October 29, 2008

Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Buku Baru

AKHIRNYA, buku yang berasal dari disertasi saya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini dapat diterbitkan.

Sejak selesai saya tulis pada tahun 2003 —di bawah judul “Tarekat Syattariyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatra Barat”—, penerbitan disertasi ini telah beberapa kali direncanakan. Akan tetapi, rencana itu selalu saya tangguhkan karena untuk versi buku, awalnya saya ingin memperluas cakupan pembahasan-nya, tidak terbatas pada tarekat Syattariyah di Sumatra Barat saja, melainkan juga di sejumlah wilayah lainnya di Indonesia.

Saya memiliki keyakinan bahwa jaringan tarekat Syattariyah di Indonesia ini bisa ditelusuri sanad dan silsilahnya melalui kajian atas naskah-naskah tentang tarekat Syattariyah yang banyak tersebar dalam berbagai bahasa, khususnya Arab, Melayu, Sunda, dan Jawa.

Akan tetapi, meski lima tahun sudah berlalu, nyatanya saya belum memiliki kesempatan untuk melakukan penelitian lanjutan yang serius terhadap sumber-sumber lokal di wilayah lainnya, khususnya yang berupa naskah-naskah tulisan tangan (manuscript), tentang tarekat Syattariyah tersebut. Untuk sementara, saya terpaksa harus melupakan keinginan memberi judul buku ini sebagai “Tarekat Syattariyah di Indonesia”, karena klaim tersebut meniscayakan pembahasan tentang tarekat Syattariyah di semua wilayah di Indonesia.

Meskipun demikian, dibanding dengan disertasi asalnya, cakupan pembahasan dalam buku ini telah mengalami perluasan dengan tambahan analisis terhadap representasi naskah Sunda yang saya sebut sebagai naskah “versi Kuningan”, serta dua naskah Jawa, masing-masing “versi Cirebon” dan “versi Giriloyo”. Ketiga versi naskah tersebut disertakan dalam pembahasan sebagai bahan perbandingan untuk melihat sejauh mana kekhassan dinamika dan perkembangan tarekat Syattariyah di Sumatra Barat yang tetap menjadi perhatian utamanya.

Harapan saya, di kemudian hari, penelitian tentang tarekat Syattariyah yang berbasiskan pada sumber-sumber tertulisnya ini dapat terus dilakukan dan dikembangkan di wilayah-wilayah lainnya di mana saja tarekat ini berkembang, sehingga pada gilirannya kita bisa mendapat gambaran utuh tentang sejarah sosial intelektual tarekat Syattariyah di Indonesia, baik menyangkut sanad dan silsilahnya maupun ajaran dan ritualnya.

Atas hadirnya buku ini di tangan pembaca, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Achadiati Ikram, Prof. Dr. Azyumardi Azra, dan Dr. Muhammad Luthfi, yang telah memberikan bimbingan selama saya melakukan penelitian dan penulisan disertasi, yang kemudian terbit menjadi buku ini. Belakangan, saran perbaikan serta masukan juga saya peroleh dari Prof. Dr. Edwin Wieringa, saat saya berkesempatan menjadi peneliti tamu di Malaiologischer Apparat am Orientalischen Seminar, Universität zu Köln, sejak Agustus 2006 hingga April 2008 atas beasiswa dari Yayasan The Alexander von Humboldt, Jerman.

Kemudian, Prof. Dr. Henri Chambert-Loir adalah nama yang tidak mungkin saya lupakan. “Pak Henri” lah orang terdepan yang meretas jalan bagi saya untuk menekuni bidang kajian pernaskahan ini, selain Prof. Dr. Nabilah Lubis, MA. Pak Henri pula yang dengan sangat antusias menyambut rencana penerbitan buku ini, serta menyarankan beberapa penyempurnaan, terutama dengan penambahan informasi keberadaan naskah Syattariyah “versi Giriloyo” yang telah disunting oleh Drs. Mujib. Kepada nama yang disebut terakhir ini, saya sangat berterima kasih atas izin untuk “meminjam” hasil analisisnya terhadap naskah tersebut, karena saya sendiri belum sempat membacanya secara langsung.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada The Indonesian International Education Foundation (IIEF), saat itu melalui Dr. Irid Agoes sebagai Direktur Eksekutifnya, dan Fenty Setiasih sebagai asisten Program Officer, yang telah memberikan beasiswa penuh selama kuliah dan penelitian.

Dalam hal pencarian sumber-sumber primer penelitian, khususnya yang berupa naskah-naskah tulisan tangan di Sumatra Barat, tidak ada lagi yang paling berjasa selain kawan-kawan di Universitas Andalas Padang, Sumatra Barat, khususnya M. Yusuf, Yusriwal (alm.), dan Pramono, yang dalam beberapa kesempatan, tanpa kenal lelah, siang dan malam, mengantar saya mengunjungi surau-surau serta mempertemukan dengan para pemilik naskah-naskah tersebut, dan juga Adriyetti Amir, Zuriati, Pramono, Ivan Adilla, Sudarmoko, dan Nasrul Azwar, yang sering menjadi kawan diskusi. Beberapa ilustrasi foto dalam buku ini juga diperoleh dari koleksi foto M. Yusuf dkk.

Tentu saja, saya harus berterima kasih kepada para pemilik naskah, khususnya Buya Haji Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib (w. 2006), dan Bapak Agus Salim, yang bersedia meminjamkan sebagian dari koleksi naskahnya untuk menjadi sumber utama buku ini. Dari Perpustakaan IAIN Imam Bonjol Padang, saya juga dengan mudah mendapatkan sumber-sumber tambahan atas bantuan dan jasa baik sejumlah kolega, antara lain: Prof. Dr. Hj. Hayati Nizar, Drs. Yulizal Yunus, Dr. Zaim Rais, MA, dan Fakhrurozi, S.Ag.

Ketika mengolah sumber-sumber yang telah terkumpul itu, beberapa kawan sering memberikan masukan dan saran sehingga semakin memperkaya analisis dan perspektif saya dalam menulis. Mereka, antara lain, adalah: Dr. Jamhari, Dr. Fuad Jabali, dan Dr. Jajat Burhanudin. Atas kontribusi mereka, saya sampaikan penghargaan yang setulus-tulusnya.

Kepada beberapa lembaga, saya juga ingin menghaturkan terima kasih atas berbagai dukungannya: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Universitas Leiden, Ecole française d’Extrême-Orient (EFEO) Jakarta, KITLV Jakarta, TOTAL Indonésie, Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia, Manassa, organisasi tempat saya berkiprah di bidang pernaskahan, Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, khususnya kepada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, yang telah memberikan keleluasaan bagi saya untuk meninggalkan sebagian kewajiban sebagai tenaga pengajar saat melakukan penelitian, dan kepada Penerbit Prenada Media Group atas kesediaannya bekerja sama menerbitkan buku ini.

