April 20, 2008

Masalah Ahmadiyyah dan Kebebasan Keyakinan

Oleh: Ruzbihan Hamazani

Sumber tulisan:
Blog Minhaj Al-Aqilin

Masalah yang dihadapi oleh jamaah Ahmadiyah di Indonesia saat ini bukan semata-mata masalah sekte kecil yang disesatkan oleh banyak kelompok Islam itu. Ini bukan sekedar apakah kita setuju Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, benar-benar nabi “baru” atau tidak. Masalah Ahmadiyah menyangkut soal yang jauh lebih besar dan mendasar, yakni kebebasan agama dan keyakinan.

Saat ini, tuntutan pembubaran Ahmadiyah berkumandang di beberapa kota. “Aktor (non)intelektual” yang berada di balik gerakan ini adalah orang-orang dan kelompok yang sama yang sudah sering kita dengar: Abdurrahman Assegaf, Kholil Ridlwan, Sobri Lubis, Al-Khattat, FPI, HTI, MMI, FUI, dll. Ancaman terhadap warga Ahamadiyah juga meningkat di banyak tempat. Sulit ditolak, bahwa MUI, secara tak langsung, berada di balik gejala peningkatan kekerasan ini. Pada 29 Juni 2005, MUI mengeluarkan sebelas fatwa, antara lain fatwa yang mengharamkan ajaran Ahmadiyah. Fatwa ini seperti memberi justifikasi tak langsung terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras yang selama ini mengancam secara fisik jamaah Ahmadiyah. Pihak MUI memang selalu menolak keras jika dianggap bertanggungjawab atas kekerasan itu. Tetapi bahwa MUI tidak melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencegah kekerasan itu, sebaliknya hanya melemparkan tanggungjawab kepada pihak kepolisian, adalah tanda yang sangat jelas bahwa lembaga ini memberi “stempel tak langsung” terhadap kekerasan tersebut.

Baru-baru ini, rapat Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (selanjutnya: Badan Pengawas) memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah sekte sesat, dan menyarankan agar diterbitkan Surat Keputusan Bersama untuk melarang kegiatan sekte ini di Indonesia. Salah satu pihak yang ikut dalam rapat Badan Pengawas itu adalah Departemen Agama. Dalam hal ini, saya menduga, Depag-lah yang paling berperan penting dalam memutuskan Ahmadiyah sebagai sekte sesat. Peserta lain dalam rapat tersebut, seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian dalam Negeri, tampaknya kurang mempunyai otoritas dalam masalah yang menyangkut kepercayaan orang Islam ini. Satu-satunya kemungkinan yang paling masuk akal adalah Depag. Bukan tak mustahil, pendapat Depag dipengaruhi, antara lain, oleh fatwa MUI. Jika ini benar, maka pengaruh fatwa MUI sangat besar sekali dalam membentuk kebijakan pemerintah mengenai masalah agama (baca: Islam).

Bagaimana kita menyikai perkembangan masalah Ahmadiyah ini?

Sekali lagi harus ditegaskan bahwa masalah Ahmadiyah ini bukan melulu soal sebuah sekte kecil, tetapi menyangkut masalah yang lebih besar, yakni kebebasan beragama dan keyakinan yang dijamin konstitusi negeri kita. Ini adalah jaminan yang berlaku untuk seluruh warga negara. Keyakinan, apalagi menyangkut iman yang sangat pribadi, tidak bisa dipaksakan oleh siapapun. Negara juga tidak bisa memaksakan keyakinan tertentu kepada penduduknya. Selama suatu keyakinan tidak menimbulkan akibat yang melanggar hukum negara, maka negara wajib memberikan perlindungan kepada pemeluk keyakinan itu, tak peduli apakah keyakinan itu dianggap benar atau sesat oleh kelompok tertentu.

Prinsip ini perlu ditegaskan terus-menerus, sebab di tengah merebaknya konservatisme agama saat ini, banyak orang lupa bahwa Indonesia bukan milik golongan tertentu, bukan pula monopoli sekte agama tertentu. Indonesia adalah milik semua golongan dan kelompok yang hidup di negeri ini. Jika suatu kelompok agama menganggap ajaran kelompok lain sesat, maka negara tak boleh ikut campur dengan memihak salah satu golongan. Jika negara memihak kelompok yang anti-Ahmadiyah, lalu melarang kegiatan sekte ini sama sekali, maka pelan-pelan Indonesia sudah menjadi negara semi-teokrasi, atau sekurang-kurangnya semi-agama, berlawanan dengan watak dasar negeri kita sebagai negara nasional berdasarkan Pancasila dan konstitusi. Negara Indonesia memang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana dalam sila pertama Pancasila. Tetapi negara Indonesia tidak memihak salah satu keyakinan, mazhab, atau tafsir tertentu terhadap suatu agama.

