Ciputat, 18 Maret 2015
Nomor : Istimewa
Hal : Surat Terbuka untuk Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kepada Yth.
Bapak Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.
Cc.
Menteri Agama Republik Indonesia
Ketua Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ketua Senat Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Assalamu’alaikum wr. wb.
Bapak Rektor yang saya hormati,
Saya sudah menerima dan membaca Surat Keputusan (SK) pemberhentian saya sebagai Dekan FAH periode 2014-2018, yang Bapak tandatangani atas nama Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 145 Tahun 2015, tertanggal 9 Maret 2015.
Jujur saya sedih! Bukan karena saya kehilangan jabatan Dekan itu, tapi karena Bapak tidak menyapa saya satu “huruf” pun terkait pemberhentian itu, baik melaui SMS, email, telpon, apalagi sapaan langsung saat saya beberapa kali menemui dan menghadap Bapak, baik untuk keperluan dinas maupun pribadi, padahal saya mendapatkan amanah jabatan ini melalui cara terhormat, terpilih secara demokratis di Senat Fakultas pada 11 Maret 2014 lalu.
Tapi itu memang hak Bapak. Sepertinya Bapak memang sudah benar-benar tidak ingin menyapa saya terkait urusan itu, mungkin karena saya tiba-tiba menjadi “Dekan haram”, yang lahir dari Statuta UIN lama yang sudah diwafatkan keberlakuannya oleh Permenag No. 17 Tahun 2014.
Saya sepertinya juga harus mafhum, karena berdasarkan pengakuan-pengakuan pihak terkait, bukan hanya saya yang tidak disapa oleh Bapak, melainkan beberapa Dekan dan pejabat lain termasuk Direktur Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr. Azyumardi Azra yang sedemikian senior beserta jajarannya, bahkan merasa tersinggung karena tidak menerima pemberitahuan, baik melalui email, surat, telpon, atau sms, bahwa mereka akan diberhentikan, dan diganti oleh pejabat lain.
Entah Bapak tahu atau tidak, sejak awal pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Dekan, saya, dan beberapa dekan Fakultas serta Direktur Sekolah Pascasarjana sebagai pemegang otoritas manajemen di unit masing-masing tidak pernah diajak bicara sedetikpun oleh Pansel yang Bapak angkat itu. Pansel melakukan jalan pintas berkordinasi dengan wakil Dekan Bidang Administrasi Umum kami, beserta Ketua dan Sekretaris Senat Fakultas yang diangkat sebagai anggota Pansel. Sekali lagi, mungkin karena saya sudah dianggap “Dekan haram”, yang sudah diniatkan untuk dilengserkan.
Bapak Rektor,
Melalui surat ini, saya hanya ingin bertanya satu hal: bolehkah saya tahu, apa alasan pemberhentian saya? Saya yakin, informasi terkait alasan pemberhentian ini adalah bagian dari Informasi Publik, yang dilindungi oleh Undang-undang RI No. 14 Tahun 2008, karena jabatan Dekan adalah bagian dari Badan Publik, yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara, dan karenanya publik berhak tahu. Itu mengapa saya pun menulis surat ini secara terbuka, karena saya tidak sedang menyapa dengan Bapak secara pribadi.
Mengapa saya ingin bertanya, Pak? karena seusai dilantik pada 14 April 2014, dan sesuai dengan amanat dalam SK yang ditandatangani oleh Rektor atas nama Menteri Agama RI Nomor UN.01/R/HK.005/154/2014, saya telah mencanangkan tonggak capaian (milestone) Fakultas Adab dan Humaniora untuk masa jabatan 4 (empat) tahun ke depan dengan rumusan visi “Menuju e-Faculty Berbasis Riset dan Berkarakter Islam Nusantara”, dan dengan prioritas tahunan yang jelas serta terukur. Capaian tahun pertama (2014) sudah kami buktikan dan mendapat apresiasi dari keluarga besar civitas akademika FAH.