Pada tahap akhir, tata letak dan semua persiapan teknis penerbitan dilakukan oleh Ade Pristie Wahyo di EFEO. Untuk itu, saya ucapkan banyak terima kasih. Kalau pun masih ada kekeliruan di dalam buku ini, semuanya adalah tanggung jawab saya sendiri.

Akhirnya, semua hasil jerih payah ini saya persembahkan buat orang-orang terdekat yang saya cintai: ayahanda H. M. Harun, BA, Hj. Ibunda Sukesih (alm.), dan secara khusus istriku tersayang, Ida, beserta tiga permata hati: Fadli, Alif, dan Jiddane, yang seringkali harus merelakan waktu bercengkramanya karena tersita oleh kesibukan saya dalam menyelesaikan buku ini; tanpa cinta, kasih sayang, dan pengertian kalian semua, buku ini mungkin tidak akan pernah ada.

Meski buku ini baru keluar dari Percetakan pada akhir Oktober ini, tapi saya menulis prakatanya pada hari yang sangat indah dan bersejarah, 08 Agustus 2008, saat yang tepat untuk mengingat hari kelahiranku, 39 tahun yang lalu.

Pisangan Ciputat, 08-08-08

Lihat juga ringkasannya di sini.

Salajengna......

July 12, 2008

Malas?

Sejak kembali ke Indonesia pada akhir April 2008 lalu, aku tidak pernah lagi menulis untuk blog ini. Malas? mungkin ya, tapi mungkin juga tidak. Toh aku masih sempat menulis untuk blogku yang lainnya.

Banyak hal sebetulnya yang ingin aku tuliskan, tapi kadang tidak sempat lagi duduk manis di depan layar komputer seperti saat di Bonn dulu....Ah, sekarang pun aku masih malas, jadi belum ingin menulis apa-apa....

???

Salajengna......

April 20, 2008

Masalah Ahmadiyyah dan Kebebasan Keyakinan

Oleh: Ruzbihan Hamazani

Sumber tulisan:
Blog Minhaj Al-Aqilin

Masalah yang dihadapi oleh jamaah Ahmadiyah di Indonesia saat ini bukan semata-mata masalah sekte kecil yang disesatkan oleh banyak kelompok Islam itu. Ini bukan sekedar apakah kita setuju Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, benar-benar nabi “baru” atau tidak. Masalah Ahmadiyah menyangkut soal yang jauh lebih besar dan mendasar, yakni kebebasan agama dan keyakinan.

Saat ini, tuntutan pembubaran Ahmadiyah berkumandang di beberapa kota. “Aktor (non)intelektual” yang berada di balik gerakan ini adalah orang-orang dan kelompok yang sama yang sudah sering kita dengar: Abdurrahman Assegaf, Kholil Ridlwan, Sobri Lubis, Al-Khattat, FPI, HTI, MMI, FUI, dll. Ancaman terhadap warga Ahamadiyah juga meningkat di banyak tempat. Sulit ditolak, bahwa MUI, secara tak langsung, berada di balik gejala peningkatan kekerasan ini. Pada 29 Juni 2005, MUI mengeluarkan sebelas fatwa, antara lain fatwa yang mengharamkan ajaran Ahmadiyah. Fatwa ini seperti memberi justifikasi tak langsung terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras yang selama ini mengancam secara fisik jamaah Ahmadiyah. Pihak MUI memang selalu menolak keras jika dianggap bertanggungjawab atas kekerasan itu. Tetapi bahwa MUI tidak melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencegah kekerasan itu, sebaliknya hanya melemparkan tanggungjawab kepada pihak kepolisian, adalah tanda yang sangat jelas bahwa lembaga ini memberi “stempel tak langsung” terhadap kekerasan tersebut.

Baru-baru ini, rapat Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (selanjutnya: Badan Pengawas) memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah sekte sesat, dan menyarankan agar diterbitkan Surat Keputusan Bersama untuk melarang kegiatan sekte ini di Indonesia. Salah satu pihak yang ikut dalam rapat Badan Pengawas itu adalah Departemen Agama. Dalam hal ini, saya menduga, Depag-lah yang paling berperan penting dalam memutuskan Ahmadiyah sebagai sekte sesat. Peserta lain dalam rapat tersebut, seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian dalam Negeri, tampaknya kurang mempunyai otoritas dalam masalah yang menyangkut kepercayaan orang Islam ini. Satu-satunya kemungkinan yang paling masuk akal adalah Depag. Bukan tak mustahil, pendapat Depag dipengaruhi, antara lain, oleh fatwa MUI. Jika ini benar, maka pengaruh fatwa MUI sangat besar sekali dalam membentuk kebijakan pemerintah mengenai masalah agama (baca: Islam).

Bagaimana kita menyikai perkembangan masalah Ahmadiyah ini?

Sekali lagi harus ditegaskan bahwa masalah Ahmadiyah ini bukan melulu soal sebuah sekte kecil, tetapi menyangkut masalah yang lebih besar, yakni kebebasan beragama dan keyakinan yang dijamin konstitusi negeri kita. Ini adalah jaminan yang berlaku untuk seluruh warga negara. Keyakinan, apalagi menyangkut iman yang sangat pribadi, tidak bisa dipaksakan oleh siapapun. Negara juga tidak bisa memaksakan keyakinan tertentu kepada penduduknya. Selama suatu keyakinan tidak menimbulkan akibat yang melanggar hukum negara, maka negara wajib memberikan perlindungan kepada pemeluk keyakinan itu, tak peduli apakah keyakinan itu dianggap benar atau sesat oleh kelompok tertentu.

Prinsip ini perlu ditegaskan terus-menerus, sebab di tengah merebaknya konservatisme agama saat ini, banyak orang lupa bahwa Indonesia bukan milik golongan tertentu, bukan pula monopoli sekte agama tertentu. Indonesia adalah milik semua golongan dan kelompok yang hidup di negeri ini. Jika suatu kelompok agama menganggap ajaran kelompok lain sesat, maka negara tak boleh ikut campur dengan memihak salah satu golongan. Jika negara memihak kelompok yang anti-Ahmadiyah, lalu melarang kegiatan sekte ini sama sekali, maka pelan-pelan Indonesia sudah menjadi negara semi-teokrasi, atau sekurang-kurangnya semi-agama, berlawanan dengan watak dasar negeri kita sebagai negara nasional berdasarkan Pancasila dan konstitusi. Negara Indonesia memang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana dalam sila pertama Pancasila. Tetapi negara Indonesia tidak memihak salah satu keyakinan, mazhab, atau tafsir tertentu terhadap suatu agama.

