January 2, 2008

Kini, Ajengan Telah Tiada

Aku tertegun saat mendengar pengeras suara di Tenda Masjid di Arafah mengumumkan bahwa K.H. Ilyas Ruhyat telah berpulang ke rahmatullah, inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Ya, saat itu aku dan keluarga memang sedang mengikuti wukuf di Arafah yang menjadi rangkaian utama ibadah haji. Suara di Masjid itu pun mengumumkan bahwa segera akan dilaksanakan shalat gaib bersama selepas shalat Magrib berjamaah.

Persis lima hari sebelumnya, aku berkumpul bersama sejumlah alumni Pesantren Cipasung yang sedang melanjutkan studi di Cairo, salah satunya adalah A Maher Sholeh, keponakan dari Almarhum sendiri. Saat itu kami menerima berita bahwa kondisi Ajengan menurun drastis, sehingga kami pun menyempatkan berdoa bersama untuk kebaikan Ajengan. Kini, jelas sudah, kiranya kembali ke Haribaan-Nya merupakan hal terbaik yang Dia Kehendaki, setelah sekian lama Ajengan bergelut dengan sakitnya.

Tahun 1984, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Pesantren Cipasung, mengikuti jejak kakak-kakakku sebelumnya. Sejak itulah aku mengenal Ajengan Ilyas sebagai sosok yang sering disebut orang sebagai santun, sederhana, kalem, dan penuh kharisma. Meski hanya ikut-ikutan, tapi aku relatif sering mengikuti pengajian bandongan yang diasuh oleh Ajengan. Saya bilang ikut-ikutan karena sebetulnya santri yang ikut 'kelas' Ajengan adalah santri senior, dan kitab yang dipelajari pun bukan lagi kitab-kitab dasar. Tapi karena sifat pengajiannya terbuka, aku pun sering menyempatkan duduk mendengarkan suaranya yang datar, pelan, anca, dan penuh kharisma.

Dalam beberapa kesempatan, aku menyempatkan sowan ke rumah Ajengan, dan Ajengan selalu menanyakan kabar Ayahku di Kuningan, kiranya Ajengan sangat pandai menjaga dan memelihara hubungan emosional dengan santri dan keluarganya, sehingga kami merasa diasuh dan diperhatikan.

Seperti umumnya terjadi pada ulama-ulama kharismatik di pesantren, sosok Ajengan Ilyas juga tidak lepas dari cerita-cerita 'luar biasa' berkaitan dengan keilmuannya. Salah satu yang sering aku dengar saat di Pesantren adalah bahwa sewaktu Abah Ruhyat masih memimpin Pesantren Cipasung, sebetulnya Ajengan Ilyas tidak terlalu cakap menguasai kitab-kitab kuning khas pesantren, bahkan sekolah pun konon hanya sampai Tingkat SD. Tapi, menjelang Abah Ruhyat wafat, Ajengan Ilyas mewarisi keulamaan Ayahnya dengan cara yang 'tidak lazim dan luar biasa'. Sejak saat itulah, Ajengan Ilyas 'menjelma' menjadi sosok pimpinan Pesantren yang disegani, dihormati, dan penuh dengan kharisma.

Terlepas dari benar dan tidaknya cerita itu, aku bersyukur karena sempat merasakan kedalaman pengetahuannya, dan mendengarkan sejuk suaranya.

Kini, suara itu telah tiada...tapi banyak santrinya akan tetap mengenang jasa-jasanya, dan bahkan bangsa ini berhutang budi padanya, berkat aktivitas, silaturahmi, serta kontribusinya bagi sesama. Anakku, tengoklah Ajengan! jadilah seperti Ajengan, yang ditangisi saat berpulang!

Aku pun memohonkan ampun untuknya di Padang Arafah, allahummagfir lahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu....dan aku mengulangi sekali lagi takbir dalam shalat ghaib untuknya saat memuji Sang Pencipta di Masjid Nabawi, di samping Makam Sang Nabi Saw....selamat jalan, semoga Dia menerimamu di sapming-Nya, dan semoga kita semua bisa mewarisi kesahajaanmu, Ajengan!






No comments: