Kesan Negeri ini sebagai hamparan padang pasir masih tampak sepanjang perjalanan kami dari Jeddah menuju Makkah pada 14 Desember 2008. Meski sejak sekolah di madrasah aku sudah membaca kisah tandusnya Negeri tempat lahirnya agama yang dibawa Nabi Muhammad ini, tapi sungguh berbeda dengan melihat dan merasakannya secara langsung. Beruntung musim haji tahun ini jatuh pada ‘musim dingin’, sehingga suhu udara tidak terlalu menyengat sampai 45 derajat, meski tetep saja panas untuk ukuran musim dingin di Eropa tempat kami tinggal sejak 2006 lalu, yah.., sekitar 23-27 derajat lah!
Berkali-kali aku mengingatkan istri dan ketiga putraku untuk bersyukur, “masa kecil Ayah dulu tidak seberuntung kalian sekarang”, bisikku sambil mengingat-ingat masa kecil saat aku selalu harus berbagi, atau bahkan berebut, sepotong telor bersama saudara-saudaraku, maklum kami sembilan bersaudara. Jangankan pergi haji atau tinggal dan sekolah di luar negeri, pergi keluar kota saja baru aku alami saat mau masuk Madrasah Aliyah (setingkat SMU) di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Yaah, namanya juga si Encep yang cuma orang kampung! Semoga anak-anakku mengerti dan pengalaman ini menjadi motivasi untuk bisa lebih baik saat mereka dewasa nanti, amin.
Meski hamparan padang pasir menjadi pemandangan utama, tapi bukan berarti rumah dan gedung di Jeddah masih terbuat dari tenda; nyatanya bukit batu yang berdiri kokoh berdiri berdampingan dengan gedung-gedung baru yang mengesankan metropolis. Ya, seperti sebuah paduan klasik dan modern!
“Nama saya Aiman, Pak! Saya ditugaskan oleh Pak Nursamad untuk menemani perjalanan Bapak sekeluarga selama di Tanah Suci”, sapa ramah sang supir memecahkan berbagai lamunan dan keasyikanku memandangi padang pasir sepanjang perjalanan menuju Makkah.
Konon, 25 tahun lalu, ketika berumur 4 tahun, Aiman, yang bekerja sebagai supir pribadi sebuah keluarga Arab, dibawa orang tuanya untuk tinggal di Makkah. Sejak saat itu, ia baru empat kali berkesempatan pulang kampung ke Banjarmasin di Kalimantar Barat. Kini, setiap musim haji ia menjadi tenaga musiman yang bertugas mengantar tamu-tamu tertentu, dan pada tahun ini kami sekeluargalah yang beruntung. Ia seorang profesional, bawaannya kalem, dan sikapnya pun sangat sopan. Meski sosoknya kecil tapi wataknya tegas; ia tak segan beradu mulut dengan orang Arab yang tinggi besar sekalipun jika merasa sikapnya benar. “Di sini tidak bisa bersikap lembek, Pak!”, ujarnya.
Kira-kira pukul 12.30 waktu setempat kami tiba di Kota Makkah. “Ah, ini rupanya kota Suci tempat Nabi Muhammad Saw. pertama kali menebarkan damai”, gumamku dalam hati. Meski sekarang ini, akibat ulah segelintir ‘oknum’ muslim yang salah kaprah, Islam sering dicitrakan sebagai penebar benih kekerasan, tapi aku percaya sepenuh hati bahwa misi utama Muhammad adalah jelas untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian bersama. Di sebuah sudut menjelang masuk ke Kota Makkah aku lihat tulisan ‘Muslim Only’. Hampir sama dengan Jeddah, lalu lintas di Makkah tergolong tertib, terutama jika dibandingkan dengan Cairo yang aku lihat sebelumnya.
Usai mengikuti shalat Jumat pertama di Kota Makkah, kami tiba di Wisma Haji I Aziziyah, tempat di mana kami akan menginap selama tinggal di Makkah. Setelah rundingan bersama istri, kami memutuskan untuk langsung melaksanakan umrah pada sore hari itu juga, supaya kami bisa segera berganti pakaian ihram dengan pakaian biasa, dan supaya kami punya waktu banyak jika masih ingin melaksanakan umrah sunnahnya.
Tapi rupanya kondisi fisik anak-anak, yang memang belum istirahat dengan semestinya sejak berangkat dari Cairo, tidak mau kompromi. Meski kami sudah berada di Masjidil Haram pada waktu ashar, dan bahkan Ka’bah sudah di depan mata, nyatanya anak-anakku pada cemberut saat diajak mulai tawaf; mata mereka masih terlihat kelelahan, selain juga tampak shock saat tiba-tiba berada di tengah jutaan manusia yang berdesak-desakan...”Ah, aku tidak boleh egois!” pikirku, “aku tidak pergi haji sendirian, jelas aku harus mempertimbangkan psikologi angota keluargaku”.
Akhirnya, aku memanggil kembali Aiman dan memintanya menjemput kami di terowongan tempat tadi kami datang. Ya, terowongan yang menghubungkan ke arah menuju pintu 5 Masjidil Haram. Kami pun memutuskan untuk istirahat total malam itu untuk menyiapkan energi buat besok pagi...
No comments:
Post a Comment