Tahun 1985 aku mulai berkelana ke luar rumah mengikuti jejak kakak-kakaku. Pesantren Cipasung di Singaparna, Tasikmalaya adalah tempat pertamaku memperdalam agama melanjutkan pelajaran dasar dari orangtua di rumah. Sore sampai malam aku menjadi santri, sedangkan pagi hari aku menjadi siswa di Madrasah Aliyah negeri (MAN) Cipasung sampai tahun 1987.
Hidup dan belajar sambil prihatin! Itulah kesan yang tidak pernah terlupakan selama aku di Pesantren. Bapak dan Mimih memang mengirimiku uang melalui pos wesel untuk biaya hidup setiap bulannya, “hanya” beberapa puluh ribu rupiah, jauh dari cukup, bahkan untuk kebutuhan pokok sekalipun, makanya setiap bulan aku pasti ngutang ke Ibu angkatku, terutama untuk keperluan makan. Kalau ingin lebih irit, aku pun masak nasi liwet sendiri, lalu nyari lauk seadanya di Mang Ucoy, tahu, atau tempe, atau oncom dan garam, bagiku sudah cukup saat itu…pokoknya, yang penting mah ada DS (deungeun santri) lah...
Untung aku tidak sendirian, aku punya kawan dan sahabat senasib sepenanggungan, istilah Sunda mah sapapait samamanis....di antara mereka adalah Sunardi dan Ade Saefullah. Bersama mereka aku melewati masa-masa pahit dan manis di Cipasung.
Meski demikian, kesederhanaan dan keprihatinan tidak membuatku surut semangat belajar. Di sekolah aku bahkan selalu menjadi juara kelas. Di Pramuka pun aku aktiv dan bahkan pernah menduduki jabatan tertinggi sebagai Ketua Pradana. Begitulah, bagiku saat itu tidak pernah berfikir bahwa aku ini orang yang datang dari keluarga sederhana, sebaliknya aku sering bersyukur karena masih bisa sekolah, banyak tentu saja orang lain yang lebih tidak beruntung dibanding aku, ada yang tidak bisa sekolah, dan kalau pun sekolah, tidak selalu bisa berprestasi...aku ingat beberapa kawanku di Kampung yang kerjanya luntang-lantung, jadi preman, dan bahkan mabuk-mabukan. Sekarang baru terasa buahnya, dulu memang tidak tahu bedanya antara yang kerja keras dan yang berleha-leha....ah, jadi menggurui yah...!
Sebetulnya sih banyak kenangan, baik yang manis maupun pahit, selama aku di Cipasung, tapi tidak mungkin semuanya aku tuliskan di sini. Singkat cerita, aku pun dinyatakan lulus dari MAN Cipasung pada 1987. Berkat prestasiku, aku mendapat penghargaan lulus PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat) untuk langsung bisa masuk kuliah tanpa tes di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung. Awalnya aku bersorak gembira, tapi ternyata aku harus gigit jari karena Bapakku tidak menyanggupi membayar biaya kuliahnya. Memang, walaupun lulus melalui PMDK, tapi hanya bebas biaya masuknya saja...Aku memang sering mendengar Bapak setengah bersumpah untuk menyekolahkan semua anak-anaknya, tapi hanya tingkat SLTA saja, setelah itu, semua diminta mencari jalan hidup masing-masing, begitu katanya!
Aku pun tidak jadi kuliah, malah dimasukkan ke pesantren salaf (pesantren tanpa jenjang pendidikan formal) di Baitul Hikmah, Haurkuning, Salopa, Tasikmalaya. Jadilah aku santri ”murni” mulai pertengahan tahun 1987. Pesantren Haurkuning ini terkenal dengan kekhususannya mengajarkan ilmu tatabahasa Arab. Pimpinan Pesantrennya, K.H. Saefuddin Zuhri, yang akrab dipanggil Akang, mewajibkan santri-santrinya untuk menghafal kitab-kitab nahw sarf, seperti al-Ajurumiyya, Kailani, Nazm al-Maqsud, hingga yang tertinggi, Alfiyya ibn Malik.