Dengan kata lain, menghadapi keragaman keyakinan dalam masyarakat, negara harus netral. Perbedaan penafsiran dalam agama adalah hal biasa. Dalam perbedaan itu, tidak jarang satu kelompok menyesatkan yang lain. Itu semua adalah gejala yang lumrah pada semua agama. Masalah sesat-menyesatkan bukan hanya ada pada Islam. Dalam Kristen, hal itu juga ada, meskipun istilah yang dipakai mungkin berbeda. Di mata banyak gereja-geraja arus-utama di Indonesia, sekte-sekte seperti Saksi Jehovah, misalnya, dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Kristen “ortodoks”.

Begitu pula, di mata sebagian kalangan Islam, praktek ziarah kubur, misalnya, dianggap sebagai tindakan khurafat dan syirik. Kita semua tahu, syirik adalah dosa terbesar dalam Islam, mungkin malah lebih besar dari sekedar beranggapan bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad. Sementara itu, salah satu golongan Islam yang melestarikan tradisi ziarah kubur adalah Nahdlatul Ulama. Apakah pemerintah akan melarang kegiatan NU karena dianggap “sesat” oleh kelompok Islam lain gara-gara mengamalkan praktek syirik ini?

Di mata umat Islam, agama Kristen jelas mengandung doktrin yang mengarah kepada syirik, misalnya trinitas. Dengan memakai standar doktrin Islam, jelas Kristen dan sejumlah agama lain adalah agama sesat. Apakah dengan demikian pemerintah akan melarang kegiatan agama-agama itu?

Kalau pihak Badan Pengawas ingin melarang Ahmadiyah karena alasan sesatnya sekte tersebut, maka banyak sekte, golongan dan mazhab yang harus dilarang di Indonesia, termasuk Nahdlatul Ulama. Tentu, pemerintah tak akan bertinda konyol seperti itu, lalu melarang seenaknya semua sekte yang dianggap “sesat”. Jika ini terjadi, Indonesia sudah berbalik 180 derajat menjadi negara agama yang melakukan inkwisisi atau pengadilan keyakinan seperti dalam sejarah Eropa pada zaman kegelapan dulu.

Hal lain yang perlu dipersoalkan adalah: atas alasan apa suatu sekte dianggap sesat? Sudah tentu, sesat tidaknya suatu sekte atau golongan biasanya ditentukan oleh kelompok yang dominan. Karena sekte dominan di Indonesia adalah Sunni, maka keyakinan Ahmadiyah dianggap sesat. Tetapi, belum tentu pendapat umat Islam mengenai hal ini sama. Saya yakin, tidak semua kelompok-kelompok Islam di Indonesia menganggap Ahmadiyah sebagai sesat. Keputusan Badan Pengawas untuk menganggap JAI (Jamaah Ahmadiyah Indonesia) sebagai kelompok sesat jelas didasarkan pada pendapat sekte dominan dalam Islam yang diwakili oleh MUI. Tetapi, MUI tidak bisa dianggap mewakili aspirasi seluruh umat Islam Indonesia.

Taruhlah bahwa Ahmadiyah memang “sesat” dalam kaca-mata doktrin Sunni yang dipeluk oleh sebagian besar umat Islam. So what? Seperti sudah saya katakan sebelumnya, kelompok yang dianggap sesat dalam Islam banyak sekali. Masing-masing kelompok sudah biasa menyesatkan kelompok lain. Apakah dengan demikian negara akan turun tangan untuk melarang kelompok-kelompok itu?

Masalah Ahmadiyah ini biarlah menjadi urusan rumah tangga umat Islam sendiri. Biarlah umat Islam berdiskusi terus hingga kiamat soal doktrin finalitas kenabian Muhammad itu. Setiap agama selalu memiliki sejumlah “isu panas” yang selalu mereka diskusikan dalam zaman ke zaman. Negara sebagai lembaga publik yang netral tidak selayaknya mencampuri urusan rumah tangga agama itu.

Sungguh menyedihkan bahwa pejabat tinggi negara seperti Menteri Agama, anggota DPR, dan para pejabat yang ikut dalam rapat Badan Pengawas itu tidak mengerti prinsip yang sederhana ini. Kalau Menteri Agama sebagai pribadi punya pandangan bahwa Ahmadiyah adalah sekte sesat, silahkan saja. Tetapi dia tidak bisa memakai aparat negara untuk melarang sekte sesat itu. Begitu juga, jika ada anggota DPR secara pribadi memiliki keyakinan yang sama, itu hak dia sepenuhnya. Tetapi dia tak bisa memakai jabatannya sebagai anggota lembaga publik (baca: parlemen) untuk mempengaruhi kebijakan publik yang berakibat pada perampasan kebebasan dasar warga negara, dhi. kebebasan berkeyakinan.

Keyakinan adalah hal yang sangat pribadi dan mendasar dalam kehidupan manusia. Seseorang yang dihalangi untuk menjalankan keyakinannya akan mengalami situasi yang serupa dengan orang yang dihalangi dari hak miliknya. Dalam kedua situasi itu, orang tersebut mengalami perampasan dari harga dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Tugas pokok negara adalah melindungi setiap keyakinan, sebab hanya dengan begitulah warga negara bisa hidup sebagai manusia yang bermartabat.

Sungguh menggelikan anjuran Menteri Agama, sebagian anggota parlemen, dan tokoh-tokoh Islam lain agar warga Ahmadiyah meninggalkan keyakinannya dan “kembali ke jalan yang benar”, yakni mengikuti keyakinan kaum Sunni. Anjuran seperti ini sama saja dengan menganjurkan kepada umat Kristen agar masuk Islam saja, sebab agama Kristen adalah sesat.

Seseorang tentu mempunyai kebebasan yang penuh untuk memeluk keyakinan yang ia anggap pas untuk dirinya dan “selera intelektual”-nya. Tak selayaknya keyakinan orang itu dihakimi berdasarkan standar keyakinan orang lain. Negara juga tak boleh turut campur dalam masalah yang sifatnya sangat pribadi itu.

Kita berharap pemerintah tetap konsisten menjalankan konstitusi, melindungi kebebasan keyakinan bagi siapapun tanpa pandang bulu. Kita juga berhadap, Surat Keputusan Bersama untuk melarang kegiatan Ahmadiyah sebagaimana direkomendasikan oleh pihak Badan Pengawas itu tidak menjadi kenyataan. Kita juga berharap pemerintah bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras yang menimbulkan keonaran dengan mengancam keselamatan fisik jamaah Ahmadiyah itu.

Last but not least, Islam sendiri mempunyai prinsip yang tegas: tidak ada paksaan dalam agama, tentu juga dalam keyakinan secara umum. Jaminan konstitusi kita terhadap kebebasan beragama dan keyakinan bukan saja sesuai dengan prinsip universal hak asasi manusia, tetapi juga dengan ajaran Islam.

