July 30, 2007

Sama Rata Tidak Selalu Berarti Baik

Selama tinggal di Jerman, aku malah lebih punya waktu banyak buat keluarga. Mungkin karena terkondisikan kultur di sini, jam kerja dan jam istirahat pun terbagi dengan baik. Beda kalau lagi di Jakarta, aku rasanya harus banting tulang siang malam, Senin sampai Minggu, untuk mencari tambahan penghasilan. Dari segi ini, hidup di Jerman jauh lebih baik, aku bisa duduk mengerjakan kewajiban pokokku dengan konsentrasi penuh, dan "dapur tetap ngebul".

Menjelang malam pada hari tertentu, aku juga suka 'kebagian tugas' harus menceritakan sebuah dongeng sebelum tidur buat anak-anak. Tentu saja istriku lebih sering menemani mereka tidur, setiap hari bahkan.

Selain cerita para nabi, anak-anakku rupanya suka dengan cerita Sufi, Nasrudin Hoja, yang memang lucu tapi seringkali menyimpan pelajaran berharga. Dus, aku pun sering berusaha mengingat-ingat lagi cerita-cerita yang pernah aku dengar dari para ustaz, orang tua, atau saudara-saudaraku saat kecil dulu. Internet juga banyak membantu mencari sumber cerita.

Ini dia salah satu cerita Nasrudin Hoja itu:

-------------------------------------------
Seorang filosof menyampaikan pendapat, "Segala sesuatu harus dibagi sama rata."

"Aku tak yakin itu dapat dilaksanakan," kata Nasrudin Hoja.

"Tapi pernahkah engkau mencobanya ?" balas sang filosof.

"Aku pernah," sahut Nasrudin, "Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka memperoleh apa pun yang mereka inginkan dengan sama rata."

"Bagus sekali," kata sang filosof, "Dan bagaimana hasilnya ?"

"Hasilnya ? Seekor keledai yang baik dan seorang istri yang buruk."
-------------------------------------------
Ah, dasar Nasrudin....mungkin berbagi sama rata memang harus proporsional yah!

Salajengna......

July 25, 2007

Cuaca yang tidak Normal...

Rasanya kami kurang beruntung dengan perputaran iklim di Eropa saat ini, atau mungkin di benua lain pun situasinya sama. Pada musim dingin lalu, terutama menurut kawan-kawan yang beberapa kali mengalami Winter, cuacanya tergolong tidak terlalu dingin, antara 5-10 derajat celcius, seingatku suhu terendah di Bonn hanya sampai 0 derajat celcius.

Saat Frühling, atau musim semi, juga tergolong tidak normal, cuacanya seperti sudah masuk musim panas. Sebaliknya, saat musim panas tiba seperti saat ini, kami seperti berada di musim gugur, hampir setiap hari angin bertiup kencang, hujan turun, dan matahari pun seperti enggan memperlihatkan diri.

Alhasil, selama libur panjang ini, aku pun tidak bisa terlalu sering mengajak keluarga jalan-jalan, kami lebih banyak bercengkerama di rumah, meski kadang terasa membosankan, tapi aku bersyukur, anak-anakku bisa menerima apa adanya, dan yang penting semuanya sehat, meski kadang mereka mengalami sakit ringan juga…

Apakah ini yang disebut oleh para ahli sebagai dampak dari Pemanasan Global? Entahlah, konon, Pemanasan Global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi dengan lebih cepat akibat aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi. Begitulah yang aku baca dari "Si Ensiklopedi Pintar", Wikipedia.

Kenaikan temperatur ini katanya akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm (4 - 40 inchi), menimbulkan banjir di daerah pantai, bahkan dapat menenggelamkan pulau-pulau. Sebaliknya, beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi.

Meski para ahli bersilang pendapat apakah Pemanasan Global ini akibat ulah manusia, atau merupakan siklus alam saja, tapi baik juga kalau manusia, khususnya kalangan industri, lebih berhati-hati dengan aktivitas yang menjadi penyebabnya. Apalagi, sebagai orang beragama, kita sudah diingatkan bahwa: “…telah tampak kerusakan di daratan dan lautan akibat perbuatan manusia" (30: 41), atau mungkin alam memang menghendaki demikian sampai akhirnya tiba Hari yang Dijanjikan? wallahu a'lam.

