April 17, 2007

Aa, Ceuceu, Adi

Nah, ini bagian yang aku paling suka menceritakannya, soal hubungan antarsaudara, khususnya aku, A Uud, Ceu Evi, Ohan, dan Neng. Saat itu, saudara-saudara lainnya sudah banyak yang sekolah jauh di pesantren, atau sudah berumah tangga sehingga tidak pertemuan dengan mereka tidak sesering dengan saudara-saudara yang aku sebut itu.

Banyak suka dukanya, ada yang menjengkelkan, ada yang menyenangkan, ada pula yang lucu…aku tentu tidak ingat semuanya, tapi A Uud lumayan berkesan dalam ingatanku, tapi tidak semuanya manis lho, A! soalnya A Uud kan seneng banget ngerjain adik-adiknya…aku sering diledek dengan sebutan Cepot, mungkin karena nama panggilanku Encep, sekarang sih A Uud manggil aku Mang Oman, dulu mah kayaknya lebih sering Cepotnya daipada Encep, ngiri kali yah, soalnya Encep kan artinya kasep, he…he…. Aku pun jadinya ikut ngelunjak ke A Uud, aku ledek lagi dengan panggilan Udel…..! ah, gak tahu tuh nemu dari mana, lupa lagi…pokoknya ada “ud” nya lah….

Rupanya saling ledek ini jadi bumbu hubungan persaudaraan kami, dulu memang suka terasa menjengkelkan, tapi kini kan jadi kenangan, asal jangan saling bermusuhan saja sampai putus silaturahmi.

Dengan Ceu Evi pun aku tak kalah sengitnya, kalau Ceu Evi ngeledek aku dengan Cepotnya, maka aku pun punya ledekan si Mbok…gak tahu juga bagaimana ceritanya sampai muncul kata si Mbok, mungkin Ceu Evi masih ingat? Bahkan aku (tentunya “belajar” dari A Uud) suka melantunkan “puisi” ledekan buat Ceu Evi, begini lho: “bokser…bokser…si Mbok ditarik ka Sindangsari ngageleser…” waktu itu kita-kita memang sering maen ke SIindangsari, rumahnya Ceu Juju. Nah, kalau sudah diledek begitu, si Mbok, eh maksudnya Ceu Evi, pasti marah luar biasa, kita-kita bisa dikejar kemana pun larinya…

Begitu pun dengan Ohan, yang dulu mah dipanggilnya Ujang, seingatku aku baru memanggilnya Ohan setelah dia jadi mahasiswa; aku juga sering meledeknya dengan menyebut “Jangkrik”, lagi-lagi cuma nyari kata yang dimulai dengan kata “jang”, biar cocok dengan Ujang…., sama dengan “Udel” untuk A Uud…Jadi, kalau pengen si Ujang nangis, aku tinggal “nyanyi” saja: “jangkrik genggong jangkrik genggong, si Ujang ceurik huluna ngagorolong…”; kalau sudah begitu, Ujang pun pasti ikut-ikutan manggil aku si Cepot! Ah, anak-anak memang nakal, tapi begitulah dunianya, toh sekarang kelihatan semuanya harmonis, jadi kalau anak-anak seperti itu ya anggap biasa saja…tapi jujur saja, aku, A Uud, Ceu Evi, dan Ohan memang mengalami masa-masa kecil bersama sehingga banyak kenangan yang kalau diingat sekarang sangat menggelikan.


Dengan Ohan, aku juga ingat masa dikhitan bersama, Ohan dipangku sama Bapak, sementara aku dipangku sama Wa Makruf almarhum, pas memang kakak adik…Sayangnya aku tidak punya banyak kenangan yang kuingat dengan Neng, si Bungsu dari Mimih tea, maklum saat itu Neng masih sangat kecil.

Tentu saja di samping kenangan “buruk” tentang saling ledek itu, aku juga punya kenangan yang sangat manis dengan saudara-saudaraku. A Uud adalah teman main terbaikku: main laying-layang, main kelereng, main gambaran, main roger-rogeran, dan lain-lain. Kalau ada anak nakal yang ngerjain aku, maka A Uud pasti membelaku, entahlah di kalangan teman-teman main, A Uud rupanya cukup disegani juga, mungkin karena memang pemberani dan galak waktu itu, meski sekarang ini A Uud adalah figure orang yang luar biasa lembut, Kakak yang mengayomi dan rendah hati, pokoknya beda deh, aku semakin yakin, “manusia itu memang bisa berubah…!”

