September 20, 2007

Persembahan buat Sayangku...

Aku ingin mempersembahkan tulisan ini khusus buat mantan pacarku (eitt..jangan mikir yang nggak-nggak dulu yah.., ini pacar yang terakhir kok!), yang kini tentu saja sangat setia berada di sampingku, Ida. Kenapa aku ingin menuliskan sebuah coretan?

Ceritanya, sejak awal Agustus lalu, Ida mengambil kursus bahasa Jerman di Goethe Institut, berangkat jam 08:00 pagi, sampai jam 13:30 an. Nah, sejak itu, hampir setiap pagi aku menemani si kecil, Jiddane, yang baru mau berumur 3 tahun pada 15 November nanti.

Dari situlah aku bisa merasakan, bagaimana tidak mudahnya ngemong anak yang masih balita, ya ngatur makannya, bersihin pipisnya, ganti pampersnya, dan menjaga ritme agar dia tidak bosan lalu menangis, maklumlah, tidak seperti kalau di Indonesia, di sini kebetulan tidak ada tetangga yang sama-sama punya anak kecil, jadi kami berdua bermain di rumah saja, sambil menunggu dua kakaknya pulang sekolah dan OGS sampai jam 16:00. Jujur saja, kadang aku dibuat gak sabar oleh ulahnya.

Untungnya jenis penelitianku tidak mengharuskan aku berada di satu tempat, seperti laboratorium atau kantor tertentu misalnya; aku bisa mengerjakan kewajiban pokokku untuk membaca, meneliti, dan menulis di mana saja, karena semua sumber primer yang berupa manuskrip ada dalam laptop mungilku, jadi aku tetep bisa 'bekerja' sambil ngemong Jiddane.

Nah, aku tiba-tiba membayangkan, istriku dulu mengandung ketiga anak kami selama masing-masingnya 9 bulan, lalu menyusui mereka, dan melakukan rutinitas ngemong anak seperti yang aku alami sekarang ini sejak kami dikaruniai anak pertama, Fadli, pada 1997! tentu kami melakukannya bersama, tapi aku akui porsi tanggung jawab istriku mungkin lebih dari 90% dalam hal ini, aku hanya nambahin aja. Belum lagi soal masak, satu hal yang sampai sekarang aku tidak bisa menggantikannya. Kalau ceplok telor sama bikin Indomie goreng sih gak masalah....!

Begitulah tanggungjawab berat istriku sebagai seorang ibu. Tidak heran kalau Nabi sampai tiga kali menegaskan bahwa orang yang paling patut kita hormati adalah ibu, baru setelah itu ayah. Konon, surga juga berada di bawah telapak kaki ibu, dalam pengertian restu ibu adalah kunci seorang anak mendapat rida Tuhan.

Dalam cerita rakyat, kita juga mengenal kisah tentang maling kundang yang mendapat petaka akibat durhaka kepada ibunya....jadi, dalam sudut pandang ini, posisi perempuan, dalam hal ini khususnya ibu, sungguh mendapat posisi yang sangat terhormat, bukan saja dalam pandangan agama, tapi juga budaya kita.

Aku kini juga suka bertanya-tanya sendiri, mengapa dalam sejumlah literatur keagamaan istri sepertinya dinomor duakan? dalam sebuah kitab misalnya dijelaskan bahwa istri tidak punya hak untuk menengok ayahnya yang sakit sekalipun kalau tidak mendapat izin suami, atau seorang istri akan dilaknat oleh malaikat sepanjang malam jika menolak untuk diajak berhubungan oleh suaminya. Ah, aku yakin itu pasti karena pengaruh budaya partriarkis yang sedemikian kuat. Kita memang perlu menyegarkan kembali pemahaman keagamaan kita.

Aku hanya berharap dan berdoa, semoga istriku memberikan restunya bukan hanya buat anak-anak kita, tapi juga untukku, karena aku sadar betul tidak akan bisa menapak karir seperti yang aku peroleh sekarang ini kalau kau tidak secara ikhlas mendampingiku....., apalagi aku mungkin belum bisa membuatmu bahagia sepenuhnya...

Cup sayangku buatmu....

2 comments:

Anonymous said...

Ida beruntung sekali kamu!,
selain mendapatkan suami yg sukses, lebih dari itu memiliki pengertian yg luar biasa dan keihlasan yg mendalam. Tidak banyak seorang suami yg hidup ditengah-tengah budaya patriarki yg tidak memanfaatkan kondisi tersebut untuk memperkokoh posisi ke"suami"anya. Sangat sedikit menemukan seorang suami yg punya kesadaran dan kemauan untuk memposisikan dirinya pada posisi yg sama dengan istrinya.

marufamir@yahoo.com
Melbourne

Anonymous said...

Halo Amir, apakah ini Amir yang saya kenal di Ciputat? terima kasih banyak atas empatinya, saya yakin anda dan keluarga juga bahagia di sana. Salam