March 15, 2008

Haji (5): Umrah Pertama itu...

Azan Zuhur terdengar bergema di setiap sudut Masjidil Haram, sesaat setelah aku dan Ida menyelesaikan putaran terakhir Sa'i di Bukit Marwah. Lega rasanya bisa berada di dekat Baitullah, membisikkan semua hasrat dalam hati kepada-Nya, memenuhi seruan-Nya untuk bersujud di samping makam Ibrahim as, dan melepas dahaga dengan seteguk air zamzam. Ya, hari itu, Sabtu 15 Desember 2007/6 Zulhijjah 1428, kami berdua baru saja menyelesaikan Umrah pertama yang menjadi salah satu rukun haji Tamattu'.

Ah, kini aku tahu di mana lokasi yang nyaman dan memungkinkan untuk tawaf atau sai bersama anak-anak esok hari; pertama kali aku akan ajak mereka mengelilingi Kabah di lantai paling atas Masjidil Haram. Selain tidak berdesak-desakan, dari tempat ini mereka juga bisa melihat pemandangan menarik bagaimana jutaan orang menyemut melaksanakan tawaf di sekeliling Kabah. Dengan begitu, semoga anak-anak tidak cepat bosan dengan aktivitasnya. Yaah, namanya anak-anak, ibadah pun harus dibungkus dengan hiburan, apalagi mereka kan belum akil balig!

Selepas shalat zuhur pertama di Masjidil Haram itu, aku dan Ida pun menuju Masfalah, tempat penginapan Mas Yus, di mana anak-anak dititipkan. Selalu tidak mudah mencari lokasi di tempat baru yang masih asing. Meski sudah mencoba mengikuti petunjuk dari Mas Yus, plus bertanya ke petugas keamanan di jalanan, nyatanya kami berdua malah mengambil jalur memutar yang tidak lazim karena harus jalan kaki melewati terowongan. Sudah letih rasanya kaki ini, ketika kami tiba di depan sebuah warung bertuliskan Bakso Mang Udin! Wah, ini dia Bakso yang terkenal itu, pikirku, kami bisa mencicipinya sambil bertanya alamat pemondokan Mas Yus yang belum juga ketemu itu.

Begitulah, ternyata Masfalah 8 itu persis terletak di seberang Warung Mang Udin ini. Cuma, ternyata pula belakangan aku baru tahu bahwa Bakso Mang Udin yang satu ini bukan yang tersohor ceritanya itu, karena 'yang asli' adanya di samping Masjidil Haram dengan nama Bakso Mang Oedin..., beda “U” dengan “Oe”, ah!





March 5, 2008

Mejeng Foto di Schmap Bonn...

Semuanya berawal dari Kang Ahya, sahabat sekampung yang pernah tinggal di Muenchen, tapi kini pulang kampung ke Indonesia. Ia yang mengajariku trik dan tips menggunakan kamera SLR digital Canon EOS 350D yang aku beli beberapa saat sebelum berangkat ke Jerman. Dengan bahasa yang sederhana, Kang Ahya memberikan resep fotografi untuk menghasilkan sebuah gambar yang baik. Nuhun, Kang!

Sejak saat itulah aku menyukai seni fotografi, meski tentunya hanya sebagai sampingan belaka. Setiap ada objek menarik, aku mencoba mengambil gambarnya, klik klik klik...

Dan, kini salah satu hasil jepretanku dengan objek Alexander Koenig Museum di Bonn ternyata memikat Redaksi Schmap Bonn, sebuah situs yang menyediakan informasi ratusan tujuan wisata di Amerika, Eropa, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.

Emma Williams, sang Managing Editor, meminta dan telah menjadikan salah satu jepretanku itu sebagai salah satu ilustrasi Schmap Guides Edisi Keempat bulan Februari 2008. Yah, tentu ini juga berkat teknologi internet yang memungkinkan kita menyimpan foto-foto digital, melalui Flickr, misalnya, sehingga lebih mudah dinikmati oleh jutaan pengguna internet.

