September 16, 2016

Riset dan Menulis: Pengalaman Pribadi (1)

ASAFAS, Kyoto University
Sulit melukiskan emosi yang meledak-ledak saat saya sudah menemukan alur ide yang akan ditulis, dengan tumpukan referensi primer dan sekunder yang siap kutip, lengkap dengan nomor-nomor halamannya, dan terutama dengan mutu informasi yang meyakinkan.

Luapan emosi semacam itu biasanya semakin menjadi-jadi saat saya memulai menulis paragraf pertama, bersambung ke paragraf kedua, ketiga, dan seterusnya. Alur ide dalam kepala sering melintas lebih cepat ketimbang sepuluh (kadang menggunakan ‘sebelas’) jari yang menari-nari di atas papan tombol (keyboard) komputer, sehingga saya seirngkali memanfaatkan aplikasi tertentu untuk menyimpan ide-ide yang berseliweran. Ini penting, biar gak lupa saat dibutuhkan.

Tapi, hal itu biasanya terjadi kalau tahap riset sudah masuk paruh kedua dari keseluruhan proses yang direncanakan. Pada paruh pertama, ada tahap paling krusial yang sangat menentukan bermutu atau tidaknya luaran (output) sebuah proses penelitian, yakni pertanyaan riset (research question) macam apa yang diajukan? argumen seperti apa pula yang akan dirumuskan?

Seorang mahasiswa/peneliti pemula terkadang salah kaprah merumuskan pertanyaan penelitian. Mereka lebih sering terjebak pada pilihan dan penggunaan ‘kata tanya’: apa, bagaimana, sejauhmana, mengapa, dan seterusnya, dengan melupakan akar masalahnya sendiri yang perlu dipecahkan melalui sebuah proses penelitian.

Biasanya, pertanyaan riset yang baik itu muncul sebagai akibat saja dari sikap penasaran dan keingintahuan lebih lanjut (curiosity) atas bacaan-bacaan yang dilahap oleh sang peneliti. Artinya, sebuah pertanyaan penelitian nyaris tidak mungkin ditemukan jika tidak ada proses membaca sebelumnya, dan mendialogkan satu bacaan dengan bacaan yang lain.

Ketika dialog bacaan terjadi, dan berbagai referensi yang saling terkait pun dapat dicarikan benang merahnya satu dengan yang lain, maka peta besar sebuah topik/persoalan akan kelihatan ibarat peta dunia di hadapan kita, apakah masih ada celah (gap) yang perlu diisi dalam topik yang dikaji itu, perlu dibantah, perlu disempurnakan, perlu didukung, atau sebetulnya sudah tidak ada peluang sama sekali, sehingga perlu membuat peta masalah baru?

Jika seorang peneliti merasa memiliki data baru yang belum hadir dalam peta masalah yang ada di hadapannya, dan ternyata belum disentuh oleh para sarjana sebelumnya, padahal data baru yang ia miliki itu diyakini dapat mengisi kekosongan, menyempurnakan kekurangan, atau bahkan memberikan kesimpulan yang berbeda, maka bingo! Dia baru saja menemukan sebuah amunisi research question yang baik.

Soal merumuskannya nanti dalam kalimat, apakah menggunakan kata: ‘apa’, ‘bagaimana’, ‘sejauhmana’, ‘mengapa’, atau lainnya, itu soal teknis belaka. Tanpa menggunakan salah satu kata tanya itupun, mutu pertanyaan penelitiannya tidak akan berkurang sedikitpun. Jadi, urutannya jangan dibalik! Sibuk memikirkan pilihan kata tanya, padahal isi pertanyaannya sendiri belum tentu merupakan sebuah masalah.

Ini biasanya terjadi kalau sang ‘peneliti’ (kali ini pakai tanda kutip!) sebetulnya tidak mau, bukan tidak bisa, melewati tahap membaca dan memetakan topik yang mau dikaji terlebih dahulu.

Saya paling enggan menjawab pertanyaan mahasiswa filologi tahap akhir: “Pak, ada manuskrip yang penting dikaji tidak untuk bahan penelitian saya?” Bagi saya, itu pertanyaan terbodoh [maaf] yang diajukan calon peneliti. Akar masalah penelitian tidak bisa muncul dari orang lain, harus dari diri sendiri. Orang lain hanya dapat diajak diskusi memetakan, menstimulus, atau mempertajam topik yang menjadi minat kajian kita. Pada akhirnya, sang peneliti sendiri yang harus memutuskan. Penting menurut orang lain belum tentu juga penting menurut kita.

Saya bisa memastikan bahwa pertanyaan macam di atas hanya mungkin diajukan oleh ‘peneliti’ yang malas, atau setidaknya kurang banyak, membaca, sehingga tidak mampu membuat peta masalah.

Sebaliknya, saya paling suka merespon pertanyaan mahasiswa semisal ini: “Pak, saya sudah membaca sumber bacaan yang direkomendasikan, lalu saya bandingkan dengan sumber lain yang saya peroleh. Menurut saya, kesimpulan kedua sarjana itu berbeda. Bagaimana menurut pandangan Bapak?” Biasanya, bekal bacaan sang mahasiswa yang cukup kaya itu menstimulus diskusi dua arah yang produktif, dan saya dengan senang hati melengkapi.

[Bersambung]

No comments:

Post a Comment