Kalau ada yang dianggap melanggar, hukumannya adalah direndam di kolam samping masjid, aku pun sempat mengalami rendaman air kolam itu, lumayan bikin malu, meski hanya satu kali...Untungnya, berkat pengetahuan dasar dari orang tua di kampung, ditambah dengan tiga tahun menjadi santri di Cipasung, aku malah menjadi santri kesayangan Akang. Selain mengikuti berbagai pelajaran, aku juga sering diajak pergi oleh Akang untuk menemani undangan pengajian. Saat itu kebetulan Akang baru beli motor bekas, Honda 90, yang lebih sering disebut ”Serenet”. Kebetulan hanya aku santri yang punya SIM motor, jadilah aku supir pribadi Akang, wah seneng banget saat itu! maklum aku jadi sangat dekat dengan orang nomor satu di Pesantren...
Setiap hari aku memacu motor kesayangan Akang ini naik turun gunung, pasalnya Pesantren ini memang terletak di atas bukit, jadi kalau mau berangkat harus menukik dengan tajam, dan kalau pulang harus pasang perseneling rendah sejak awal sambil mengucap bismillahirrahmanirrahim...kadang si ”Serenet” tidak kuat juga naik gunung ini dan berhenti di tengah-tengah. Kalau sudah begitu, aku pun mengulang lagi dari bawah sampai berhasil.....wah!
Hanya satu tahun aku jalani mesantren di Haurkuning, sungguh banyak suka duka yang aku alami. Mengingat letaknya yang agak terpencil, pola kehidupan di Haurkuning pun lebih sederhana dibanding di Cipasung; kadang aku makan hanya dengan terasi yang dibakar saja, atau terasinya ”disop” dan diaduk ke dalam nasi, kadang juga aku mencari jantung pisang untuk dijadikan sebagai sayurnya. Untungnya sekali-sekali aku diajak makan di rumah Akang, yang lauknya biasanya lebih baik dibanding hidangan santri.
Meski aku merasa kerasan hidup di pesantren, tapi jujur saja aku tidak pernah berhenti memikirkan untuk bisa kuliah. Tahun 1998 aku pamit ke Akang, aku ingat saat itu habis liburan Idul Fitri, tapi Akang menahanku, dan memintaku untuk tinggal, minimal sampai habis Idul Idha berikutnya, katanya sih tanggung menyelesaikan pengajian kitab Tafsir. Tapi kali ini aku memaksa, aku merasa sudah terlalu lama belajar agama di pesantren, apalagi aku ingat bahwa masa berlaku ijazahku adalah paling lama tiga tahun setelah tahun kelulusan. Artinya, tahun 1990 adalah tahun terakhir aku memiliki kesempatan untuk masuk ke dunia perguruan tinggi.
Akhirnya dengan tidak terlalu mendapat restu dari Akang, aku pun kembali ke Kuningan, dan mengutarakan hasratku ke Bapak untuk melanjutkan kuliah. Tapi, lagi-lagi aku terbentur kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan. Alih-alih dikuliahkan, Bapak malah memaksaku untuk kembali belajar di pesantren yang lain, kali ini adalah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, sebuah pesantren khusus di bidang ilmu tauhid (ketuhanan), pimpinan K.H. Khoer Affandi, yang di Jawa Barat dikenal sebagai mantan tokoh Darul Islam (DI/TII). Kebetulan salah seorang kerabat dekatku, Ayi Isah, menjadi menantu sang Kyai.
Tentu saja aku malas-malasan, meski aku tidak sanggup membantah kehendak Bapak, saat itu aku memang tidak punya pilihan...Ternyata aku hanya mampu empat bulan bertahan di Pesantren ini. Uniknya, meski aku tidak kerasan, selama empat bulan itu aku sempat mengikuti rangkaian lomba pidato yang kebetulan diadakan setiap tahun oleh Pesantren dalam rangka memperingati hari besar Islam. Awalnya juga tidak sengaja, peserta lomba perwakilan kamarku tiba-tiba sakit, dan aku diminta menggantikannya.