Dengan kata lain, menghadapi keragaman keyakinan dalam masyarakat, negara harus netral. Perbedaan penafsiran dalam agama adalah hal biasa. Dalam perbedaan itu, tidak jarang satu kelompok menyesatkan yang lain. Itu semua adalah gejala yang lumrah pada semua agama. Masalah sesat-menyesatkan bukan hanya ada pada Islam. Dalam Kristen, hal itu juga ada, meskipun istilah yang dipakai mungkin berbeda. Di mata banyak gereja-geraja arus-utama di Indonesia, sekte-sekte seperti Saksi Jehovah, misalnya, dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Kristen “ortodoks”.

Begitu pula, di mata sebagian kalangan Islam, praktek ziarah kubur, misalnya, dianggap sebagai tindakan khurafat dan syirik. Kita semua tahu, syirik adalah dosa terbesar dalam Islam, mungkin malah lebih besar dari sekedar beranggapan bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad. Sementara itu, salah satu golongan Islam yang melestarikan tradisi ziarah kubur adalah Nahdlatul Ulama. Apakah pemerintah akan melarang kegiatan NU karena dianggap “sesat” oleh kelompok Islam lain gara-gara mengamalkan praktek syirik ini?

Di mata umat Islam, agama Kristen jelas mengandung doktrin yang mengarah kepada syirik, misalnya trinitas. Dengan memakai standar doktrin Islam, jelas Kristen dan sejumlah agama lain adalah agama sesat. Apakah dengan demikian pemerintah akan melarang kegiatan agama-agama itu?

Kalau pihak Badan Pengawas ingin melarang Ahmadiyah karena alasan sesatnya sekte tersebut, maka banyak sekte, golongan dan mazhab yang harus dilarang di Indonesia, termasuk Nahdlatul Ulama. Tentu, pemerintah tak akan bertinda konyol seperti itu, lalu melarang seenaknya semua sekte yang dianggap “sesat”. Jika ini terjadi, Indonesia sudah berbalik 180 derajat menjadi negara agama yang melakukan inkwisisi atau pengadilan keyakinan seperti dalam sejarah Eropa pada zaman kegelapan dulu.

Hal lain yang perlu dipersoalkan adalah: atas alasan apa suatu sekte dianggap sesat? Sudah tentu, sesat tidaknya suatu sekte atau golongan biasanya ditentukan oleh kelompok yang dominan. Karena sekte dominan di Indonesia adalah Sunni, maka keyakinan Ahmadiyah dianggap sesat. Tetapi, belum tentu pendapat umat Islam mengenai hal ini sama. Saya yakin, tidak semua kelompok-kelompok Islam di Indonesia menganggap Ahmadiyah sebagai sesat. Keputusan Badan Pengawas untuk menganggap JAI (Jamaah Ahmadiyah Indonesia) sebagai kelompok sesat jelas didasarkan pada pendapat sekte dominan dalam Islam yang diwakili oleh MUI. Tetapi, MUI tidak bisa dianggap mewakili aspirasi seluruh umat Islam Indonesia.

Taruhlah bahwa Ahmadiyah memang “sesat” dalam kaca-mata doktrin Sunni yang dipeluk oleh sebagian besar umat Islam. So what? Seperti sudah saya katakan sebelumnya, kelompok yang dianggap sesat dalam Islam banyak sekali. Masing-masing kelompok sudah biasa menyesatkan kelompok lain. Apakah dengan demikian negara akan turun tangan untuk melarang kelompok-kelompok itu?

Masalah Ahmadiyah ini biarlah menjadi urusan rumah tangga umat Islam sendiri. Biarlah umat Islam berdiskusi terus hingga kiamat soal doktrin finalitas kenabian Muhammad itu. Setiap agama selalu memiliki sejumlah “isu panas” yang selalu mereka diskusikan dalam zaman ke zaman. Negara sebagai lembaga publik yang netral tidak selayaknya mencampuri urusan rumah tangga agama itu.

Sungguh menyedihkan bahwa pejabat tinggi negara seperti Menteri Agama, anggota DPR, dan para pejabat yang ikut dalam rapat Badan Pengawas itu tidak mengerti prinsip yang sederhana ini. Kalau Menteri Agama sebagai pribadi punya pandangan bahwa Ahmadiyah adalah sekte sesat, silahkan saja. Tetapi dia tidak bisa memakai aparat negara untuk melarang sekte sesat itu. Begitu juga, jika ada anggota DPR secara pribadi memiliki keyakinan yang sama, itu hak dia sepenuhnya. Tetapi dia tak bisa memakai jabatannya sebagai anggota lembaga publik (baca: parlemen) untuk mempengaruhi kebijakan publik yang berakibat pada perampasan kebebasan dasar warga negara, dhi. kebebasan berkeyakinan.

