Judul:
Dari Pesantren untuk
Dunia:
Kisah-kisah Inspiratif Kaum Santri
Editor: Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat
Penerbit: Prenada Media
Group, 2016.
==========
Aku juga tidak pernah
membayangkan kalau suatu saat akan mendapat kesempatan menginjakkan kaki di
beberapa kota besar di sejumlah Negara, mulai dari Paris, Belanda, Amsterdam,
London, Oxford, Austria, dan Belgia di Eropa, Mesir di Afrika, Tanah Suci di
Makkah dan Madinah, hingga Osaka, Nara, Kyoto, dan bahkan mengecap posisi
prestisius sebagai visiting professor di Research Institute
for Languages and Cultures of Asia and Africa (ILCAA), Tokyo University of
Foreign Studies (TUFS), Tokyo Jepang pada September 2012 hingga Juli 2013
lalu.
Ini
melengkapi nikmat lain yang pernah aku terima sebagai Gastwissenschaftler dari
the Alexander von Humboldt Stiftung, sebuah Yayasan terkemuka dan bergengsi di
Jerman, untuk melakukan riset di Orientalisches Seminar der Universität zu Köln
pada 2006 hingga 2008, dan dari the Chevening Fellowship untuk shortcourse di
Oxford Centre for Islamic Studies (OXCIS) dua tahun setelahnya. Sungguh
benar-benar di luar ekspektasiku!
Dulu, ketika
pertama kali mau nyobain naik pesawat saja, rasanya heboh
banget! Saat itu tahun 1999, ketika aku diundang oleh kawan-kawan di
Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat untuk mendiskusikan buku pertama
karanganku, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh
Abad ke 17; Aku masih ingat, betapa ngebetnya aku kepengen duduk
di dekat jendela pesawat terbang agar aku bisa melihat-lihat pemandangan di
luar pesawat….yah, maklumlah aku ini si Encep yang orang kampung!
Tahun 1989....
Dengan mengucap basmallah dan bekal uang secukupnya, aku pun berangkat ke Ibukota. Tentu saja niat utamanya kuliah, tapi ternyata jalan yang harus aku tempuh tidak semulus yang dibayangkan. Beruntung aku punya Kakak sepupu, A Ihin dan Ceu Adah, yang tinggal di Jakarta, tepatnya di Sukabumi Udik Kebayoran Lama, meski masih ngontrak saja...aku berhutang budi sekali atas kebaikan mereka berdua yang untuk pertama kalinya memberikan tumpangan. Aku sering bertukar pikiran dengan A Ihin dan Ceu Adah tentang rencana kuliahku, selain kami juga sering bertukar ilmu, A Ihin mengajariku bermain gitar, dan sebagai imbalannya aku diminta mengajarinya Kitab Alfiyyah, tentang tatabahasa Arab tingkat tinggi...A Ihin saat itu memang seorang seniman yang kental nuansa Islamnya, skripsinya saja tentang musikalisasi Al-Quran...
Cuplikan Dongeng si Encep:
Tahun 1987...
Aku pun tidak jadi kuliah, malah dimasukkan ke pesantren
salaf (pesantren tanpa jenjang pendidikan formal, saat itu) Baitul Hikmah, yang terletak
di perbukitan Haurkuning, Salopa, Tasikmalaya. Jadilah aku santri ”murni” mulai
pertengahan tahun 1987. Pesantren Haurkuning ini terkenal dengan kekhususannya
mengajarkan ilmu tatabahasa Arab (nahwu saraf). Pimpinan Pesantrennya,
K.H. Saefuddin Zuhri, yang akrab dipanggil Akang, mewajibkan santri-santrinya
untuk menghafal kitab-kitab nahwu saraf seperti al-Ajurumiyyah, Kailani,
Nazm al-Maqsud, hingga yang tertinggi, Alfiyyah ibn Malik. Kalau
ada yang dianggap melanggar, hukumannya adalah direndam di kolam samping
masjid, aku pun sempat mengalami rendaman air kolam itu, lumayan bikin malu,
meski hanya satu kali...