Al-haqqu min rabbika fa la takunanna min al-mumtarin.

Wa ‘l-Lahu a’lam bi al-shawab.

Salajengna......

April 18, 2008

Denda 40 Euro!

Ada-ada saja pengalaman di Jerman ini, kali ini menimpa istriku, Ida.

Semua orang tahu bahwa setiap penumpang transportasi umum di Jerman yang tidak memiliki, atau tidak menggunakan, tiket yang benar akan dikenai hukuman denda sebesar 40 Euro, yang kalau dikonversi ke Rupiah dengan kurs mata uang sekarang berarti sekitar setengah juta lebih! Beberapa kali aku juga menyaksikan seorang penumpang diturunkan oleh petugas tiket yang memeriksa secara acak itu, dan dipaksa membayar 40 Euro. Aku terkadang ikut ngedumel dalam hati: "apa susahnya sih beli tiket, kan sama-sama menjaga kepercayaan".

Tapi, rupanya penumpang yang kena "razia" itu tidak selalu karena curang dan tidak mau beli tiket, setidaknya itulah pengalaman yang menimpa istriku. Mungkin inilah pelajaran untuk tidak selalu berburuk sangka kepada orang lain.

Senin lalu, istriku berangkat untuk belanja dengan membawa tiket langgananku, 9Formell ticket, yang memang bisa dipakai orang lain. Setiap bulannya aku membayar biaya tiket zona 4 ini sebesar 73 Euro, yang seharusnya berlaku di Cologne dan Bonn, maklum aku tinggal di Bonn tapi bekerja di Cologne.

Tapi, pagi yang naas itu, saat petugas pemeriksa tiket kebetulan datang, mereka bilang bahwa tiket yang dibawa istriku hanya berlaku di Cologne saja. Sontak istriku kaget dan berusaha menjelaskan bahwa tiket ini berlaku di Cologne dan Bonn. Tapi, petugas tetep keukeuh dengan temuannya, dan menyuruh istriku turun di tengah jalan serta membayar denda 40 Euro! Tak ada pilihan saat itu selain membayarnya, karena kalau tidak, petugas sudah siap-siap memanggil Polisi. Ah, malu memang!

Saat istriku kembali ke rumah tanpa belanjaan dan dengan wajah muram, aku pun kaget bukan kepalang. Dan begitu tahu apa yang terjadi, aku betul-betul tidak terima dan segera melayangkan protes keras ke KVB, pihak yang mengeluarkan tiketku di Cologne, tentunya melalui Universitas tempatku bekerja.

Begitulah kenyataannya. Pihak KVB mengakui bahwa ternyata ada kekeliruan input data. Bukannya tiket zona 4 yang diberikan kepadaku, melainkan tiket zona 1, yang tentunya hanya berlaku di Kota Cologne saja. Mereka pun minta maaf dan menyatakan penyesalannya karena kekeliruan ini justru terjadi pada tamu peneliti, katanya. Denda 40 Euro pun mereka kembalikan, sayangnya rasa malu sebagai penumpang yang kena denda tidak bisa tergantikan.

Rupanya tidak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia atau sistem yang sempurna. Sayangnya, justru ini terjadi hanya dua minggu menjelang kami meninggalkan Negeri ini. Meskipun demikian, saya tetap hormat terhadap petugas pemeriksa tiket yang konsisten melaksanakan ketentuan hukum, sejauh ia memiliki bukti, sampai kebenaran akhirnya dapat dibuktikan sebaliknya. Tidak ada cincai, tidak ada keinginan tahu sama tahu, atau upaya damai di tempat, misalnya. Tulisan yang terpampang di setiap stasiun atau di dalam kereta bahwa "Kein Ticket 40 Euro" bukan cuma slogan aturan tertulis semata seperti yang sering terjadi di negeri antah berantah...

Yang jelas, kalau anda naik kereta di Jerman, pastikan tiket anda berlaku dengan tujuan perjalanan, kalau tidak, 40 Euro, tanpa kenal kompromi!

Salajengna......

March 15, 2008

Haji (5): Umrah Pertama itu...

Azan Zuhur terdengar bergema di setiap sudut Masjidil Haram, sesaat setelah aku dan Ida menyelesaikan putaran terakhir Sa'i di Bukit Marwah. Lega rasanya bisa berada di dekat Baitullah, membisikkan semua hasrat dalam hati kepada-Nya, memenuhi seruan-Nya untuk bersujud di samping makam Ibrahim as, dan melepas dahaga dengan seteguk air zamzam. Ya, hari itu, Sabtu 15 Desember 2007/6 Zulhijjah 1428, kami berdua baru saja menyelesaikan Umrah pertama yang menjadi salah satu rukun haji Tamattu'.

Ah, kini aku tahu di mana lokasi yang nyaman dan memungkinkan untuk tawaf atau sai bersama anak-anak esok hari; pertama kali aku akan ajak mereka mengelilingi Kabah di lantai paling atas Masjidil Haram. Selain tidak berdesak-desakan, dari tempat ini mereka juga bisa melihat pemandangan menarik bagaimana jutaan orang menyemut melaksanakan tawaf di sekeliling Kabah. Dengan begitu, semoga anak-anak tidak cepat bosan dengan aktivitasnya. Yaah, namanya anak-anak, ibadah pun harus dibungkus dengan hiburan, apalagi mereka kan belum akil balig!

Selepas shalat zuhur pertama di Masjidil Haram itu, aku dan Ida pun menuju Masfalah, tempat penginapan Mas Yus, di mana anak-anak dititipkan. Selalu tidak mudah mencari lokasi di tempat baru yang masih asing. Meski sudah mencoba mengikuti petunjuk dari Mas Yus, plus bertanya ke petugas keamanan di jalanan, nyatanya kami berdua malah mengambil jalur memutar yang tidak lazim karena harus jalan kaki melewati terowongan. Sudah letih rasanya kaki ini, ketika kami tiba di depan sebuah warung bertuliskan Bakso Mang Udin! Wah, ini dia Bakso yang terkenal itu, pikirku, kami bisa mencicipinya sambil bertanya alamat pemondokan Mas Yus yang belum juga ketemu itu.

Begitulah, ternyata Masfalah 8 itu persis terletak di seberang Warung Mang Udin ini. Cuma, ternyata pula belakangan aku baru tahu bahwa Bakso Mang Udin yang satu ini bukan yang tersohor ceritanya itu, karena 'yang asli' adanya di samping Masjidil Haram dengan nama Bakso Mang Oedin..., beda “U” dengan “Oe”, ah!





Salajengna......

March 5, 2008

Mejeng Foto di Schmap Bonn...