Keyakinan adalah hal yang sangat pribadi dan mendasar dalam kehidupan manusia. Seseorang yang dihalangi untuk menjalankan keyakinannya akan mengalami situasi yang serupa dengan orang yang dihalangi dari hak miliknya. Dalam kedua situasi itu, orang tersebut mengalami perampasan dari harga dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Tugas pokok negara adalah melindungi setiap keyakinan, sebab hanya dengan begitulah warga negara bisa hidup sebagai manusia yang bermartabat.

Sungguh menggelikan anjuran Menteri Agama, sebagian anggota parlemen, dan tokoh-tokoh Islam lain agar warga Ahmadiyah meninggalkan keyakinannya dan “kembali ke jalan yang benar”, yakni mengikuti keyakinan kaum Sunni. Anjuran seperti ini sama saja dengan menganjurkan kepada umat Kristen agar masuk Islam saja, sebab agama Kristen adalah sesat.

Seseorang tentu mempunyai kebebasan yang penuh untuk memeluk keyakinan yang ia anggap pas untuk dirinya dan “selera intelektual”-nya. Tak selayaknya keyakinan orang itu dihakimi berdasarkan standar keyakinan orang lain. Negara juga tak boleh turut campur dalam masalah yang sifatnya sangat pribadi itu.

Kita berharap pemerintah tetap konsisten menjalankan konstitusi, melindungi kebebasan keyakinan bagi siapapun tanpa pandang bulu. Kita juga berhadap, Surat Keputusan Bersama untuk melarang kegiatan Ahmadiyah sebagaimana direkomendasikan oleh pihak Badan Pengawas itu tidak menjadi kenyataan. Kita juga berharap pemerintah bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras yang menimbulkan keonaran dengan mengancam keselamatan fisik jamaah Ahmadiyah itu.

Last but not least, Islam sendiri mempunyai prinsip yang tegas: tidak ada paksaan dalam agama, tentu juga dalam keyakinan secara umum. Jaminan konstitusi kita terhadap kebebasan beragama dan keyakinan bukan saja sesuai dengan prinsip universal hak asasi manusia, tetapi juga dengan ajaran Islam.

Al-haqqu min rabbika fa la takunanna min al-mumtarin.

Wa ‘l-Lahu a’lam bi al-shawab.

2 comments:

Anonymous said...

Assalamu 'alaikum.
Pak. Encep. Saya setuju dengan tulisan ini. Saya pikir kalo keadaan seperti ini terus dibiarkan akan menyebabkan kehancuran pada kebudayaan Indonesia secara nyata. Yang saya lihat ialah bahwa gerakan seperti ini berupaya bukan untuk menegakkan kebenaran tetapi untuk memaksakan kehendak atas nama Agama. Sedih sekali banyak para pemimpin kita yang tidak melihat hal seperti ini dengan jeli dan jernih. Mereka tidak sadar bahwa kalau hal seperti ini dibiarkan maka suatu saat akan meminta korban dari sanak keluarga mereka sendiri. Mereka tidak sadar bahwa gerakan seperti ini bukanlah suatu gerakan sporadis yang kebetulan saja terjadi namun merupakan suatu gerakan yang sama yang telah terjadi dibelahan negara yang memiliki jumlah penganut Islam yang besar. Saudara-saudara kita tidak menyadari bahwa mereka telah digunakan sebagai pion dalam memecah belah bangsa ini. Mereka dicekoki pemahaman-pemahaman yang menjadikan mereka tega untuk menghancurkan saudara mereka sendiri sebangsa dan setanah air. Pikiran mereka dipermainkan begitu rupa sampai mereka menganggap wajib untuk melakukan kekerasan, kekacauan demi kedamaian yang ingin mereka capai. Mungkin kita semua perlu untuk mulai mendefinisikan atau mengartikan ulang kajian keagamaan kita yang berasal dari Al-Qur'an dan Al-Hadits. Kita harus menyadarkan banyak orang bahwa kekerasan bukanlah jalan untuk memecahkan masalah. Kekerasan hati bagi saya merupakan kekafiran yang sesungguhnya. Orang yang menjadi keras hatinya tidak akan dapat melihat segala sesuatu menjadi jernih. Pemahaman inilah yang harus kita perkenalkan kepada orang-orang di sekitar kita, bahwa bukan agama yang menyebabkan seseorang menjadi kafir tetapi kekerasan hati seorang manusialah yang disebut kafir. Ketika seseorang tidak bisa lagi menerima kebenaran dari orang lain maka orang itulah yang disebut kafir. Shadaqallahu Al Azhim.

Anonymous said...

Setuju, Mas. MUI Punya peran terhadap kekerasan ini