Bapak Rektor, hingga saya menulis surat ini, rumusan visi, milestone, prioritas tahunan, serta turunan semua program dan kegiatan di tahun kedua ini masih tertempel dalam ukuran besar di dinding lantai 5 FAH, agar seluruh civitas akademika faham, mau dibawa kemana Fakultas ini dalam empat tahun ke depan. Saya tidak tahu, akan berapa lama konsep pengembangan FAH itu tersosialisasi di sana, karena hal itu tergantung dari “selera” Dekan baru yang Bapak angkat.
Sekali-sekali, Bapak boleh mampir ke gedung kami. Sejak Agustus 2014 lalu, kantor FAH sudah menyatu dengan konsep Manajemen Satu Lantai, Pak, sehingga pelayanan ke dosen dan mahasiswa lebih efektif dan efisien. Sejak berdirinya gedung ini pada 2002, kantor Dekanat, TU, dan Prodi-prodi serta ruang lain terpisah-pisah di lantai-lantai yang berbeda. Ini bagian dari upaya kami meletakkan landasan bagi tonggak-tonggak capaian tahun-tahun berikutnya. Kami ingin FAH berwibawa, punya brand dan karakter yang jelas, agar UIN Jakarta berwibawa. Kami ingin mahasiswa, yang itu adalah anak-anak kami, juga bangga menjadi anak didik FAH.
Bapak Rektor, dengan pemberhentian dini ini, saya, para karyawan dan mahasiswa umumnya, merasa seperti orang yang baru seperempat jalan menikmati makan bersama keluarga, lalu tiba-tiba Bapak mengambil hidangan tersaji yang sudah sangat sesuai dengan selera kami, dan memaksa kami untuk menikmati hidangan dengan menu lain, padahal selera makan kami pun sudah hilang karenanya.
Andai Bapak tahu, saya beserta pimpinan lain, staf, karyawan dan mahasiswa FAH sudah benar-benar menjadi keluarga yang harmonis, yang bahu membahu bekerja keras untuk rumah kami sendiri, untuk Fakultas, untuk mahasiswa anak-anak kami, untuk UIN, bekerja di luar jam kantor tanpa selalu dihitung lembur. Hasilnya? saya tidak ingin cerita secara subyektif Pak, mungkin Bapak bisa membaca saja testimoni publik, khususnya mahasiswa sebagai user, di Twitter dengan harshtag #TerimaKasihPakOman, niscaya Bapak akan mengetahui, apa yang dirasakan oleh publik saat menu hidangan kami Bapak ganti.
Bapak Rektor yang saya hormati,
Mohon maaf, saya bukan tidak memahami bahwa penggantian ini merupakan hak prerogratif Bapak berdasarkan Statuta baru Pasal 46 (1), yang mengatakan bahwa: “Dekan diangkat dan diberhentikan oleh Rektor atas nama Menteri”. Saya juga faham, ayat (3) Pasal tersebut menjelaskan bahwa: “Masa jabatan Dekan mengikuti masa jabatan Rektor, dan dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak boleh lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut”.
Sayangnya, ayat (2) Pasal tersebut yang berbunyi: “Pengangkatan Dekan didasarkan pada potensi dan kemampuan calon untuk meningkatkan kinerja dan mutu Fakultas di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”, sepertinya Bapak abaikan, karena saya tidak pernah diuji publik, diuji kompetensi, atau diuji kinerja oleh Tim Bapak, dinilai, dan dibandingkan dengan nama lain yang Bapak terima. Saya langsung diganti saja oleh Dekan yang Bapak kehendaki, entah atas dasar pertimbangan apa.
Setahu saya, Dekan yang Bapak angkat bahkan belum pernah “memangku jabatan tambahan sebagai Wakil Rektor/Ketua Lembaga/Kepala Pusat/Wakil Dekan/Ketua Jurusan atau jabatan yang setara” seperti diamanahkan oleh Pasal 48 Statuta kita sendiri. Hal yang meloloskan yang bersangkutan dalam pertimbangan Senat Fakultas adalah karena menurut penjelasan LISAN staf Kepegawaian yang Bapak tugaskan untuk hadir dalam rapat senat tersebut, jabatan tambahan dimaksud bisa di dalam dan di luar Universitas, padahal, penjelasan itu tidak ada sama sekali untuk persyaratan calon Dekan, hanya berlaku untuk persyaratan calon Wakil Rektor seperti diatur dalam Pasal 31 ayat (f).