Semuanya berawal dari Kang Ahya, sahabat sekampung yang pernah tinggal di Muenchen, tapi kini pulang kampung ke Indonesia. Ia yang mengajariku trik dan tips menggunakan kamera SLR digital Canon EOS 350D yang aku beli beberapa saat sebelum berangkat ke Jerman. Dengan bahasa yang sederhana, Kang Ahya memberikan resep fotografi untuk menghasilkan sebuah gambar yang baik. Nuhun, Kang!

Sejak saat itulah aku menyukai seni fotografi, meski tentunya hanya sebagai sampingan belaka. Setiap ada objek menarik, aku mencoba mengambil gambarnya, klik klik klik...

Dan, kini salah satu hasil jepretanku dengan objek Alexander Koenig Museum di Bonn ternyata memikat Redaksi Schmap Bonn, sebuah situs yang menyediakan informasi ratusan tujuan wisata di Amerika, Eropa, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.

Emma Williams, sang Managing Editor, meminta dan telah menjadikan salah satu jepretanku itu sebagai salah satu ilustrasi Schmap Guides Edisi Keempat bulan Februari 2008. Yah, tentu ini juga berkat teknologi internet yang memungkinkan kita menyimpan foto-foto digital, melalui Flickr, misalnya, sehingga lebih mudah dinikmati oleh jutaan pengguna internet.

Jerman, dan Eropa secara keseluruhan, memang merupakan objek fotografi yang keindahannya seperti tak akan pernah habis. Bangunan-bangunan tua bersejarah yang berusia ratusan tahun masih banyak yang berdiri dengan kokoh dan megahnya di berbagai kota yang aku kunjungi bersama keluarga. Dengan sendirinya, koleksi foto keluarga kami pun sudah memenuhi hampir separuh external disk berkapasitas 500 Giga.

Perkembangan teknologi kamera digital memang telah mendorong munculnya fotografer-fotografer amatiran yang 'secara tak sengaja' terkadang menghasilkan sebuah gambar yang tidak kalah mutunya dari hasil jepretan seorang profesional. Tinggal klik, klik, klik, tanpa perlu memikirkan berapa rol film yang kita habiskan, jadilah sebuah gambar.

Jadi, tunggu apa lagi, klik aja....!



Salajengna......

March 3, 2008

Winter Kedua di Bonn...

Bonn sebetulnya termasuk salah satu kota di Jerman yang udaranya tergolong hangat, setidaknya kalau dibanding kota-kota lainnya di sebelah Selatan. Sejak kami tinggal di bekas ibukota Jerman Barat ini, suhu terendah di Bonn 'hanya' 0 derajat di siang hari atau minus 5 kalau malam.

Salju di Bonn juga sangat 'pelit', winter tahun lalu hanya sekali turun salju, itupun butiran-butiran kecil yang langsung lenyap dalam beberapa menit saja.

Winter sekarang juga sama saja, memang sih sampai Maret ini saljunya sudah turun dua kali, dan lebih lebat serta lumayan lama hingga membuat pohon, rumput, dan genting rumah berwarna putih. Tapi ya begitulah Bonn, tidak sampai 30 menit kemudian warna putih itu pun lenyap disemprot sinar matahari.

Saking jarangnya, saat salju yang sebetulnya cuma 'netes' ini turun, kami pun heboh mengabadikannya. Jiddane, si bungsu, menyebut salju itu sebagai hujan es batu...ya, dia memang suka sekali 'ngemil' es batu dari kulkas, jadi pas lihat salju yang warna dan bentuknya sama itu, ia pun segera 'mengenalinya'. Tahun lalu, saat kami naik ke puncak pegunungan Alpen di Zugspitse Austria, di mana terdapat salju abadi, Jiddane pun 'menyicipinya' bak es batu dari kulkas, padahal es itu habis diinjaknya sendiri. Ah, namanya juga bocah...

Tahun kedua ini kami tidak terlalu bernafsu menyambut musim dingin. Dulu, sebelum berangkat ke Jerman, kami memang sangat penasaran ingin tahu bagaimana rasanya hidup dalam suasana Winter, dan pada saatnya tiba, kami cenderung menikmati udara dingin yang terasa menusuk itu, maklum di Indonesia kan tidak ada, jadi belum biasa. Tapi, lama kelamaan terasa bahwa beraktifitas dalam suasana dingin ternyata tidak terlalu nyaman, kemana-mana harus pakai jaket tebal, kulit pun jadi pada kering.

Ternyata bukan kami saja sebagai orang asing yang tidak suka dengan musim dingin, karena nyatanya beberapa orang Eropa sendiri tidak menyukainya, cuma mereka tentu tidak punya pilihan, karena pergantian musim di setiap tempat adalah 'kehendak alam' atas Kuasa-Nya.

Kadang aku berfikir, Tuhan telah memberikan iklim yang terbaik buat Indonesia, sayangnya, seperti yang Awan, kawanku, pernah nyeletuk, Negeri ini masih sering dijuliki “Negeri seribu satu masalah”…Ahh masa sih!

----------
updated: beberapa hari setelah menulis coretan ini, hujan salju di Bonn turun selama 3 hari berturut-turut. Bonn pun sejenak memutih...Ilustrasi foto adalah bagian depan apartemen kami di Bonn, diambil pada 25 Maret 2008.

Salajengna......

February 10, 2008

Haji (4): Hari Pertama di Makkah

Kesan Negeri ini sebagai hamparan padang pasir masih tampak sepanjang perjalanan kami dari Jeddah menuju Makkah pada 14 Desember 2008. Meski sejak sekolah di madrasah aku sudah membaca kisah tandusnya Negeri tempat lahirnya agama yang dibawa Nabi Muhammad ini, tapi sungguh berbeda dengan melihat dan merasakannya secara langsung. Beruntung musim haji tahun ini jatuh pada ‘musim dingin’, sehingga suhu udara tidak terlalu menyengat sampai 45 derajat, meski tetep saja panas untuk ukuran musim dingin di Eropa tempat kami tinggal sejak 2006 lalu, yah.., sekitar 23-27 derajat lah!

Berkali-kali aku mengingatkan istri dan ketiga putraku untuk bersyukur, “masa kecil Ayah dulu tidak seberuntung kalian sekarang”, bisikku sambil mengingat-ingat masa kecil saat aku selalu harus berbagi, atau bahkan berebut, sepotong telor bersama saudara-saudaraku, maklum kami sembilan bersaudara. Jangankan pergi haji atau tinggal dan sekolah di luar negeri, pergi keluar kota saja baru aku alami saat mau masuk Madrasah Aliyah (setingkat SMU) di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Yaah, namanya juga si Encep yang cuma orang kampung! Semoga anak-anakku mengerti dan pengalaman ini menjadi motivasi untuk bisa lebih baik saat mereka dewasa nanti, amin.

