Oman tiba di Banda Aceh 20 hari pascatsunami yang terjadi 26 Desember 2004 pagi. Ketika itu kota sesak oleh ribuan orang yang membantu evakuasi korban. Ditemani rekannya, Hasnul Arifin Melayu, Oman bersepeda motor menembus lumpur, air, dan reruntuhan. Tujuan filolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu hanya satu: menyelamatkan naskah-naskah tua yang tersisa.
Selain menewaskan lebih dari 150.000 penduduk Aceh, tsunami juga menjarah banyak manuskrip kuno. Seratusan manuskrip koleksi Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) yang diidentifikasi Oman pada tahun 1999, misalnya, hilang tanpa bekas. Enam puluh manuskrip di Balai Kajian Sejarah Nilai Tradisional (BKSNT) dan mungkin ribuan naskah yang ada di tangan masyarakat juga lenyap.
Untungnya, kami punya data lapangan dan merekamnya dengan video. Data itu segera saya sebarkan ke sejumlah lembaga internasional untuk mencari bantuan dana rekonstruksi Aceh di bidang budaya. Responsnya bagus. Tahun 2005/2006, Centre for Documentation and Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) membantu digitalisasi dan katalogisasi naskah koleksi Yayasan Ali Hasjmi di Banda Aceh dan naskah koleksi Zawiyah Tanoh Abee.
Tahun 2005/2006 Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar, mendapat bantuan dari Prince Claus Fund untuk membangun gedung perpustakaan manuskrip. Tahun 2007-2009, Leipzig University di Jerman bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) melestarikan manuskrip Aceh di Museum Negeri Aceh, Yayasan Ali Hasjmy, Zawiyah Tanoh Abee, dan beberapa koleksi pribadi lain.
Tafsir gempa
Kegigihan Oman menyelamatkan kitab-kitab kuno di Aceh secara tak sengaja menguak fakta penting lainnya. Tahun 2005, ketika mendokumentasikan manuskrip di Perpustakaan Ali Hasjmy, dia menemukan kitab Takbir Gempa. Kitab anonim yang ditulis dalam aksara Arab berbahasa Melayu itu memaparkan kejadian yang akan mengikuti gempa dalam rentang waktu dari subuh hingga tengah malam dalam 12 bulan.
Disebutkan, ”… Jika gempa pada bulan Rajab, pada waktu subuh, alamatnya segala isi negeri bersusah hati dengan kekurangan makanan. Jika pada waktu duha, alamatnya air laut keras akan datang ke dalam negeri itu….”
Temuan itu menyentak Oman, juga dunia ilmu pengetahuan. Maklum, selama ini, catatan lokal tentang gempa dan tsunami dianggap tidak ada. Ternyata catatan itu ada, tetapi diabaikan. Selanjutnya, Oman berturut-turut menemukan catatan terkait gempa lainnya di daerah yang pernah dilanda gempa. Tahun 2006, Oman menemukan tulisan tangan di sampul sebuah manuskrip asal abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar, yang menyebutkan, pernah terjadi gempa besar untuk kedua kali pada pagi hari Kamis, 9 Jumadil Akhir 1248 Hijriah atau sekitar 3 November 1832.
Terakhir, tahun 2012, Oman menemukan naskah gempa versi Jawa di lingkungan Keraton Cirebon berjudul Kitab Lindu. ”Dalam bahasa Jawa, lindu itu berarti ’gempa’. Catatannya pendek dan hanya merupakan satu bab dari Kitab Tatamba yang arti sebenarnya berobat,” ujar Ketua Manassa itu.
Beberapa rekan Oman di Manassa juga menemukan kitab Takwil Gempa di Surau Lubuk Ipuh, Sumatera Barat. Belakangan diketahui, naskah-naskah soal gempa juga tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta dan perpustakaan di Delft serta Leiden, Belanda.
Sejauh ini, lanjut Oman, naskah gempa yang telah ditemukan umumnya berisi takwil atau tafsir hikmah atas gempa. Tafsirnya selalu dua hal, yakni mengabarkan berita baik dan buruk. Berita baiknya (gempa) ditafsir sebagai tanda akan munculnya buah-buahan dan panen padi. Berita buruknya, gempa pada waktu tertentu ditafsir sebagai tanda akan datangnya bala atau musibah termasuk menimbulkan (gelombang) air yang besar.
Oman belum menemukan kitab gempa yang isinya terkait mitigasi. ”Kalau ada itu menarik sekali. Mungkin belum ditemukan saja mengingat data digital manuskrip yang telah terkumpul belum semuanya selesai dibaca.”