Jerman, dan Eropa secara keseluruhan, memang merupakan objek fotografi yang keindahannya seperti tak akan pernah habis. Bangunan-bangunan tua bersejarah yang berusia ratusan tahun masih banyak yang berdiri dengan kokoh dan megahnya di berbagai kota yang aku kunjungi bersama keluarga. Dengan sendirinya, koleksi foto keluarga kami pun sudah memenuhi hampir separuh external disk berkapasitas 500 Giga.

Perkembangan teknologi kamera digital memang telah mendorong munculnya fotografer-fotografer amatiran yang 'secara tak sengaja' terkadang menghasilkan sebuah gambar yang tidak kalah mutunya dari hasil jepretan seorang profesional. Tinggal klik, klik, klik, tanpa perlu memikirkan berapa rol film yang kita habiskan, jadilah sebuah gambar.

Jadi, tunggu apa lagi, klik aja....!



March 3, 2008

Winter Kedua di Bonn...

Bonn sebetulnya termasuk salah satu kota di Jerman yang udaranya tergolong hangat, setidaknya kalau dibanding kota-kota lainnya di sebelah Selatan. Sejak kami tinggal di bekas ibukota Jerman Barat ini, suhu terendah di Bonn 'hanya' 0 derajat di siang hari atau minus 5 kalau malam.

Salju di Bonn juga sangat 'pelit', winter tahun lalu hanya sekali turun salju, itupun butiran-butiran kecil yang langsung lenyap dalam beberapa menit saja.

Winter sekarang juga sama saja, memang sih sampai Maret ini saljunya sudah turun dua kali, dan lebih lebat serta lumayan lama hingga membuat pohon, rumput, dan genting rumah berwarna putih. Tapi ya begitulah Bonn, tidak sampai 30 menit kemudian warna putih itu pun lenyap disemprot sinar matahari.

Saking jarangnya, saat salju yang sebetulnya cuma 'netes' ini turun, kami pun heboh mengabadikannya. Jiddane, si bungsu, menyebut salju itu sebagai hujan es batu...ya, dia memang suka sekali 'ngemil' es batu dari kulkas, jadi pas lihat salju yang warna dan bentuknya sama itu, ia pun segera 'mengenalinya'. Tahun lalu, saat kami naik ke puncak pegunungan Alpen di Zugspitse Austria, di mana terdapat salju abadi, Jiddane pun 'menyicipinya' bak es batu dari kulkas, padahal es itu habis diinjaknya sendiri. Ah, namanya juga bocah...

Tahun kedua ini kami tidak terlalu bernafsu menyambut musim dingin. Dulu, sebelum berangkat ke Jerman, kami memang sangat penasaran ingin tahu bagaimana rasanya hidup dalam suasana Winter, dan pada saatnya tiba, kami cenderung menikmati udara dingin yang terasa menusuk itu, maklum di Indonesia kan tidak ada, jadi belum biasa. Tapi, lama kelamaan terasa bahwa beraktifitas dalam suasana dingin ternyata tidak terlalu nyaman, kemana-mana harus pakai jaket tebal, kulit pun jadi pada kering.

Ternyata bukan kami saja sebagai orang asing yang tidak suka dengan musim dingin, karena nyatanya beberapa orang Eropa sendiri tidak menyukainya, cuma mereka tentu tidak punya pilihan, karena pergantian musim di setiap tempat adalah 'kehendak alam' atas Kuasa-Nya.

Kadang aku berfikir, Tuhan telah memberikan iklim yang terbaik buat Indonesia, sayangnya, seperti yang Awan, kawanku, pernah nyeletuk, Negeri ini masih sering dijuliki “Negeri seribu satu masalah”…Ahh masa sih!

----------
updated: beberapa hari setelah menulis coretan ini, hujan salju di Bonn turun selama 3 hari berturut-turut. Bonn pun sejenak memutih...Ilustrasi foto adalah bagian depan apartemen kami di Bonn, diambil pada 25 Maret 2008.