Interpretasi yang sungguh sangat dipaksakan. Pengalaman duduk sebagai salah satu Pusat Studi di Fakultas, yang sifatnya non-struktural dan lebih berupa “paguyuban ilmiah”, bahkan juga ditafsirkan sebagai jabatan tambahan, agar yang bersangkutan dapat dianggap memenuhi syarat: pernah menduduki jabatan serta lolos sebagai calon Dekan.
Mungkin suara Senat Fakultas kami juga “lemah”, terlalu “beradab” untuk berdebat kusir penafsiran ayat tentang syarat pernah menjabat itu. Atau mungkin sebagian dari anggota Senat kami sudah apatis, karena merupakan rahasia umum bahwa memang calon tertentu lah yang Bapak kehendaki. Apalagi, sehari sebelumnya (23/3), calon bersangkutan sudah menegaskan kepada saya, di ruang kerja saya waktu itu, bahwa tidak ada lagi posisi buatnya sebagai timses Bapak, selain menjadi Dekan di FAH.
Saya faham, ini memang dinamika politik, Pak. Tapi ini di kampus, institusi akademis, kami ingin politik yang lebih beradab.
Bapak Rektor yang saya hormati,
Periode jabatan Bapak memang baru mulai di tahun 2015 ini, sehingga atas nama statuta baru tersebut, masa jabatan para Dekan juga harus diperbaharui mengikuti masa jabatan Bapak. Sekali lagi Pak, bolehkah saya tahu, adakah alasan yang bisa saya fahami, mengapa Dekan yang baru menjabat 330 hari diberhentikan? sementara ada Dekan lain yang sudah menjabat hampir separuh periode, Bapak angkat kembali untuk 4 tahun ke depan?
Apakah kinerja saya seburuk dekan-dekan lain yang Bapak angkat kembali itu? Mohon maaf Pak, saya ingin tahu keburukan saya sendiri. Atau, apakah betul seperti yang menjadi gosip di luar bahwa pengangkatan tersebut semata karena faktor suka atau tidak suka? dan karena Bapak terikat dengan kesepakatan transaksi politik saat Pilrek? Saya berdoa tidak begitu.
Mengapa saya penasaran Pak? jujur bukan karena saya ingin mengambil alih kembali jabatan Dekan, karena ibarat hidangan makanan, selera makan saya juga sudah hilang. Ini semata karena, sependek pembacaan saya yang awam hukum, Pasal 52 Statuta kita mengatakan bahwa Dekan dan Wakil Dekan berhenti dari jabatannya karena: (a) telah berakhir masa jabatannya; (b) pengunduran diri atas permintaan sendiri; (c) diangkat dalam jabatan lain; (d) meninggal dunia; (e) melakukan tindakan tercela; (f) sakit jasmani atau rohani terus menerus; (g) dikenakan hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (h) menjadi terdakwa dan/atau terpidana yang diancam pidana penjara; atau (i) cuti di luar tanggungan negara.
Saya tidak menemukan ayat tambahan dalam Pasal tersebut, bahwa saya bisa diberhentikan karena alasan tidak memberikan suara dalam pemilihan calon Rektor kepada seorang calon yang kemudian terpilih sebagai Rektor Universitas.