Bagaimanapun, penemuan yang baru sedikit itu cukup untuk membuktikan pentingnya pendokumentasian manuskrip kuno. Jika saja, naskah tentang gempa dan tsunami di Aceh terkuak lebih cepat, lanjut Oman, barangkali masyarakat Aceh bisa memetik pelajaran dari situ sehingga bisa lebih waspada.
Rimba pengetahuan
Meski telah menemukan beberapa kitab gempa, Oman tidak berniat memfokuskan diri di situ. Pasalnya, masih banyak pengetahuan berharga lainnya yang bisa dikorek dari manuskrip Nusantara. Oman memilih memasuki jagat manuskrip apa pun sedalam mungkin ketimbang berhenti di satu tema.
”Saya sekarang ingin membabat ilalangnya dulu. Soal meneliti detailnya itu belakangan dan sambil jalan, sebab semuanya penting,” ujar Oman yang melahap manuskrip berbahasa Arab, Jawi, Melayu, Sunda dengan aksara Arab.
Pengembaraan di rimba manuskrip membuka mata Oman tentang banyak hal. Salah satunya tentang posisi kultural-politik ulama kita di kawasan yang sekarang bernama ASEAN. Sejak dulu, kata Oman, wilayah yang kini bernama Indonesia menjadi rujukan pengetahuan regional. Ini bisa terlihat dari jaringan ulama di masa lalu.
”Mungkin Anda tahu disertasinya Pak Azyumardi Azra (mantan Rektor UIN Jakarta) yang memetakan jaringan ulama Nusantara. Filipina Selatan tadinya belum terhubungkan dengan Nusantara. Namun, manuskrip yang kami temukan di Mindanao menyebut, guru ulama Mindanao adalah Syeh Abdul Qahhar al-Bantani dari Banten.”
Berarti ada hubungan keilmuan antara Nusantara dan Mindanao. Temuan ini diperkuat dengan keberadaan naskah di Perpustakaan Nasional yang ditulis Abdul Majid Al-Mindanawi di Aceh zaman Mahmudsyah. ”Dugaan saya, ulama Mindanao itu belajar ke Aceh, kemudian menulis di sana, sekitar abad ke-19.”
Terakhir di Keraton Cirebon, ada naskah yang menyebutkan, Abdul Qahhar al-Bantani pernah menjadi guru bagi ulama tarekat Syattariah di Cirebon. ”Jaringannya bertambah lagi menjadi Aceh, Banten, Mindanao, Cirebon. Jadi, kita ini kurang apa dalam konteks peradaban. Itu, kan, hampir sama dengan Mekkah dan Madinah yang jadi rujukan negara-negara lain.”
Dengan mengkaji manuskrip, lanjut Oman, kita bisa merekonstruksi kejayaan Nusantara dan khazanah keilmuan nenek moyang kita. Sayangnya, ilmu filologi yang mengkaji manuskrip belum begitu populer di Indonesia sehingga kejayaan lama itu belum banyak terkuak.
Mengapa bisa begitu?
Kajian pernaskahan Nusantara sebenarnya dikembangkan sejak abad ke-19 oleh sarjana kolonial. Sayangnya, arahnya sebatas menerjemahkan dan menyunting teks sebab tujuan mereka adalah mempelajari bahasa. Sampai tahun 1980-an juga masih begitu.
Kalau pekerjaannya hanya menyunting, itu tidak menarik. filolog seperti juru masak. Ada naskah, ada teks, dia transkripsi, tugas selesai. Siapa pembacanya? Para sejarawan, yang mengonsumsinya untuk merekonstruksi sebuah konteks.
Ketika saya memperkuat kajian filologi di UIN awal 2000-an, saya tidak ingin filolog sebatas juru masak. Dia harus jadi penikmat dan pemberi konteks juga. Kalau Anda menemukan naskah gempa, jangan hanya berkata, ini nih naskah gempa. Lebih baik tulis lengkap dan berikan konteksnya. Jangan menganggap teks itu mati dan hanya bisa diterjemahkan. Teks itu bisa dibunyikan kalau diberi konteks.
Awalnya banyak yang menentang karena menganggap kegiatan filologi sebatas menyunting. Sekarang justru ada tren di perguruan tinggi agama Islam, tesis filologi diberi konteks.
Tuntutannya jadi multidisiplin, ya…
Benar, studinya jadi teks, interteks, hermeunetik, dan sebagainya. Filologi itu buat saya sekadar alat untuk masuk ke jagat manuskrip.