Salajengna......

July 23, 2007

Membaca yang lain...

Beralih dari sesuatu yang menjadi rutinitas sehari-hari terkadang mengasyikkan juga. Karena pilihan minat akademisku pada bidang Indonesia klasik, selama ini aku lebih sering membaca dan menelaah kandungan isi naskah-naskah kuno, khususnya yang berkaitan dengan topik keagamaan.

Tapi, dalam sebuah undangan ulang tahun seorang kawan, beberapa hari lalu aku ketemu Sanusi. Dia seorang mahasiswa di Uni Bonn yang sedang menulis peran politik Ali Moertopo (1924-1984) di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Ngalor-ngidul kami bincang-bincang, rupanya dia tertarik dengan arsip-arsip dan tulisan ‘bawah tanah’ masa itu yang banyak mengemukakan berbagai intrik para elit politiknya.

Entah karena Sanusinya yang pandai cerita, atau karena aku memang agak jenuh dengan rutinitas bacaanku, aku tiba-tiba tertarik mengetahui lebih jauh dokumen-dokumen yang menjadi fokus bacaan Sanusi. Untungnya, Sanusi, yang belakangan baru ‘ngeuh’ bahwa dia adalah nonoman Sunda dari Subang, berbaik hati membagi beberapa file dan link internet berkaitan dengan itu, yang dia sebut sebagai ‘halaman rahasia’. Tentu tidak berarti orang lain tidak boleh tahu halaman-halaman itu, karena link-link internet itu pasti dengan mudah bisa diakses oleh siapa saja…

Ah, membaca dokumen-dokumen itu, aku semakin sadar, betapa nisbinya ‘dongeng-dongeng’ yang pernah aku dengar tentang perjalanan sejarah bangsa ini, padahal itu belum berlalu seratus tahun…..Makasih Sanusi atas sharingnya!

Salajengna......

July 13, 2007

Jangan Lihat Kematian Taufik Savalas Hanya sebagai Takdir!

Aku bukan tidak percaya takdir! Tapi, bersikap fatalis dan mengembalikan semuanya hanya sebagai takdir Tuhan sering kali membuat kita tidak pernah belajar dan tidak menjadi lebih baik. Padahal agama sendiri mengajarkan agar hari ini dan hari esok harus selalu lebih baik dari hari sebelumnya.

Taufik Savalas sudah pergi dalam sebuah kecelakaan tabrakan mobil dengan truk di jalur pertigaan Desa Kredetan, Kecamatan Bagelan, Purworejo, Jawa Tengah (11/7), inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Sekali lagi, aku bukan tidak percaya takdir, tapi mari kita lihat hukum sebab akibat dan mata rantai lingkaran setan peristiwa yang pasti tidak sekali ini saja terjadi.

Mobil yang dikendarai Taufik dan kru lainnya ditabrak sebuah Truk yang nyalip kedaraan di depannya tanpa perhitungan, jelas ini akibat masih banyak pengendara kita yang tidak disiplin. Jadi, Taufik pergi karena ada sikap indisipliner! Kayaknya, pelajaran disiplin berlalu lintas di jalanan harus diberikan sejak dini secara resmi di sekolah-sekolah kita.

Di sekolah sini, anak-anakku mendapat pelajaran praktek mengendarai sepeda di jalan raya, langsung turun ke jalan dengan dikawal polisi, bukan cuma belajar teori rambu-rambu lalu lintas! Sebelum ke jalan, para polisi yang baik itu memeriksa kelayakan sepeda yang akan dipakai, remnya, lampunya, baut-bautnya, dan lain-lain, polisi sendiri lo yang ngecek!

Polisi yang memeriksa kecelakaan Taufik Savalas bilang, kemungkinan rem Truk yang menjadi penyebab kecelakaan itu tidak bekerja dengan baik, di samping supirnya yang kelelahan. Jadi, Taufik pergi karena sistem cek kelayakan kendaraan di kita tidak berjalan dengan semestinya!