Bapak Rektor,
Kini, saya dan beberapa kawan di kampus ini gelisah, karena kewenangan penuh yang diamanahkan oleh statuta baru kita kepada Rektor untuk mengangkat pejabat perangkatnya, termasuk dekan-dekan, ketua-ketua lembaga, serta kepala-kepala pusat dan UPT sepertinya sudah dilaksanakan dengan mengenyampingkan semangat keterbukaan yang diamanahkan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kami gelisah dan khawatir, proses penggantian pejabat yang serba tertutup dan tidak aspiratif di kampus “pembaharu” ini malah bertentangan dengan semangat pengelolaan ASN seperti disebut dalam Pasal 1 (5) UU tersebut, yakni “untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Padahal, Pasal 108 UU ASN tersebut rasanya sudah terlalu gamblang menjelaskan bahwa pengisian jabatan Pimpinan di instansi Pemerintah seyogyanya “...dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
Saya cemburu Pak, saat instansi di bawah Kementerian lain menawarkan lelang jabatan secara terbuka, mekanisme pengangkatan pejabat publik di kampus kita tercinta malah sama sekali tertutup, sehingga menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu terjadi, seperti aksi unjuk rasa yang kemarin (Senin 17/3) terjadi melibatkan ratusan mahasiswa dan dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) itu, padahal, kita berada di bawah sebuah Kementerian yang sangat identik dengan nilai-nilai moral dan integritas yang luhur, serta berpegang teguh pada budaya timur.
Bapak Rektor yang saya hormati,
Mungkin Bapak akan sederhana bergumam: “ah, Oman kan protes karena sakit hati saja kehilangan jabatan”. Saya tidak bisa mengelak dari kesan itu Pak. Tapi, saya menulis surat terbuka ini atas dasar kepedulian terhadap masa depan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, yang sedang terus berusaha menggapai mimpi-mimpi sebagai kampus berwibawa menuju World Class Research University, serta kepedulian atas masa depan pendidikan moral dan integritas mahasiswa kita dalam bermasyarakat dan berpolitik kelak. Selama ini, saya bersama para wadek, pejabat Prodi, dan jajaran karyawan FAH sebagai ujung tombak Universitas sangat bergairah bekerja untuk mendukung merealisasikan mimpi-mimpi tersebut.
Akan tetapi, dalam hitungan hari, tiba-tiba saja kami apatis dengan diri kami sendiri. Kami terkaget-kaget karena di satu sisi katanya Bapak “mengocok ulang” jabatan Dekan karena ingin menegakkan statuta. Akan tetapi di sisi lain, ada beberapa kebijakan Bapak terkait restrukturisasi ini yang sepertinya tidak sesuai dengan ayat dan Pasal dalam statuta itu sendiri. Di situ kadang saya merasa sedih, Pak.
Saya, misalnya, tidak mengerti apa pertimbangan Bapak mengangkat para pejabat yang dari segi kepangkatan belum memenuhi syarat minimal yang telah ditetapkan statuta (Lektor), seperti Kepala Pusat Penelitian yang bahkan belum memiliki jabatan fungsional karena masih berstatus Tenaga Pengajar (TP) dua tingkat di bawah syarat minimal, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) serta Kepala UPT Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data yang keduanya masih berstatus Asisten Ahli , satu tingkat di bawah syarat minimal. Bahkan, Bapak pun berani melantik Sekretaris Satuan Pemeriksa Internal (SPI) dari kalangan non PNS, tidak seperti yang diamanahkan oleh Pasal 44 (a) statuta kita.
Apakah Bapak memiliki pemahaman dan penjelasan tersendiri terkait ayat-ayat tersebut? atau apakah Bapak tutup mata saja dengan harapan tidak ada civitas akademika yang mempersoalkannya? mohon maaf Pak, saya kok tidak bisa tidur nyenyak sebelum mendapat penjelasan yang bisa diterima oleh akal sehat.
Sebagai figur yang pernah menduduki jabatan tinggi sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Islam di Kementerian Agama, agak mengherankan mengapa Bapak berani mengambil langkah-langkah yang riskan secara administratif ini? apakah Bapak memutuskan sudah atas dasar informasi yang sedetil-detilnya dengan persiapan penjelasan yang belum saya fahami? ataukah ada pembisik-pembisik Bapak yang siap pasang badan lalu menyembunyikan fakta? Saya berdoa, semoga ini karena Bapak sedang khilaf saja.