Meski hamparan padang pasir menjadi pemandangan utama, tapi bukan berarti rumah dan gedung di Jeddah masih terbuat dari tenda; nyatanya bukit batu yang berdiri kokoh berdiri berdampingan dengan gedung-gedung baru yang mengesankan metropolis. Ya, seperti sebuah paduan klasik dan modern!

“Nama saya Aiman, Pak! Saya ditugaskan oleh Pak Nursamad untuk menemani perjalanan Bapak sekeluarga selama di Tanah Suci”, sapa ramah sang supir memecahkan berbagai lamunan dan keasyikanku memandangi padang pasir sepanjang perjalanan menuju Makkah.

Konon, 25 tahun lalu, ketika berumur 4 tahun, Aiman, yang bekerja sebagai supir pribadi sebuah keluarga Arab, dibawa orang tuanya untuk tinggal di Makkah. Sejak saat itu, ia baru empat kali berkesempatan pulang kampung ke Banjarmasin di Kalimantar Barat. Kini, setiap musim haji ia menjadi tenaga musiman yang bertugas mengantar tamu-tamu tertentu, dan pada tahun ini kami sekeluargalah yang beruntung. Ia seorang profesional, bawaannya kalem, dan sikapnya pun sangat sopan. Meski sosoknya kecil tapi wataknya tegas; ia tak segan beradu mulut dengan orang Arab yang tinggi besar sekalipun jika merasa sikapnya benar. “Di sini tidak bisa bersikap lembek, Pak!”, ujarnya.

Kira-kira pukul 12.30 waktu setempat kami tiba di Kota Makkah. “Ah, ini rupanya kota Suci tempat Nabi Muhammad Saw. pertama kali menebarkan damai”, gumamku dalam hati. Meski sekarang ini, akibat ulah segelintir ‘oknum’ muslim yang salah kaprah, Islam sering dicitrakan sebagai penebar benih kekerasan, tapi aku percaya sepenuh hati bahwa misi utama Muhammad adalah jelas untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian bersama. Di sebuah sudut menjelang masuk ke Kota Makkah aku lihat tulisan ‘Muslim Only’. Hampir sama dengan Jeddah, lalu lintas di Makkah tergolong tertib, terutama jika dibandingkan dengan Cairo yang aku lihat sebelumnya.

Usai mengikuti shalat Jumat pertama di Kota Makkah, kami tiba di Wisma Haji I Aziziyah, tempat di mana kami akan menginap selama tinggal di Makkah. Setelah rundingan bersama istri, kami memutuskan untuk langsung melaksanakan umrah pada sore hari itu juga, supaya kami bisa segera berganti pakaian ihram dengan pakaian biasa, dan supaya kami punya waktu banyak jika masih ingin melaksanakan umrah sunnahnya.

Tapi rupanya kondisi fisik anak-anak, yang memang belum istirahat dengan semestinya sejak berangkat dari Cairo, tidak mau kompromi. Meski kami sudah berada di Masjidil Haram pada waktu ashar, dan bahkan Ka’bah sudah di depan mata, nyatanya anak-anakku pada cemberut saat diajak mulai tawaf; mata mereka masih terlihat kelelahan, selain juga tampak shock saat tiba-tiba berada di tengah jutaan manusia yang berdesak-desakan...”Ah, aku tidak boleh egois!” pikirku, “aku tidak pergi haji sendirian, jelas aku harus mempertimbangkan psikologi angota keluargaku”.

Akhirnya, aku memanggil kembali Aiman dan memintanya menjemput kami di terowongan tempat tadi kami datang. Ya, terowongan yang menghubungkan ke arah menuju pintu 5 Masjidil Haram. Kami pun memutuskan untuk istirahat total malam itu untuk menyiapkan energi buat besok pagi...


Salajengna......

January 15, 2008

Haji (3): Mungkin Perasaan itu Seharusnya Tidak Ada!

Sekitar Jam 04.00 dinihari, 14 Desember 2007 atau 4 Zulhijjah 1428, pesawat Egypt Air yang kami tunggangi mendarat di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Alhamdulillah! Kami resmi memulai ibadah haji sejak niat ihram di miqat tadi. Gema talbiyah menggema di antara para jamaah selama kurang lebih 5 menit kami berada di Bus menuju ruang tunggu.

Entah hanya di ruang tunggu yang kami tempati atau di keseluruhan bagian Bandara ini, yang jelas aku lihat fasilitas ruangannya terlalu sederhana untuk ukuran sebuah Bandara Internasional. Ah, aku tidak ingin terlalu memikirkannya!

Tiba-tiba, seorang pria berjas perlente mendekati kami, jelas dia seorang Indonesia. “Pak Oman, yah?” sapanya. Rupanya dia adalah Pak Kafrawi, Staf Protokol Haji yang diutus oleh Pak Nursamad untuk menjemput kami dan mengurus segala urusan ‘tetek bengek’ supaya bisa keluar dari Bandara.

“Wah, keluar dari sini tidak mudah, Mas! Harus ada yang ngurus”, kata Pak Kafrawi kepada kawan baruku, Taufal, yang kelihatan sedang sibuk berusaha menghubungi kawannya yang mungkin diharapkan akan membantu di Bandara.

“Wah, kalau begitu beruntung sekali kami ini”, pikirku, “pasti kami bisa keluar dari Bandara lebih cepat dan lebih lancar dari yang lain, yang mengurus kan staf khusus dari Kantor Kedutaan”.

Aku sempat menyesal karena tidak bisa meminta Pak Kafrawi ikut membantu Taufal supaya bisa bersama-sama kami segera menyelesaikan urusan keimigrasian dan lain-lain. Laki-laki muda berjas ini memang tampak agak bergegas, dan setelah bercakap-cakap dengan petugas setempat, ia segera mengajak kami keluar dari ruang tunggu, sementara aku lihat semua jamaah lain belum ada yang bergerak, “wah, istimewa sekali kami ini”, begitu yang terbersit dalam benakku saat itu.

Tapi, entah karena aku menyimpan perasaan terlalu ‘membusungkan dada’ saat mau menghadap-Nya ini, atau karena memang ada masalah keimigrasian, atau mungkin kedua-duanya, yang jelas kami berlima nyatanya tidak bisa keluar dari Bandara lebih duluan dari Taufal, bahkan ketika ruangan yang aku tinggalkan tadi telah kosong sekalipun, kami masih ‘nyangkut’ di pintu pemeriksaan passport dan visa. Entahlah, aku juga tidak bisa mengetahui persisnya apa yang terjadi karena selama berjam-jam Pak Kafrawi tidak kelihatan. Belakangan, ia cerita bahwa memang ada sedikit masalah dengan kelengkapan visa, selain juga karena sifat haji saya yang personal, sehingga ia harus pontang-panting kesana kemari mengurusnya. Ah, terima kasih banyak Pak!

