Tentu aku juga tidak tahu persis seberapa prihatin kehidupan ekonomi keluargaku pada masa-masa awal itu, karena aku sendiri baru dilahirkan pada 8 Agustus 1969, saat Bapak dan Mimih sudah memboyong semua anggota keluarganya ke Pasapen, yang sekarang menjadi pusat kota Kuningan. Tapi konon, menurut cerita kakakku, A Dudung, pada tahun 1961 kehidupan keluarga benar-benar prihatin, tidak jarang Mimih hanya mampu memasak bubur 1 kali sehari untuk disantap oleh 8 anggota keluarga…!
Mungkin ketika aku lahir kondisi ekonomi orang tuaku sudah sedikit membaik. Yang aku ingat, pada sekitar tahun 1970-an itu Bapak malah sudah menjadi Pegawai Negeri dengan titel pendidikan Sarjana Muda (BA), dan bekerja sebagai Penilik Pendais, semacam pengawas sekolah-sekolah agama (madrasah) di Kuningan. Masih terbayang dalam ingatanku, bagaimana di atas pintu rumahku tertulis nama: M. Harun, BA. Jangan lupa, nilai sosial gelar sarjana muda pada masa itu mungkin setara dengan gelar Magister saat ini…! Mimih almarhumah pun seingatku adalah pensiunan pegawai Departemen Agama, aku lupa tugas sehari-harinya, tapi aku masih ingat sering main ke Kantor Mimih yang jaraknya memang tidak jauh dari rumah.
Memang, untuk ukuran rata-rata saat itu, dengan status sosial Bapak dan Mimih sebagai pegawai negeri, sebetulnya kehidupan keluargaku tidak terlalu berkekurangan. Hanya saja, ceritanya menjadi lain karena kami adalah keluarga besar, dengan 9 bersaudara, bahkan 13 bersaudara jika 4 saudara kami panjang umur. Aku sendiri adalah anak ketujuh. Dengan demikian, Bapak dan Mimih tidak punya pilihan selain menerapkan “sistem ekonomi ketat” pada anggota keluarganya, mulai dari ketat jatah pakaian, ketat biaya pendidikan, dan bahkan jatah makan pun harus dibagi rata seketat mungkin; tak jarang aku harus puas dengan menyantap sepotong atau bahkan seperempat potong telor saja saat makan, meski perut masih keroncongan…
Meski demikian, aku patut bersyukur punya Bapak dan Mimih yang memiliki tingkat kesadaran tinggi terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Memang kami tidak mampu sekolah di SD Negeri yang di Kuningan saat itu dianggap cukup bergengsi. Apalagi Bapakku kayaknya fanatik banget untuk menyekolahkan anak-anaknya di madrasah, dan kemudian diasramakan di pondok pesantren, sebuah jenis pendidikan Islam tradisional yang memang banyak dijumpai di Indonesia. Alhasil, semua anak-anaknya sempat mengecam pendidikan di bangku madrasah dan pesantren. Aku sendiri menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) PUI Kuningan, berturut-turut tahun 1981 dan 1984, dan kemudian menghabiskan masa-masa SMU-ku di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung Singaparna Tasikmalaya, sekaligus menjadi santri di pesantren setempat.
Sungguh banyak kenangan manis dengan saudara-saudaraku, saling ledek, saling musuhan, dan lain-lain layaknya anak-anak. Hampir semua saudara-saudaraku punya nama panggilan di samping nama resminya; aku pun tidak pernah dipanggil Oman, tapi selalu si Encep…
Saterasna....
BELAJAR DI MADRASAH...
Kang Oman, apa kabar? Masih inget mamay kan? Ade kelas Kang Oman di IAIN. Ciri-cirinya, tahi lalat di atas bibir...
ReplyDeleteKang, cerita kang Oman bagus banget. Boleh nggak saya muat di majalah saya, alKisah?
Boleh dong.... biar pembaca yang lain bisa mengambil pelajaran dari kisah hidup Kang Oman.
Boleh ya...
Kang, ini email saya, may73id@yahoo.com.
Balas as soon as posible ya...
Halo Mamay, ya saya masih ingat namanya, tapi untuk mengingat wajahnya harus berkernyit nih, maklum udah 15 tahunan, kan! makasih udah mampir, kalau kisahnya udah dimuat, boleh dong bagi-bagi...
ReplyDelete