Bapak Rektor,
Akhirnya, saya mohon maaf telah memberanikan diri menulis surat terbuka ini, karena saya merasa bahwa sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), kita semua terikat dengan Asas, Prinsip, Nilai Dasar, serta Kode Etik dan Kode Perilaku dalam Undang-undang ASN tersebut, yang salah satu Pasalnya (Bab II Pasal 2) menjelaskan bahwa “Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi, netralitas, akuntabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, nondiskriminatif, persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraan, dan kesejahteraan”, bukan atas dasar suka atau tidak suka, bukan juga atas dasar bagi-bagi jabatan kepada para loyalis kita.
Demikian, semoga Bapak berkenan menjelaskan.
Ciputat, 18 Maret 2015
Oman Fathurahman
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Twitter : @ofathurahman
Merinding saya membacanya Pak Oman (Guru Besar FAH). Semoga Allah membuka hati dan pikiran para pemimpin yg sepertinya tidak takut dengan Penciptanya.
ReplyDeleteSedikit mengutip potongan hadist, yg mungkin Bapak lebih paham, “Kelak akan datang di akhir zaman segolongan manusia, di mana wajah-wajah mereka adalah wajah manusia, namun hati mereka adalah hati syaitan; seperti serigala-serigala buas, tidak sedikit pun di hati mereka rasa belas kasihan. Mereka gemar menumpahkan darah dan tidak berhenti dari (melakukan) kekejian. Apabila kamu mengikuti mereka, maka mereka akan memperdaya kamu. Akan tetapi, apabila kamu menghindari mereka, maka mereka akan mencela kamu. Apabila berbicara dengan mereka, mereka akan membohongi kamu. Dan apabila kamu memeberinya kepercayaan, mereka akan mengkhianatinya. ....."
Allahu akbar.
Izin bantu sebar, Pak.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSemangat terus pak Oman.
ReplyDeleteKami selalu "stand behind you" di sini.
Luar Biasa. saya yg PNS aja baru tahu ada aturan2 itu.. tapi Alhamdulilah Pusat Perpustakaan tempat saya bertugas tidak mengalami masalah seperti lembaga-lembaga lainnya yg dituliskan Prof. Oman.
ReplyDeleteAllah tidak tdur pa
ReplyDeleteBiarkan allah yg menyadarkan orang-orang yg seperti itu
Sy sangat sedih karna sekarang politik di jadikan sebagai alat untuk mncapai kpentingn pribadi dan suatu kelompok
Yg akhirnya jeritan nestapa umat tak pernah di prdulikan
Innallaha maana
Smoga kebenaran segra di tgakkan
Salam FAHIM
Izin Share juga yaa Paakk.
ReplyDeleteSabar aja pak
ReplyDeleteAllah with us pak
ReplyDeleteatas nama mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora, saya perihatin dengan kebijakan rektor yang sepertinya tidak mengetahui intern di FAH. ini bukan saja berbicara dekan FAH saja yang diganti, Dekan FKIK, FSH, FDIkom pun ikut digantikan. memang bapak Rektor mempunyai hak preogratif, semestinya Rektor juga bisa menghormati demokrasi yang sudah kami bangun. ini merupakan suatu hal yang sangat prihatin bagi saya (mahasiswa). Selamat Bekerja Rektor baru Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. wujudkan UIN yang terintegritas keilmuan dan akhlakul karimah.
ReplyDeleteMaaf, kayaknya Dekan FDIKOM tidak diganti. Dekan FDIKOM masih tetap Pak Arif Subhan. Maaf, hanya info saja
DeleteIzin share pak Oman.
ReplyDeletespechless...
ReplyDeleteSemua Pasti Berlalu......
ReplyDeletekami menunggu surat terbuka selanjutnya.
ReplyDeletesemoga penjelasan dari bpk Rektor yg terhormat nanti bisa di terima akal sehat.
#TerimaKasihPakOman
tetap semangat ya pak!!
Luar biasa pa.. berani mengungkapkan secara tertulis...
ReplyDeleteLuar biasa pa... berani untuk mengungkapkan secara tertulis
ReplyDeleteDalam waktu singkat, surat ini sudah tersebar dan terbaca diranah kampus UIN JAKARTA dan masyarakat umum, semoga pertanyaan bapak dalam surat ini bisa segera terjawab langsung oleh rektor baru UIN JAKARTA secara transparasi open public. God bless us prof.