Walhasil, mulai jam 4 dinihari sampai jam 8 pagi, kami terpaksa harus berdiri di batas pintu keluar ruang tunggu, sehingga kami harus minta izin ke petugas jaga untuk menunaikan shalat Shubuh bergantian. Dan ketika Pak kafrawi telah menyelesaikan kelengkapan yang dimaksud serta bisa membawa kami keluar dari pintu pertama pun, ternyata kami masih harus menunggu lebih dari satu jam berikutnya. Di tempat transit jamaah Haji Indonesia akhirnya kami tak kuasa lagi menahan kantuk, meski aku harus merem-melek mengusir lalat-lalat yang berusaha mengganggu tidur istri dan anak-anakku. Sampai akhirnya Aiman, supir kendaraan yang ditugaskan untuk menemani kami selama menunaikan ibadah haji, tiba dan membawa kami menuju Mekkah al-Mukarramah.

Ah, mungkin perasaan takabbur itu seharusnya tidak terbersit dalam benakku! astagfirullah... Tapi apapun penyebab semua ini, aku berusaha meluruskan niat saja dan mencoba lebih meyakini bahwa menunaikan ibadah haji memang perlu bekal niat yang suci, lurus, dan belajar untuk tidak takabbur atau terlalu membusungkan dada atas pengalaman hidup yang kita jalani. “labbaik allahumma labbaik, labbaik la sharika laka labbaik”..

Salajengna......

January 5, 2008

Haji (2): Meluruskan Niat di Cairo

Bismillah! Selama di Cairo, kami berusaha lebih memantapkan dan meluruskan niat ibadah haji serta bertawakkal kepada-Nya semata. Terus terang hingga saat kami berangkat menuju Jeddah, hatiku masih dipenuhi rasa was-was, apakah nanti aku bisa menunaikan ibadah haji dengan baik sambil membawa dan menjaga istri dan ketiga anak-anakku?

Beberapa kali aku kontak Pak Nursamad, Kepala Konsulat Haji di Jeddah yang mengundang kami, untuk memastikan bahwa dia sudah membantu memperhitungkan hal-hal teknis berkaitan dengan kedatanganku beserta istri dan tiga anak kecil…

Sayang sekali aku tidak pernah menerima balasan dari Pak Nursamad, aku berfikir mungkin ia terlalu sibuk mengurus persiapan haji tahun ini yang dibayang-bayangi 'kasus kelaparan' jamaah haji tahun lalu. Untungnya kawan-kawan di Cairo yang umumnya sudah berpengalaman menunaikan ibadah haji memberikan sugesti yang sangat positif. “Gak usah khawatir, Kang!” begitu Aang Anshari, Mawhiburrahman, dan Pak Amin Samad meyakinkan, “Jamaah haji sudah umum kok yang membawa anak kecil, pasti nanti ada jalan kemudahan”, semogalah, pikirku.

Kekhawatiran dan rasa was-wasku sebetulnya bukan tanpa alasan, karena nyatanya persiapan dan prakondisi kami untuk menunaikan ibadah haji ini memang sangat terbatas, mengingat serba mepetnya kepastian keberangkatan ini seperti yang telah aku ceritakan. Tapi, segera aku luruskan niat ini, dan semuanya terasa menjadi lebih ringan!

Kalau jamaah haji umumnya sudah berlatih cara memakai baju ihram sebelum berangkat misalnya, kami berlima bahkan belum punya baju ihram sampai tiba di Cairo. Sehari sebelum berangkat ke Jeddah, barulah kami berbelanja berbagai perlengkapan haji di Cairo: baju ihram, sandal jepit, ikat pinggang, dan lain-lain…Dan, baru pada malam keberangkatan ke Jeddah itulah untuk pertama kalinya kami praktik mengenakan baju ihram, tentu agak kaku dan kikuk rasanya…tapi, segera aku luruskan niat ini, dan semuanya terasa menjadi lebih baik!

Nyatanya, banyak kemudahan tak terduga yang kami jumpai! Meski berangkat dari Jerman tanpa iringan keluarga, hanya ada Adam dan Widiyanto, dua mahasiswa Indonesia di Bonn yang melepas kepergian kami, tapi di Cairo tak dinyana kami bak bertemu dengan sanak keluarga di kampung. Selain bertemu dengan Aang Anshari, Katib Syuriah PCINU Mesir, yang ternyata adalah saudara sepupuku dari Kuningan, dan banyak membantu segala persiapan kami menjelang ibadah haji, kami juga jadi berbesar hati karena keluarga alumni Cipasung, yang dikoordinir A. Maher Saleh, begitu hangat menyambut kami. Belum lagi
Pak Muhlashon dari Atdikbud KBRI yang memfasilitasi kami selama tinggal di Cairo, keluarga Pak Amin Samad yang sedemikian hangat bak ketemu dengan sahabat lama, Mawhiburrahman, santri Sukabumi yang jadi contact person pertamaku di Cairo, dan dengan setia menemani kami selama di Cairo, Oyi yang tak kenal lelah berada di belakang kemudi, Maria yang berkenan menyempatkan waktunya untuk menemani istriku meski lagi siap-siap ujian, dan tentunya tak lupa kawan-kawan mahasiswa Pengurus Wisma Nusantara yang ramah-ramah. Ah, pokoknya “di tengah kesulitan selalu ada kemudahan”. Aku pun segera lebih meluruskan niat, dan semuanya terasa semakin menjadi lebih ringan!

Malam semakin larut, malam itu kami dijadwalkan take off Cairo-Jeddah menggunakan pesawat Egypt Air jam 24.00. Ah, suasana di Bandara agak semrawut, aku dipingpong dari satu counter ke counter lain saat check-in, pesawatnya katanya akan delay 2 jam! Serba tidak jelas informasinya, apalagi aku tidak terlalu faham bahasa Arab pasaran. Untunglah, di tengah kesulitan itupun kami bertemu Taufal, mahasiswa Indonesia di Cairo yang juga hendak menunaikan ibadah haji dengan menggunakan pesawat yang sama. Ia pun dengan baik hati menemani kami wara wiri hingga beres naik pesawat. Terima kasih Taufal, terima kasih Ya Allah.

Ah, mungkin ini semua hikmah dari meluruskan niat! Ya, pada saat-saat seperti ini Dia terasa begitu dekat, aku pun segera semakin meluruskan niat, terutama saat pesawat memasuki batas miqat, niat semata memenuhi panggilan-Nya, niat semata "bersilaturahmi" dengan-Nya. Kami pun mengucapkan niat ihram untuk haji tamattu’: “labbayka allahumma ‘umratan”, ya Allah kami sekeluarga memenuhi panggilanmu untuk berumrah…


Salajengna......

