Sekitar Jam 04.00 dinihari, 14 Desember 2007 atau 4 Zulhijjah 1428, pesawat Egypt Air yang kami tunggangi mendarat di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Alhamdulillah! Kami resmi memulai ibadah haji sejak niat ihram di miqat tadi. Gema talbiyah menggema di antara para jamaah selama kurang lebih 5 menit kami berada di Bus menuju ruang tunggu.
Entah hanya di ruang tunggu yang kami tempati atau di keseluruhan bagian Bandara ini, yang jelas aku lihat fasilitas ruangannya terlalu sederhana untuk ukuran sebuah Bandara Internasional. Ah, aku tidak ingin terlalu memikirkannya!
Tiba-tiba, seorang pria berjas perlente mendekati kami, jelas dia seorang Indonesia. “Pak Oman, yah?” sapanya. Rupanya dia adalah Pak Kafrawi, Staf Protokol Haji yang diutus oleh Pak Nursamad untuk menjemput kami dan mengurus segala urusan ‘tetek bengek’ supaya bisa keluar dari Bandara.
“Wah, keluar dari sini tidak mudah, Mas! Harus ada yang ngurus”, kata Pak Kafrawi kepada kawan baruku, Taufal, yang kelihatan sedang sibuk berusaha menghubungi kawannya yang mungkin diharapkan akan membantu di Bandara.
“Wah, kalau begitu beruntung sekali kami ini”, pikirku, “pasti kami bisa keluar dari Bandara lebih cepat dan lebih lancar dari yang lain, yang mengurus kan staf khusus dari Kantor Kedutaan”.
Aku sempat menyesal karena tidak bisa meminta Pak Kafrawi ikut membantu Taufal supaya bisa bersama-sama kami segera menyelesaikan urusan keimigrasian dan lain-lain. Laki-laki muda berjas ini memang tampak agak bergegas, dan setelah bercakap-cakap dengan petugas setempat, ia segera mengajak kami keluar dari ruang tunggu, sementara aku lihat semua jamaah lain belum ada yang bergerak, “wah, istimewa sekali kami ini”, begitu yang terbersit dalam benakku saat itu.
Tapi, entah karena aku menyimpan perasaan terlalu ‘membusungkan dada’ saat mau menghadap-Nya ini, atau karena memang ada masalah keimigrasian, atau mungkin kedua-duanya, yang jelas kami berlima nyatanya tidak bisa keluar dari Bandara lebih duluan dari Taufal, bahkan ketika ruangan yang aku tinggalkan tadi telah kosong sekalipun, kami masih ‘nyangkut’ di pintu pemeriksaan passport dan visa. Entahlah, aku juga tidak bisa mengetahui persisnya apa yang terjadi karena selama berjam-jam Pak Kafrawi tidak kelihatan. Belakangan, ia cerita bahwa memang ada sedikit masalah dengan kelengkapan visa, selain juga karena sifat haji saya yang personal, sehingga ia harus pontang-panting kesana kemari mengurusnya. Ah, terima kasih banyak Pak!
Walhasil, mulai jam 4 dinihari sampai jam 8 pagi, kami terpaksa harus berdiri di batas pintu keluar ruang tunggu, sehingga kami harus minta izin ke petugas jaga untuk menunaikan shalat Shubuh bergantian. Dan ketika Pak kafrawi telah menyelesaikan kelengkapan yang dimaksud serta bisa membawa kami keluar dari pintu pertama pun, ternyata kami masih harus menunggu lebih dari satu jam berikutnya. Di tempat transit jamaah Haji Indonesia akhirnya kami tak kuasa lagi menahan kantuk, meski aku harus merem-melek mengusir lalat-lalat yang berusaha mengganggu tidur istri dan anak-anakku. Sampai akhirnya Aiman, supir kendaraan yang ditugaskan untuk menemani kami selama menunaikan ibadah haji, tiba dan membawa kami menuju Mekkah al-Mukarramah.
Ah, mungkin perasaan takabbur itu seharusnya tidak terbersit dalam benakku! astagfirullah... Tapi apapun penyebab semua ini, aku berusaha meluruskan niat saja dan mencoba lebih meyakini bahwa menunaikan ibadah haji memang perlu bekal niat yang suci, lurus, dan belajar untuk tidak takabbur atau terlalu membusungkan dada atas pengalaman hidup yang kita jalani. “labbaik allahumma labbaik, labbaik la sharika laka labbaik”..
Artikel-artikel di blog ini bagus-bagus. Coba lebih dipopulerkan lagi di Lintasberita.com akan lebih berguna buat pembaca di seluruh tanah air. Dan kami juga telah memiliki plugin untuk Wordpress dengan installasi mudah. Salam!
ReplyDeletehttp://lintasberita.com/Lokal/Haji_3_Mungkin_Perasaan_itu_Seharusnya_Tidak_Ada/
Terima kasih banyak kawan atas apresiasi dan sarannya, nanti saya coba. Salam
ReplyDelete