ReplyDeleteHirup ngan ukur heheuy jeung dedeuh, syukuri hirup nalika heheuy atanapi bunga ngarah kabungah anteng ngancik dina hate. Jeung deuih tarimakeun hirup nalika dedeuh atawa susah bari di barengan ku kasabaran ngarah pinuh ku hikmah anu bisa di jadikeun pelajaran
ReplyDeleteTetep semangat bapak.. kita selalu merindukan bapak.
ReplyDeleteSaya ikut prihatin pak. Saya kira harus ada upaya hukum sistematis untuk mengganti pasal hak perogratif Rektor yang rawan disalahgunakan (abuse) secara subyektif oleh oknum Rektor di manapun. Semua dosen PTKIN harus bersatu memperjuangkan uji materil PMA tsb ke MK atau MA. Kalau idak ini kontraproduktif krn bertentangan dengan nalar akademik n peningkatan mutu PTKIN, n potensi kisruh sangat besar di PTKIN se-Indonesia. Pembusukan dari dalam!
ReplyDeleteOh sungguh menyedihkan kebijakan yg memakakai kaca mata kuda. Tidak demikratis dan rusak ini kampus
ReplyDeletePa Oman.... terimakasih telah menuliskan ini. Walaupun saya bukan alumni FAH, tapi Bapak adalah salah satu role model saya untuk terus berkontribusi di bidnag pendidikan. #TerimakasihPakOman :') :')
ReplyDeletePak Oman... :'(
ReplyDeleteMohon izin share prof
ReplyDeleteNga demokratis dan mengarah kepada egaliter
ReplyDeleteHidup Kang Oman. Maju terus, pantang mundur. Tegakkan keadilan...
ReplyDeleteMaju terus Pak Oman.... #SavePakOman.
ReplyDeleteINI KOMEN TEMAN-TEMAN UIN RADEN FATAH
ReplyDeleteBUKTI DOMINASI REKTOR DI STATUTA UIN, Mundah-mudah bisa diambil hikmah dan pelajaran dari kasus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Baca SURAT TERBUKA OMAN FATURRAHMAN. SEMOGA BERMANFAAT.http://encepkuningan.blogspot.com/…/surat-terbuka-untuk-rek…
ucang-ucang angge: Surat Terbuka untuk Rektor UIN Jakarta
This is my personal weblog, you may find here my personal experiences, my special interests, my beloved family, and not-so serious writings about daily life...
ENCEPKUNINGAN.BLOGSPOT.IN
Batal Suka · · Bagikan
Dilihat oleh 22
Anda, Elhefni, Febriyanti Fabillah, Ismail Sukardi, dan 3 orang lainnya menyukai ini.
Maimunah Manaf Apa yg terjadi di msa lalu sbg pembeljaran masa kini , dan masa akan dtg.
7 jam · Suka
Syukri Shahab Saya sendiri pernah mengalami seperti yang mirip Kasus kang Prof Oman, dilembaga kita yang tercinta ini, cuma tidak seberat kasus Kang Prof Oman ini . Pada saat kita sedang dalam masa jabatan, dan sedang semangat-semangatnya untuk melakukan inovasi...Lihat Selengkapnya
6 jam · Telah disunting · Suka · 1
Peny Cahaya Azwari Pengalaman yg bs menjadi pelajaran berharga buat semua.Kesadaran moral dan etika menjadi barang langka dan bukan sesuatu yg perlu dilakukan yg terdengar seperti sepele namum memberi dampak luar biasa...
a"
5 jam · Suka
Ismail Sukardi Bahaya itu...kontraproduktif! Dosen PTKIN se-Indonesia harus bersatu! Mari lakukan uji materil ke MK atau MA thd pasal hak prerogratif rektor di PMA itu...