January 4, 2008

Haji (1): Haji Tanpa “Seremonial”

Lazimnya, jamaah Indonesia yang mau berangkat haji akan disibukkan dengan berbagai ‘seremonial’, baik sebelum maupun menjelang hari keberangkatannya, mulai dari walimatussafar, tasyakuran, terima tamu, dan akhirnya acara pelepasan.

Selain menyita waktu dan tenaga, tentu saja semua rangkaian acara itu membutuhkan alokasi dana tersendiri, sehingga kalau “dijumlah-jambleh”, biaya yang perlu dikeluarkan oleh seorang calon jamaah haji Indonesia akan melebihi biaya resmi yang dibayarkan (biaya resmi haji per orang tahun 2007 adalah Rp. 27 juta)!

Ini belum termasuk biaya belanja ‘pernak-pernik’ berbau haji, seperti tasbeh, sajadah, dan lain-lain untuk dibagikan sebagai oleh-oleh, tidak peduli belinya di Makkah atau di Tanah Abang. Ada nilai sosial di situ memang, tapi celakanya orang seringkali memaksakan diri untuk bisa menjadi 'sosial' itu.

Lain lagi dengan cerita keberangkatan haji kami sekeluarga, tidak ada famili yang berbondong-bondong mengantar sampai naik kendaraan, hanya ada Mas Adam yang menemaniku membawa dua buah koper dari rumah dan mengaminiku saat aku menggumamkan doa perjalanan, Mas Widianto yang menunggu di Stasiun Kereta, keduanya mahasiswa di Jerman, dan Pak Hosi yang mengawal kami di Bandara. Namun, di tengah kesepian itu kami merasakan ketulusan, meski tak kuasa air mata pun sedikit menetes di pipi.

Ya, hari itu kami berlima berangkat dari Bonn dengan niat untuk menunaikan ibadah haji. Tak terbayangkan memang bahwa akhirnya niat kami ziarah ke Tanah Suci akan kesampaian. Maklum, bertumpuk masalah teknis yang agak mengganjal, meski akhirnya semuanya dapat kami lalui. Kami beruntung bahwa Konsulat Haji di Jeddah berkenan mengundang kami berlima, sehingga aku tidak perlu mengeluarkan ‘biaya normal’ haji yang tentunya terlalu besar jika ditanggung sendiri. Labbaikallahumma labbaik, labbaika la sharika laka labbaik, innalhamda wanni’mata laka walmulk, la sharika lak...


Salajengna......

January 2, 2008

Kini, Ajengan Telah Tiada

Aku tertegun saat mendengar pengeras suara di Tenda Masjid di Arafah mengumumkan bahwa K.H. Ilyas Ruhyat telah berpulang ke rahmatullah, inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Ya, saat itu aku dan keluarga memang sedang mengikuti wukuf di Arafah yang menjadi rangkaian utama ibadah haji. Suara di Masjid itu pun mengumumkan bahwa segera akan dilaksanakan shalat gaib bersama selepas shalat Magrib berjamaah.

Persis lima hari sebelumnya, aku berkumpul bersama sejumlah alumni Pesantren Cipasung yang sedang melanjutkan studi di Cairo, salah satunya adalah A Maher Sholeh, keponakan dari Almarhum sendiri. Saat itu kami menerima berita bahwa kondisi Ajengan menurun drastis, sehingga kami pun menyempatkan berdoa bersama untuk kebaikan Ajengan. Kini, jelas sudah, kiranya kembali ke Haribaan-Nya merupakan hal terbaik yang Dia Kehendaki, setelah sekian lama Ajengan bergelut dengan sakitnya.

Tahun 1984, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Pesantren Cipasung, mengikuti jejak kakak-kakakku sebelumnya. Sejak itulah aku mengenal Ajengan Ilyas sebagai sosok yang sering disebut orang sebagai santun, sederhana, kalem, dan penuh kharisma. Meski hanya ikut-ikutan, tapi aku relatif sering mengikuti pengajian bandongan yang diasuh oleh Ajengan. Saya bilang ikut-ikutan karena sebetulnya santri yang ikut 'kelas' Ajengan adalah santri senior, dan kitab yang dipelajari pun bukan lagi kitab-kitab dasar. Tapi karena sifat pengajiannya terbuka, aku pun sering menyempatkan duduk mendengarkan suaranya yang datar, pelan, anca, dan penuh kharisma.

Dalam beberapa kesempatan, aku menyempatkan sowan ke rumah Ajengan, dan Ajengan selalu menanyakan kabar Ayahku di Kuningan, kiranya Ajengan sangat pandai menjaga dan memelihara hubungan emosional dengan santri dan keluarganya, sehingga kami merasa diasuh dan diperhatikan.

Seperti umumnya terjadi pada ulama-ulama kharismatik di pesantren, sosok Ajengan Ilyas juga tidak lepas dari cerita-cerita 'luar biasa' berkaitan dengan keilmuannya. Salah satu yang sering aku dengar saat di Pesantren adalah bahwa sewaktu Abah Ruhyat masih memimpin Pesantren Cipasung, sebetulnya Ajengan Ilyas tidak terlalu cakap menguasai kitab-kitab kuning khas pesantren, bahkan sekolah pun konon hanya sampai Tingkat SD. Tapi, menjelang Abah Ruhyat wafat, Ajengan Ilyas mewarisi keulamaan Ayahnya dengan cara yang 'tidak lazim dan luar biasa'. Sejak saat itulah, Ajengan Ilyas 'menjelma' menjadi sosok pimpinan Pesantren yang disegani, dihormati, dan penuh dengan kharisma.

Terlepas dari benar dan tidaknya cerita itu, aku bersyukur karena sempat merasakan kedalaman pengetahuannya, dan mendengarkan sejuk suaranya.

Kini, suara itu telah tiada...tapi banyak santrinya akan tetap mengenang jasa-jasanya, dan bahkan bangsa ini berhutang budi padanya, berkat aktivitas, silaturahmi, serta kontribusinya bagi sesama. Anakku, tengoklah Ajengan! jadilah seperti Ajengan, yang ditangisi saat berpulang!

Aku pun memohonkan ampun untuknya di Padang Arafah, allahummagfir lahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu....dan aku mengulangi sekali lagi takbir dalam shalat ghaib untuknya saat memuji Sang Pencipta di Masjid Nabawi, di samping Makam Sang Nabi Saw....selamat jalan, semoga Dia menerimamu di sapming-Nya, dan semoga kita semua bisa mewarisi kesahajaanmu, Ajengan!






Salajengna......