skip to main |
skip to sidebar
Sambil santap malam, di sela-sela tugas sebagai Ketua Tim Satgas Penanggulangan Dampak Gempa, Tsunami, dan Likuefaksi Sulawesi Tengah dari Kementerian Agama RI, saya mendengarkan dengan saksama penuturan Bu Ratna, Kasubbag Umum Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Tengah, tentang Nurul Istikharah, penyintas gempa, tsunami dan likuefaksi, siswi Kelas X MIA 3 MAN 1 Kota Palu.
Dikisahkannya bahwa Nurul, remaja malang berusia 15 tahun ini tak pernah membayangkan akan kehilangan kedua kakinya saat ia masih ingin menggapai cita-cita, sukses belajar demi memperbaiki kehidupan ekonomi keluarganya.
Ibunya, Risni, yang sehari-harinya bekerja menjaja makanan di warung Kejari Palu, bersama adik satu-satunya, Fauziah, harus ia relakan meregang nyawa di pelukannya, sementara ia sendiri terendam pasir lumpur selama 52 jam hingga hampir menutupi lehernya, akibat gempa, tsunami, yang disusul likuefaksi pada 28 September 2018 lalu.
Beruntung, ayahnya, Muhammad Yusuf, menemukannya saat ia dalam kondisi kritis itu. "Mengapa kamu tidak terus lari menyelamatkan diri, nak?," kira-kira seperti itu tanya sang Ayah sambil memeluk separuh tubuh bagian atas putrinya, dan tak henti menangis.
"Aku kembali untuk menyelamatkan ibu dan adik, Pak," suara Nurul nyaris berbisik. Ia malah terjepit bersama ibu dan adik yang ingin diselamatkannya.
Siswi madrasah yang jelita ini tetap memeluk ibu dan adiknya meski keduanya tak pernah menunjukkan tanda-tanda kehidupan lagi.
Selama 3 hari selepas bencana yang memporak-porandakan Palu, Sigi, dan Donggala itu, tidak ada yang bisa dilakukan sang Ayah karena kedua kaki Nurul terjepit besi beton bangunan yang menggulungnya. Yusuf hanya dapat membantu meletakkan selang di mulut putri sulungnya seraya berharap ada mukjizat menyelamatkannya.
Saya sungguh tidak dapat membayangkan, seperti apa fikiran, obrolan dan tangisan Nurul dan ayahnya selama 3 hari tanpa listrik dan suplai makanan itu.
Beruntunglah kemudian Tim Basarnas berhasil menemukan mereka, meski kedua kaki Nurul terlanjur remuk, berdarah, dan akhirnya membusuk, sehingga tindakan amputansi kedua kakinya terpaksa dilakukan di Makassar.
Itulah Nurul, siswi madrasah yang kini tinggal di Pasang Kayu, Sulawesi Barat, tapi siang itu (Senin, 19/11) sengaja dibawa menggunakan kursi roda ke MAN 1 Kota Palu, karena mendengar akan ada Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, yang berkunjung ke sekolahnya.
Nurul menempuh perjalanan darat 3 jam untuk sampai ke lokasi. Ia hanya bisa duduk pasrah di kursi rodanya. Selepas Menteri Agama memberikan motivasi kepada semua hadirin, Ayah Nurul pun menggendong kursi roda yang didudukinya itu untuk diajak bertemu dengan 'Ayahnya' di Kementerian Agama, yang dengan penuh lembut dan kasih sayang menyapa serta memberinya santunan atas nama ASN Kemenag se-Indonesia yang berada dalam tanggung jawabnya.
Merasa sangat tersentuh atas perjuangan hidup Nurul, Menteri Agama secara khusus memberikan tambahan tali asih yang ia kirimkan langsung kepada rekening Pak Yusuf.
Saya pun berusaha menyeka air mata, sambil tetap mensyukuri hidangan malam di Kota Palu. Semoga kasih sayang Pak Lukman, dan kita semua, dapat memberikan secercah harapan bagi Nurul, dan bagi para penyintas lainnya, untuk tetap semangat, bangkit menatap masa depan.
Teriring doa. Aamiin.
No comments:
Post a Comment