5 jam · Batal Suka · 2
Afriantoni Al Falembani bisa jadi diuji, smoga ada jalan keluar
5 jam · Batal Suka · 1
Rusdi Zubir Kebijakan yang tidak bijak jauh dari nuansa islami.
1 jam · Suka
Mar Johan Didunia, aturan itu utk kepentingan penguasa yg membuatnya.
11 menit · Suka
Irham Falahudin Bencoolen Judicial review...bos...
sabar pak.
ReplyDelete#terimakasihpakoman
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBerjuang tidak mesti dibangku Dekanat Pak.. Yu sma2 ikhlas membangun pendidikan Islam Pak.. saya mundur satu langkah dari simpatisan bapak lantaran bapak tulis surat terbuka begini. Jangan sampai surat yg bapak buat dan d publikasi ini justru membuat penghambatan dan menjadikan perpecahan. sadar atau tidak, secara langsung surat ini sudah menjadi hal yang propokativ.. kalo di Dzolimi tak harus mendzolimi toh. itu kan pesan bapak dulu.. semangat terus ya Pak. Kami sangat apresiasi dan bangga terhadap bapak
ReplyDelete#terimakasihpakoman
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletepak oman lebay...cengeng...sentimentil....jabatan bukan segala2nya...berjuang gak mesti jadi dekan....
ReplyDeleteDibaca dulu, itu bukan masalah jabatan, tetapi masalah otoritas yang tidak digunakan dengan semestinya. Pemimpin itu uswah, dan seharusnya bisa merangkul semua kalangan dengan cara yang baik, dan perilaku yang baik. Semoga kejadian seperti ini tidak terulang di kampus manapun.
DeleteDibaca dulu, itu bukan masalah jabatan, tetapi masalah otoritas yang tidak digunakan dengan semestinya. Pemimpin itu uswah, dan seharusnya bisa merangkul semua kalangan dengan cara yang baik, dan perilaku yang baik. Semoga kejadian seperti ini tidak terulang di kampus manapun.
Deletesurat Bapak memberi inspirasi untuk menyampaikan yang benar walau mungkin pahit yg akan diterima. kemungkinan besar di PTAIN yang lain juga memiliki kasus yang mirip seperti kasus Bapak.
ReplyDeletesangat setuju dgn pernyataan bapak bahwa politik di kampus hendaklah politik yg beradab. mg kampus saya di Banjarmasin memiliki nuansa politik yg beradab yg Bapak maksud.amin
De'ileh.. Bgitu amat y pa rektor... Ganti lg aj ap ya tum riki....
ReplyDeleteSemangat sambil nunggu jawaban... :)
ReplyDeleteSungguh luar biasa upaya Prof Oman dalam mencari penerangan dan penjelasan atas birokrasi dan politik kampus. Tiada kata yg tepat untuk menyampaikan apresiasi dan simpati saya atas, maaf saya katakan, "musibah" yang menimpa bapak, kecuali dukungan doa. Semoga bapak diberi kekuatan dan tidak pernah lelah berupaya hingga final. Salam dari dosen Hukum Tata Negara Fak. Syariah UIN MALIKI MALANG ...
ReplyDeleteKeren Pak !!!
ReplyDeleteSuarakan terus ya pak agar politik kampus kita tetap beretika dan bermoral. #SavePakOman
Keren Prof. Lanjutkan!
ReplyDeletecoba diajukan aja ke PTUN pak Oman.
ReplyDeleteKeterbukaan. Masih jauh.
ReplyDeleteSegenap Pengurus dan anggota KMSGD JABODETABEK mendukung upaya Prof Oman Fathurrahman untuk meminta kejelasan terkait keputusan rektor tersebut.
ReplyDeleteTertanda KMSGD JABODETABEK.
Saya bukan anak FAH tetapi saya pernah bekerja dengan Pak Oman. Beliau seorang pemimpin yang benar2 ingin mewujudkan apa yang telah direncanakan. Saya sungguh kagum dengan Pak Oman dan Saya yakin Pak Oman akan membawa perubahan . Bukan untuk FAH saja, tetapi juga untuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga Pak Rektor segera merespon surat terbuka ini.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete