May 16, 2016

Berkeringat Membangun Distingsi Keilmuan: Dongeng si Encep

Judul: 
Dari Pesantren untuk Dunia: 
Kisah-kisah Inspiratif Kaum Santri

Editor: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Penerbit: Prenada Media Group, 2016.
==========

Aku juga tidak pernah membayangkan kalau suatu saat akan mendapat kesempatan menginjakkan kaki di beberapa kota besar di sejumlah Negara, mulai dari Paris, Belanda, Amsterdam, London, Oxford, Austria, dan Belgia di Eropa, Mesir di Afrika, Tanah Suci di Makkah dan Madinah, hingga Osaka, Nara, Kyoto, dan bahkan mengecap posisi prestisius sebagai visiting professor di Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa (ILCAA), Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), Tokyo Jepang pada September 2012 hingga Juli 2013 lalu. 
Ini melengkapi nikmat lain yang pernah aku terima sebagai Gastwissenschaftler dari the Alexander von Humboldt Stiftung, sebuah Yayasan terkemuka dan bergengsi di Jerman, untuk melakukan riset di Orientalisches Seminar der Universität zu Köln pada 2006 hingga 2008, dan dari the Chevening Fellowship untuk shortcourse di Oxford Centre for Islamic Studies (OXCIS) dua tahun setelahnya. Sungguh benar-benar di luar ekspektasiku!
Dulu, ketika pertama kali mau nyobain naik pesawat saja, rasanya heboh banget! Saat itu tahun 1999, ketika aku diundang oleh kawan-kawan di Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat untuk mendiskusikan buku pertama karanganku, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad ke 17; Aku masih ingat, betapa ngebetnya aku kepengen duduk di dekat jendela pesawat terbang agar aku bisa melihat-lihat pemandangan di luar pesawat….yah, maklumlah aku ini si Encep yang orang kampung! 


Cuplikan Dongeng si Encep:



Tahun 1987...
Aku pun tidak jadi kuliah, malah dimasukkan ke pesantren salaf (pesantren tanpa jenjang pendidikan formal, saat itu) Baitul Hikmah, yang terletak di perbukitan Haurkuning, Salopa, Tasikmalaya. Jadilah aku santri ”murni” mulai pertengahan tahun 1987. Pesantren Haurkuning ini terkenal dengan kekhususannya mengajarkan ilmu tatabahasa Arab (nahwu saraf). Pimpinan Pesantrennya, K.H. Saefuddin Zuhri, yang akrab dipanggil Akang, mewajibkan santri-santrinya untuk menghafal kitab-kitab nahwu saraf seperti al-Ajurumiyyah, Kailani, Nazm al-Maqsud, hingga yang tertinggi, Alfiyyah ibn Malik. Kalau ada yang dianggap melanggar, hukumannya adalah direndam di kolam samping masjid, aku pun sempat mengalami rendaman air kolam itu, lumayan bikin malu, meski hanya satu kali...

Tahun 1989....
Dengan mengucap basmallah dan bekal uang secukupnyaaku pun berangkat ke Ibukota. Tentu saja niat utamanya kuliah, tapi ternyata jalan yang harus aku tempuh tidak semulus yang dibayangkan. Beruntung aku punya Kakak sepupu, A Ihin dan Ceu Adah, yang tinggal di Jakarta, tepatnya di Sukabumi Udik Kebayoran Lama, meski masih ngontrak saja...aku berhutang budi sekali atas kebaikan mereka berdua yang untuk pertama kalinya memberikan tumpangan. Aku sering bertukar pikiran dengan A Ihin dan Ceu Adah tentang rencana kuliahku, selain kami juga sering bertukar ilmu, A Ihin mengajariku bermain gitar, dan sebagai imbalannya aku diminta mengajarinya Kitab Alfiyyah, tentang tatabahasa Arab tingkat tinggi...A Ihin saat itu memang seorang seniman yang kental nuansa Islamnya, skripsinya saja tentang musikalisasi Al-Quran...    
Aku tentu saja tidak mungkin hanya ucang-ucang angge di rumah A Ihin dan Ceu Adah. Aku harus mencari penghasilan sendiri. Tapi seperti yang sering orang bilang, :...Jakarta memang kejam, siapa suruh datang ke Ibukota! Tidak mudah mencari uang di Jakarta, aku pun nekat melakukan apa saja, ”...asal halal...”, pikirku! Dengan bekal gendongan rokok pinjaman dari A Ihin, setiap hari aku berjalan kaki menyusuri jalan Kebayoran Lama sampai Tanah Abang sambil berteriak: ”...rokok...rokok...permen....”. Begitulah, aku menjadi pedagang asongan demi mencari ”sesuap nasi”.
Aku jalani ”profesi” itu dalam beberapa bulan...aku masih ingat, seringkali pagi hari Ceu Adah mengantar kepergianku dengan tetes air mata haru, ”...duh, bertahun-tahun mesantren kok malah jadi pedagang asongan, sabar aja yah, insya Allah suatu saat akan lebih baik...” begitu kira-kira Ceu Adah sering menasihatiku...aku pun sering menangis dalam hati, ”...kalau cuma akan menjadi penjaja rokok, kenapa harus capek-capek belajar di pesantren...?” begitu keluhku. Aku benar-benar tidak pernah bermimpi bahwa kelak, dua puluh tahunan lebih kemudian, si pedagang asongan itu bisa menjadi seorang Guru Besar. Subhanallah!
Dengan menjadi pedagang asongan, aku punya penghasilan sendiri, mau tahu berapa? Setiap hari aku berhasil mengumpulkan uang rata-rata Rp. 10.000,- atau paling banyak Rp 15.000,-, tapi karena modalnya milik Kakakku, penghasilan bersihku hanya 15%, jadi sekitar Rp 1.500,- saja setiap harinya. Pelan-pelan aku simpan uang itu di tabungan, tentu saja tidak disimpan di Bank, karena terlalu kecil, Ceu Adah lah yang mengatur dan menyimpannya. Atas saran A Ihin, untuk menambah penghasilan, aku pun menjajakan permen ke warung-warung di sekitar tempat tinggal, aku simpan beberapa bungkus, minggu berikutnya aku tengok lagi, dan pemilik warung membayar permen yang terjual...lumayan juga, yang penting aku bisa berbangga karena punya penghasilan sendiri...
----------

Cerita selengkapnya, silahkan membaca buku tersebut. Semoga memberikan inspirasi untuk para santri, bahwa kesuksesan tidak selalu paralel dengan tingkat kesejahteraan ekonomi, dan bahwa dunia Pesantren sangat potensial memberikan kontribusi besar buat bangsa ini. Salam dari si Encep!

No comments:

Post a Comment