A Uud pula yang pertama kali ngajarin aku naik motor. Kebetulan A Uud memang paling berani uring-uringan dengan Bapak, walaupun suka dilarang bawa motor, A Uud sering umpet-umpetan meminjamnya. Aku ingat betul suatu ketika Bapak sedang menerima tamu, A Uud mengajakku belajar naik motor, pelan-pelan motor pun dikeluarkan lewat pintu samping, ini masih mendingan, A Uud bahkan pernah mengeluarkan motor lewat pintu jendela, wow! Aku pun membonceng A Uud kea rah Cigadung, dan ngeng…ngeng…ngeng…aku ikutin petunjuk A Uud yang bilang: “gasna dianggeran ambeh stabil…”, begitu katanya.

Masa-masa berikutnya, A Uud dan Ceu Evi pun pergi belajar di Pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya, di mana kelak aku pun menyusul kesana, Bapak memang sangat keukeuh untuk membekali anak-anaknya dengan pendidikan agama, khususnya di pesantren. A Uud sih pernah juga mesantren di Cidewa Ciamis, aku lupa alasannya, kenapa A Uud pundah-pindah, apa karena nakal juga yah? Waktu itu kalau di Cidewa memang ada A Dudung yang “ngawasin”, meski kayaknya A Uud ya tetep A Uud, waktu aku berkunjung sama Ceu Yayah ke Cidewa, ternyata A Uud kerjanya main kelereng, banyak banget kelerengnya, sampe-sampe aku pikir, enak juga yah mesantren, bias ngumpulin banyak kelereng, rupanya itu hanya A Uud, he he….punten lah A! saat itu aku juga diajak naik kereta, anehnya kok bias gratis, ah lagi-lagi A Uud memang kreativ…

Sudahlah, kalau diingat-ingat mungkin tidak akan pernah habis cerita tentang saudara-saudaraku ini, terlalu banyak. Memang dengna kakak-kakak yang lain aku tidak punya banyak memori selain satu dua peristiwa saja; maklum Ceu Yayah san Ceu Lili sudah suluan mesantren, A Dudung juga sudah kuliah, Ceu Juju bahkan sudah berumah tangga. Salah satu kenangan tentang A Dudung yang aku tidak akan pernah lupa adalah ketika aku turut mengantar kepergian A Dudung pergi ke Semarang naik sepeda, katanya mau kuliah…Wah, aku baru bisa bayangin sekarang ini betapa jauhnya Semarang kalau ditempuh dengan bersepeda dari Kuningan. Di Semarang pun A Dudung hidup prihatin, jadi tukang cukur, dan berjualan, kini A Dudung sudah jadi Hakim pengadilan agama, aku pun semakin yakin: “hidup prihatin seringkali membawa keberhasilan”.

Dari Ceu Lili juga hanya beberapa kenangan yang aku ingat, salah satunya adalah papatah Ceu Lili kalau aku ngepel: "Cep…” kata Ceu Lili, “lamun ngepel kudu hiji-hiji tehelna dilap ambeh imeut…”. Ya, saat itu kita memang sering bergiliran untuk merawat rumah, Mimih adalah “manager” yang mengatur dan membagi tugas, si Encep, si Ujang, A Uud, Ceu Evi, dan Neng melakukan pekerjaan rumah sebisanya…nyiram kembang, maraban hayam, dan lain-lain…bahkan juga Bantu-bantu bikin kue, bikin kecap, bikin kacang atom, dan macam-macam usaha yang pernah dilakukan oleh Bapak dan Mimih, orang tuaku memang sangat ulet menambah penghasilan keluarga, mungkin karena terdorong kebutuhan, sehingga dipaksa oleh keadaan untuk bisa kreativ, aku pun bahkan sempat bisa membuat kopiah berkat bimbingan Bapak. Waktu aku Tanya, bagaimana Bapak bisa tahu cara membuat kopiah? Bapak bilang, gampang saja, kopiah yang Bapak punya dibongkar, lalu dilihat cara nyusunnya…..ah, luar biasa!

Saterasna....

MULAI MENGEMBARA...

No comments:

Post a Comment