Tak dinyana, aku meraih juara pertama antarkamar, aku pun maju ke tahap berikutnya, dan ternyata aku juga menjadi juara pertama antarasrama, serta terakhir di babak final memboyong piala kejuaraan sebagai terbaik pertama tingkat pesantren. Saat itu aku masih ingat bahwa di babak final aku mengalahkan santri senior yang konon sebelumnya selalu menjadi juara pertama, kalau tidak salah namanya Kang Toni, punten lah, Kang...lumayan juga sih hadiahnya berupa kupon makan gratis dengan lauk yang komplit selama beberapa minggu... Bulan berikutnya aku dijadwalkan mengikuti lomba pidato antarpesantren, tapi aku keburu tidak tahan dan tidak betah lagi.
Berkali-kali aku minta izin ke Pimpinan Pesantren, saat itu melalui Kang Asep yang suaminya Ayi Isah kerabat dekatku, tapi aku tidak pernah mendapat izin pulang,”...sabar lah, nanti juga betah...”, begitu nasihat Kang Asep yang sering aku dengar setiap aku minta izin pulang. Akhirnya, kesabaranku habis sudah...! suatu subuh aku nekat minggat dari Pesantren dengan berharudum kain sarung dan menenteng sepatuku melewati rel kereta, aku pun menuju Terminal Bus Tasikmalaya dan meluncur ke Kuningan....ah, sungguh petualangan yang tak mungkin terlupakan!
Hari demi hari, hasrat hati untuk segera menjadi mahasiswa semakin menggebu, terutama kalau mengingat batas berlaku ijazahku itu, aku selalu berifkir bagaimana cara mengatasi masalah ekonomi yang menjadi kendala utamaku? Memang, di rumah aku tidak kekurangan kegiatan, bahkan pengetahuan agamaku sangat dibutuhkan masyarakat saat itu, sehingga aku sering sekali mengisi berbagai pengajian, tapi aku tidak puas dengan itu semua, aku merasa masih bisa mengembangkan potensiku dengan lebih baik, Bapak sendiri saja sarjana muda, masak aku tidak bisa mengenyam bangku kuliah? Begitu pikirku...
Motivasi itulah yang kelak kemudian mengubah jalan hidupku. Aku bersyukur memiliki saudara-saudara yang mendukung niatku, meski mereka juga tidak bisa menutupi kebutuhan finansialku. A Jojo, Ceu Lili, A Dudung, Ceu Juju, dan Kakak-kakak lainnya mendorongku untuk mencoba mengadu nasib di Kota Metropolitan, Jakarta, dan mencari jalan untuk kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Ciputat.
Saterasna....
BERGELUT DENGAN KEJAMNYA IBUKOTA...
April 15, 2007
Mulai mengembara
Posted by Oman Fathurahman at 4/15/2007 05:04:00 PM
Labels: Dongeng Si Encep
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
wah kabur dari pesantren kang ? asik juga... eh kang kuningannya mana ? aku punya kaka di windu haji di pesantren riyadul huda namanya H.Afifudin dan setahu saya pengasuh pesanteren H. Dodo juga alumni miftahul huda. dan salam dari aku orang Cijulang Ciamis kidul
Abdi ti Pasapen, kang Jafar. H. Dodo masih famili saya, meski agak jauh lah.....hatur nuhun tos ampir. baktos.
kang oman abdi pengurus di kantor pesantren baitul hikmah tasikmalaya, ie alamat email pesantren bilih aya kaperyogian
baitulhikmah1964@gmail.com
baitul.hikmahymail.com
nomor kontak pesantren baitul hikmah haurkuning
(0265) 5635299
082119262525
085659623456
087725472472
Post a Comment