Menurut pengakuan supir Truk, ia membawa muatan Semen dengan kelebihan beban, 30 Ton, sehingga keseimbangan Truknya tidak stabil. Kita memang punya sih aturan bobot maksimal muatan sebuah kendaraan, Truk itu pun hanya boleh ngangkut barang seberat 28 Ton, tapi di sinilah letak masalahnya! Supir truk itu “berhasil” menyogok petugas jembatan timbang dengan uang Rp. 25.000,-, “hanya” sekitar 2,- euro saja….., kalau di sini, bahkan tidak cukup untuk sekedar membeli sebuah Doner Kebap! Jadi, Taufik juga pergi karena budaya sogok menyogok sudah begitu mengakar!

Pak Presiden! Pak Gubernur! Pak Walikota! Pak Camat! Pak Kades! dan kita semua! tugas masih begitu banyak untuk membenahi sistem dan mental masyarakat kita sendiri. Jangan biarkan juga rakyat kita terlalu sering melihat peristiwa seperti kecelakaan Taufik Savalas ini sebagai "kesalahan setan" yang katanya memang menghuni jalur maut angker itu. Kalau memang sering terjadi kecelakaan di situ, mungkin lebih baik pikirkan sistem untuk menghindarinya atau, setidaknya, menguranginya. Aku yakin setan bisa mencari tempat tinggal lain, kok! Aku juga tidak tahu sih, sistem dulu atau mental orangnya dulu yang perlu dibenahi? pilihan yang sulit, sama dengan pertanyaan: ayam dulu atau telor dulu yang lahir ke dunia ini?

Huhhh! Begitulah aku bisa melihat kematian komedian bersahaja, sang "Presiden Republik BBM" ini. Aku tidak mengenalnya secara pribadi, tapi dalam bentuk yang lain, aku merasa punya jalan hidup yang sama dengannya. Kalau Taufik pernah menjadi kondektur angkutan kota sebelum sukses menjadi selebriti, aku pun harus bertahan hidup sebagai pedagang asongan antara Kebayoran Lama dan Tanah Abang sebelum menjadi sarjana.

Sekali lagi, aku bukan tidak percaya takdir! Tapi, jangan 'bebankan' semuanya kepada Tuhan, ambillah jatah kita sebagai hamba-Nya untuk berbenah diri. Innallaha la yugayyiru ma bi-qaumin, hatta yugayyiru ma bi-anfusihim, Tuhan tidak akan mengubah nasib segolongan masyarakat, hingga mereka sendiri berusaha memperbaikinya (al-Ra’d: 11). May he in rest, amin.

Salajengna......

Satu Tahun yang lalu...

Foto: Cologne Cathedral
Tiba-tiba aku ingat, Juni, satu tahun yang lalu, aku mulai tinggal di Bonn, cuma masih sendiri. The Humboldt Foundation baru memberiku kesempatan untuk menjemput keluarga setelah 2 bulan aku mengikuti kursus bahasa Jerman di Goethe Institut, Bonn, dan setelah aku memiliki tempat tinggal tetap yang dianggap memenuhi standar kelayakan untuk sebuah keluarga dengan tiga anak.

Kini, setelah satu tahun berlalu, banyak hal yang telah aku lihat dan aku pelajari dari masyarakat yang relatif menganut nilai-nilai atau budaya berbeda dengan Negeri asalku. Aku sering merenung dan membandingkan, sisi mana yang dari Negeri ini yang patut ditiru, dan sisi mana pula dari Negeriku yang patut aku banggakan.

Tapi, karena niatnya ‘mempelajari’, jadinya aku lebih sering mencari-cari sisi buruk mana yang perlu dibenahi di Negeriku, dan sisi baik mana yang bisa aku bawa pulang dari Negerinya para filsuf ini.

Jujur harus aku bilang, tata kehidupan bermasyarakat di sini jauh lebih teratur, tertib, dan lebih beradab. Hanya satu dua kali aku melihat penyebrang jalan yang menerobos lampu merah, itu pun biasanya karena ia terlihat terburu-buru mengejar jadwal kereta. Umumnya mereka akan menunggu lampu hijau menyala, meski tidak ada kendaraan yang lewat...

