Dia seorang Ayah yang keras hati, teguh pendirian, tegas, dan kukuh dengan norma-norma agama yang diyakininya. Saat kecil, aku terkadang merasa "tersiksa" karena disiplin yang diterapkannya, kini, aku justru bersyukur dilahirkan dan dibesarkan sebagai anaknya.
Kini, Ayah telah tiada! pesan singkat dari Kampung halaman, yang aku terima pada Kamis 15 Januari pukul 18.00 WIB adalah awal duka itu. "Bapak sedang kritis", begitu bunyinya. Meski pada pukul 17.00 aku dijadwalkan menguji seorang Promovendus di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, aku memutuskan pulang saat itu juga. Suara tangis di gagang telepon telah membulatkan niatku untuk meninggalkan agenda yang bagi Promovendus bersangkutan dianggap cukup sakral tersebut.
Tapi, aku tak mampu melaju mengejar sang malaikat maut yang menjemput ajal Ayahku. Jam 02.00 dinihari aku baru tiba di pekarangan rumahku yang telah penuh sesak orang mengaji, sementara Sang Izrail telah mengambil Ayahku pada jam 22.22 sebelumnya. Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Selamat jalan Ayahku...
Aku pun hanya bisa bersimpuh di hadapan jenazahnya, kutatap wajahnya yang tersenyum, dan kucium keningnya yang sudah dingin membeku. Aku mencoba menahan isak tangis dan air mataku. Ayah memang meninggalkan sejumlah wasiat untuk keluarga yang ditinggalkan, dan salah satunya tidak ingin ada yang menangis bersuara, apalagi menjerit-jerit...
Begitulah, setelah lebih dari dua tahun Ayah terbaring di tempat tidurnya, dan setelah kondisinya mulai sangat menurun pertengahan Desember 2008 lalu, Ayah terlihat sangat pasrah dengan keadaannya. Hanya satu dua kata yang bisa diucapkannya, meski memorinya nyaris tidak pernah terganggu sama sekali, ia bisa mendengar dan mengingat segala sesuatu dengan sangat baik. Ia benar-benar tangguh!
Sejak kecil, aku sering mendengar cerita perjalanan hidup Ayah yang penuh perjuangan. Dalam kondisi peperangan melawan Penjajah Belanda, Ayah harus bekerja keras menghidupi keluarga. Sebagai anggota Hizbullah, beberapa kali Ayah menjadi tawanan Belanda, dan bahkan menjadi buronan sampai ke Batavia (sekarang Jakarta). Ayah pun sering harus berpisah dengan istri dan anak-anaknya, menyamar sebagai tukang becak di Batavia, atau berpura-pura menjadi pedagang untuk bisa pulang ke desa.
Selepas masa Penjajahan Belanda dan Jepang, nasib Ayah dan keluarga pun mulai membaik. Ayah diangkat sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Agama, sebagai Penilik pendidikan agama Islam (Pendais), dan sekaligus mendapat tunjangan hidup sebagai anggota Veteran, bahkan Ayah sempat melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat Bachelor of Arts (BA) di IAIN Cirebon.
Pada masa-masa inilah aku dilahirkan. Sebagai anak ketujuh dari sembilan bersaudara, aku sering mendengar cerita-cerita tambahan dari kakak-kakakku tentang kegetiran hidup Ayah, semua serba prihatin, beruntung Ayah seorang yang teguh dan "keukeuh" mendidik anak-anaknya, hingga semuanya merasakan bangku sekolah, minimal sampai tingkat SLTA.
Malam itu, saat aku terpaku di depan jenazahnya, ingatanku melayang ke masa-masa silam, saat aku suka membantah keinginannya, saat aku belum mengabulkan permintaannya, saat aku tidak memuaskan kehendaknya, aku sungguh menyesal, aku sungguh menyesal... tapi penyesalan itu selalu datang terlambat, aku hanya dapat berdoa, semoga Ayah mendapat ampunan dan Ridha-Nya...Surga-Nya adalah sesuatu yang sangat didamba-dambakan Ayah semasa ia hidup, dan aku yakin Ayah akan mendapatkannya, amin!
Sungguh! mendengar bagaimana detik-detik terakhir Ayah menghembuskan nafasnya yang terakhir, aku sangat yakin, kini Ayah tersenyum di alam sana. Bibirnya tak pernah berhenti mengucapkan asma-Nya, hembusan dan tarikan nafasnya benar-benar menggambarkan kebiasaannya bertasbih selama ini, mulai dari zikir nafyi itsbat (la ilaaha illa Allah), zikir itsbat (illa Allah), hingga zikir Dzat (Allah) yang kemudian mengakhiri segalanya.
Lalu, beberapa hari kemudian, aku pun berpamitan kembali ke Ciputat, kuusap kayu nisannya, kurengkuh tanah merah kuburnya, kukirimkan beberapa untai doa....
Allahummagfir lahu warhamhu, wa 'afihi wa'fu 'anhu, semoga engkau istirahat dengan tenang di sana, wahai Ayahku, amin.
January 20, 2009
In Memoriam: Ayahku...(11 Mei 1926-15 Januari 2009)
Posted by Oman Fathurahman at 1/20/2009 04:21:00 PM 1 comments
Labels: Rehat
Subscribe to:
Posts (Atom)