Tahun 1989....
Dengan mengucap basmallah dan bekal uang secukupnya, aku pun berangkat ke Ibukota. Tentu saja niat utamanya kuliah, tapi ternyata jalan yang harus aku tempuh tidak semulus yang dibayangkan. Beruntung aku punya Kakak sepupu, A Ihin dan Ceu Adah, yang tinggal di Jakarta, tepatnya di Sukabumi Udik Kebayoran Lama, meski masih ngontrak saja...aku berhutang budi sekali atas kebaikan mereka berdua yang untuk pertama kalinya memberikan tumpangan. Aku sering bertukar pikiran dengan A Ihin dan Ceu Adah tentang rencana kuliahku, selain kami juga sering bertukar ilmu, A Ihin mengajariku bermain gitar, dan sebagai imbalannya aku diminta mengajarinya Kitab Alfiyyah, tentang tatabahasa Arab tingkat tinggi...A Ihin saat itu memang seorang seniman yang kental nuansa Islamnya, skripsinya saja tentang musikalisasi Al-Quran...
Aku tentu saja
tidak mungkin hanya ucang-ucang angge di rumah A Ihin dan Ceu
Adah. Aku harus mencari penghasilan sendiri. Tapi seperti yang sering orang
bilang, :...Jakarta memang kejam, siapa suruh datang ke Ibukota! Tidak
mudah mencari uang di Jakarta, aku pun nekat melakukan apa saja, ”...asal
halal...”, pikirku! Dengan bekal gendongan rokok pinjaman dari A Ihin, setiap
hari aku berjalan kaki menyusuri jalan Kebayoran Lama sampai Tanah Abang sambil
berteriak: ”...rokok...rokok...permen....”. Begitulah, aku menjadi pedagang
asongan demi mencari ”sesuap nasi”.
Aku jalani
”profesi” itu dalam beberapa bulan...aku masih ingat, seringkali pagi hari Ceu
Adah mengantar kepergianku dengan tetes air mata haru, ”...duh, bertahun-tahun
mesantren kok malah jadi pedagang asongan, sabar aja yah, insya
Allah suatu saat akan lebih baik...” begitu kira-kira Ceu Adah sering
menasihatiku...aku pun sering menangis dalam hati, ”...kalau cuma akan menjadi
penjaja rokok, kenapa harus capek-capek belajar di pesantren...?” begitu
keluhku. Aku benar-benar tidak pernah bermimpi bahwa kelak, dua puluh tahunan
lebih kemudian, si pedagang asongan itu bisa menjadi seorang Guru Besar.
Subhanallah!
Dengan
menjadi pedagang asongan, aku punya penghasilan sendiri, mau tahu berapa?
Setiap hari aku berhasil mengumpulkan uang rata-rata Rp. 10.000,- atau paling
banyak Rp 15.000,-, tapi karena modalnya milik Kakakku, penghasilan bersihku
hanya 15%, jadi sekitar Rp 1.500,- saja setiap harinya. Pelan-pelan aku simpan
uang itu di tabungan, tentu saja tidak disimpan di Bank, karena terlalu kecil,
Ceu Adah lah yang mengatur dan menyimpannya. Atas saran A Ihin, untuk menambah
penghasilan, aku pun menjajakan permen ke warung-warung di sekitar tempat
tinggal, aku simpan beberapa bungkus, minggu berikutnya aku tengok lagi, dan
pemilik warung membayar permen yang terjual...lumayan juga, yang penting aku
bisa berbangga karena punya penghasilan sendiri...
----------
Cerita
selengkapnya, silahkan membaca buku tersebut. Semoga memberikan inspirasi untuk
para santri, bahwa kesuksesan tidak selalu paralel dengan tingkat kesejahteraan
ekonomi, dan bahwa dunia Pesantren sangat potensial memberikan kontribusi besar
buat bangsa ini. Salam dari si Encep!
No comments:
Post a Comment