Hak-hak dan privasi seseorang pun demikian terjaga, karena setiap orang berusaha keras untuk menghargai dan tidak mengganggu privasi orang lain, karena hanya dengan cara itulah ia akan dihargai orang lain. Jangan harap juga anda bisa bertemu atau bertamu ke rumah orang lain tanpa bikin janji terlebih dahulu; dan jangan coba-coba anda ingkar janji, kalau tidak ingin seumur hidup dicela orang.

Jangankan dengan Negara sendiri, dibanding Negara tetangga di sini, Belanda, pun, penghargaan terhadap privasi orang di Jerman kayaknya jauh lebih baik. Aku ingat waktu menginap di Leiden beberapa waktu lalu, sampai jam 2 pagi tetangga sebelah masih ketawa-ketiwi dengan suara keras.

Di sini, anda boleh besuara keras sebelum jam 22.00 malam, setelah itu, jangan coba-coba kalau tidak ingin menerima pengaduan! Mungkin cuma waktu Piala Dunia 2006 saja Pemerintah Jerman membuat aturan yang memperbolehkan seseorang berteriak di atas jam 22.00 malam, maklum, sebagai Tuan Rumah, saat itu Jerman berhak untuk sering berpesta.

Kriminalitas? Kecelakaan? Tentu juga ada dan terjadi di sini, tapi kadarnya jelas jauh lebih rendah dibanding di Indonesia, apalagi kalau ukurannya Koran Pos Kota di Jakarta, wah…di sini jelas jauh lebih sempurna. Aku rasanya tidak pernah merasa perlu memegang erat dompetku saat naik angkutan umum, meski jalan di malam hari.

Padahal di Indonesia, aku ingat kawanku, Kang Fuad, yang tanga kanan dan kirinya pernah harus bergantian "melindungi" dompet kesayangannya di mikrolet, gara-gara orang di depannya maksa memberikan "pijat gratis", sementara penumpang di sampingnya, yang ternyata konconya, mulai merogoh-rogoh kantong celananya.

“Sedia payung sebelum hujan”, kayaknya pepatah itu sudah secara diterapkan mendekati sempurna di sini, dalam segala urusan, mulai dari anak-anak yang harus mengenakan safety belt tersendiri kalau naik mobil, harus mengenakan helm kalau naik sepeda, dan yang pasti wajib membayar asuransi, baik asuransi kesehatan maupun jiwa.

Ah, masih banyak yang aku pelajari di sini.



Salajengna......

July 11, 2007

Heidelberg dan Ketulusan seorang Kawan



Sejak pertengahan Juni lalu, anak-anakku libur sekolah, lumayan panjang liburannya, mereka baru akan masuk lagi pada awal Agustus nanti. Kalau tinggal di Indonesia, mungkin masa liburan ini tidak terlalu terasa membosankan bagi anak-anak, karena mereka bisa bermain dengan banyak kawan-kawannya, atau berenang bersama.

Liburan panjang di sini masalahnya menjadi lain, anak-anak lebih banyak tinggal di rumah, apalagi musim panas kali ini tidak seperti biasanya, udara tetep dingin, hujan pun turun hampir setiap hari, bikin malas keluar rumah! Tapi aku perlu memikirkan agenda supaya mereka tidak bosan tinggal di rumah. Kota Heidelberg menjadi salah satu pilihan kami untuk jalan-jalan pekan ini…

Kami beruntung punya kawan yang buaaik banget di Heidelberg, Mas Ken dan Teh Liza, dengan putri tunggalnya yang mungil, Nesa; di rumahnya kami sekeluarga menginap; meski di rumah tinggalnya hanya ada dua ruangan, buat tidur dan ruang utama, tapi kelapangan hati Mas Ken dan Teh Liza membuat suasana terasa begitu hangat; saat itu, bahkan bukan hanya kami berlima yang menjadi tamunya, plus dua anak yang “dititipkan” oleh dua kawan mereka berdua; jadi praktis ada sepuluh jiwa di rumah yang kayaknya tidak lebih dari 60 meter persegi itu. Sungguh sebuah ketulusan yang patut ditiru!

