan yang sangat berharga, meski terus terang saat itu sih aku sering pundung juga karena dipaksa mengaji, tapi kelak aku benar-benar bangga memiliki kemampuan membaca teks-teks kitab kuning yang ditulis dengan Arab gundul itu…
Jujur saja, kemampuanku membaca kitab kuning itulah salah satu kunci yang membuka pintu karir seperti yang aku capai sekarang ini….nuhun Pak…nuhun Mih…nuhun ka sadayana…! Tentu saja sebagai anak-anak, kadang-kadang berat juga mengikuti irama pendidikan Bapak yang sangat ketat ini, khususnya untuk urusan pendidikan agama, seperti mengaji dan shalat. Kalau lupa shalat karena main layang-layang sama A Uud misalnya, aku disuruh berdiri menghadap tembok, lalu Bapak menempeleng betis kakiku seraya mengucap: …bismillahirrahmanirrahim….plak…plak…plak!
Kalau sudah begitu, aku pun merajuk sama Mimih yang biasanya akan segera menentramkanku…Begitulah Bapak dan Mimih almarhumah berbagi tugas sebagai orang tua dalam mendidik anak-anaknya: jika Bapak bersikap keras, maka bagian Mimih yang lembut, ibarat gas dan rem dalam kendaraan, dua-duanya saling dibutuhkan agar perjalanan bisa mulus, lancar, dan selamat….Kini terbukti sudah, anak-anak Bapak dan Mimih tidak ada yang menjadi baragajul……..! Sayang, Mimih keburu tutup usia pada tahun 1991, hingga tidak sempat menyaksikan semua kisah sukses yang diraih anak-anaknya…
Saterasna....
AA, CEUCEU, ADI...
No comments:
Post a Comment