Seolah tahu kesukaan kami, Teh Liza dan Mas Ken menyambut kedatangan kami dengan masakan Bakso ramuan sendiri, karuan saja kami semangat melahapnya, maklum waktu di Indo biasa langganan Bakso Pak Kumis atau Bakso Atom di Ciputat, itung-itung obat kangen lah... Mas Ken memang pandai memasak, selain ngegiling Bakso, saat itu Mas Ken juga sedang membuat tempe dari kacang kedele, wah…nggak kebayang deh kita mah!

Heidelberg sungguh kota yang cantik! Schloss Heidelberg dengan Königstuhl, Molkenkur, dan Kastilnya yang tampak biasa-biasa saja pada siang hari, berubah berkelip dan bersinar menjelang sore dan malam hari; keindahannya semakin sempurna saat memandang Schloss dari kejauhan yang berpadu dengan kelap-kelipnya bangunan lain serta pantulan cahaya di sungai yang memanjang sepanjang kota. Beruntung Mas Ken dengan tulus mengantar kami jalan-jalan memutar Alte Brücke di malam hari…

Sayangnya, waktu kami terlalu terbatas, tidak cukup untuk mengunjungi semua tempat menarik, salah satunya adalah Schloss Schwetzingen, tempat dimana terletak Masjid yang konon begitu indah di dalamnya. Ah, mungkin ini bisa jadi alasan untuk berkunjung lagi ke Heidelberg yang ternyata membuat kangen itu...

Rasanya, keindahan Heidelberg hanya bisa ditandingi oleh Salzburg, kotanya Mozart, sang legendaries musik klasik, di Austria. Sayang, kami sekeluarga baru sempat berkunjung ke Salzburg di siang hari, mungkin lain kali perlu jalan-jalan lagi.

Makasih Mas Ken dan Teh Liza, semoga ‘jamuan’ kemaren menjadi amal baik buat anda sekeluarga….amin.

Salajengna......

July 4, 2007

Berita itu pun akhirnya tiba....!

Foto: The Reichstag, Berlin
Sore itu, jam 15.30 waktu sini, berita itu pun tiba…! The Alexander von Humboldt Foundation akhirnya menyetujui perpanjangan fellowship penelitianku di Jerman untuk sembilan bulan ke depan. Itu artinya kerinduan kami ke tanah air baru akan terpenuhi pada April 2008 mendatang.

Pengen sih pulang, udah kangen juga sama jajanan-jajanan khas Indonesia yang tidak pernah ditemui di sini, apalagi di Ciputat ada yang namanya baso BBS, pecel lele, indomie rebus, wah….! Jangankan para pedagang kaki lima, yang jualan koran, rokok, atau minuman ringan pun di sini Cuma seonggok mesin, tinggal masukin koin uang, keluarlah barang yang kita mau….

Cuma aku harus berfikir realistis juga, untuk menyelesaikan riset yang sudah lebih dari separuh jalan ini, aku butuh sarana dan prasarana yang mendukung, terutama waktu, ketersediaan bahan bacaan, dan koneksi internet yang tak terbatas. Ini jelas masih susah ditemui di Indonesia! waktu kita juga sering kali habis untuk memikirkan bagaimana mencari aktivitas tambahan supaya penghasilan tidak pas-pasan; begitu pula koneksi internet yang masih menjadi barang mewah, meski sekarang konon harganya sudah jauh lebih murah daripada sebelumnya, padahal fasilitas internet ini menjadi pendukung yang luar biasa untuk kegiatan riset, apapun subjeknya.

Di sini, aku bisa duduk tanpa memikirkan apapun selain risetku, dan semua kebutuhanku, yang primer maupun yang sekunder, sudah dipenuhi oleh Humboldt. Aku sering merasa iri kalau ingat Negeri sendiri yang belum bisa mensejahterakan rakyatnya, dan perputaran uang hanya terjadi pada kelompok-kelompok tertentu saja.

Dalam batin aku sering bergumam dan mengucap terima kasih kepada Yayasan Humboldt atas dukungan penuh terhadap aktivitas risetku. Terima kasih juga Pak Edwin, professor yang dengan sangat baik hati menjadi academic host ku selama di Jerman.

Salajengna......