This is my personal weblog, you may find here my personal experiences, my special interests, my beloved family, and not-so serious writings about daily life...
January 26, 2007
Salju pertama di Bonn...
Akhirnya salju itu turun juga, setelah beberapa bulan menunggu. Kini, suhu udara di Bonn mencapai minus 5-7 derajat celcius. Inilah yang dicita-citakan anak-anakku sejak sebelum berangkat ke Jerman. Bahkan maunya mereka main salju, cuma sampai saat ini salju yang turun masih dikit-dikit, bahkan konon hari minggu lusa suhunya sudah akan kembali ke 0 derajat celcius.
Pernah juga sih main ski di atas es buatan, Fadli paling duluan bisa, maklum waktu di Indonesia sudah bisa main sepatu roda. Kalau Alif mah sama lah barengan aku, masih jatuh-jatuh terus....baru mulai bisa setelah hampir dua jam belajar, sayangnya waktu sewa sepatunya sudah habis, jadi belum berlanjut tuh main skinya.
Yang belum nyobain main tentunya Mamahnya, maklum Jiddane belum bisa ditinggal sendirian, jadi kita belum bisa main bersama... jadilah Mamahnya tukang foto, yang ngambil gambar ketika kami bercengkerama di atas es buatan.
Kesasar di Bus…
7 Juni 2006. Ini juga tentang pengalaman naik Bus! Masih di hari pertama aku mengikuti kursus bahasa Jerman di Goethe Institut Bonn. Kali ini aku sudah punya tiket Monatticket, alias tiket bulanan seharga 50 euro, yang belakangan ternyata terlalu mahal, karena aku sebetulnya bisa beli Junior Ticket seharga 12 euro saja...
Kalau waktu perginya aku salah bayar ongkos Bus, kali ini pas pulang di siang harinya giliran aku nyasar...! sebetulnya aku tidak keliru naik Bus, sesuai “petunjuk“ dari Goethe sendiri, naik 612 di halte Stadthalle.
Masalahnya aku belum eungeuh bahwa halte untuk arah pulang berada di sisi jalan yang lain, yang kebetulan berada di perempatan, sehingga agak teresmbunyi. Jadilah aku naik Bus ke arah yang aku tumpangi waktu pagi hari berangkat. Sebetulnya aku agak ragu, cuma, karena orang sini katanya banyak yang tidak bisa diajak ngomong bahasa Inggris, aku gak berani nanya, maklum pelajaran bahasa Jerman di hari pertama belum cukup buat nanya itu ini...
Dalam keraguan aku masih diam di Bus, “siapa tahu nanti juga lewat apartemenkua“, begitu pikirku. Aku perhatikan setiap bangunan yang dilewati, sambil mengingat-ingat jalan yang aku lewati tadi pagi. Ah.., ternyata jalannya benar-benar berbeda! Apalagi waktu tempuh sudah lebih dari 30 menit, padahal waktu pergi hanya 10 menit, dan aku belum juga melihat apartemenku.
Keraguanku semakin menjadi ketika satu persatu penumpang turun, sampai akhirnya Bus kosong sama sekali. Pengemudi pun kelihatan memandangiku lewat kaca spion dengan mimik keheranan. Dipandangi begitu, aku pun nekat aja turun. “aku mau nunggu bus yang lain aja biar gak terlalu malu sama supir itu“.
Entah di halte apa aku turun, lupa namanya, yang jelas aku berada di sebuah perumahan yang sangat sepi. 20 menit aku tunggu datangnya Bus...ah, akhirnya muncul juga! Tapi...tunggu dulu, ternyata lagi-lagi aku nunggu di sisi jalan yang salah, tempat aku turun tadi, terang saja Busnya tidak berhenti di sini, melainkan di halte sebrang sana. Aku berusaha lari, namun begitu aku lihat pengemudinya, ternyata itu Bus yang tadi aku tumpangi, aku pun membuang muka, malu rasanya sama itu supir. Rupanya Bus ini telah sampai di tujuan terakhirnya, dan kembali memutar.
Ah…aku tidak jadi mengejar Bus itu, aku mungkin terlalu perasa, padahal apa peduli supir itu denganku?
Aku biarkan Bus itu lewat, aku amati jadwal Bus berikutnya, 20 menit lagi! Sambil nunggu, aku catat semua nama halte Bus yang akan dilewati, biar gak kesasar lagi….
Akhirnya Bus yang ditunggu-tunggu pun tiba, tentu saja ini Bus yang lain, sehingga supirnya tidak akan tahu pengalaman memalukan yang tadi menimpaku…Selama duduk di Bus, aku hitung jumlah halte yang dilewati sebelum sampai di Klufterplatz, tentu saja aku kembali melewati Gothe Insitut. Akhirnya sampai juga di apartemenku.
Ah, dasar…..pengalaman pertama selalu sulit! Benar kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan...
Kalau waktu perginya aku salah bayar ongkos Bus, kali ini pas pulang di siang harinya giliran aku nyasar...! sebetulnya aku tidak keliru naik Bus, sesuai “petunjuk“ dari Goethe sendiri, naik 612 di halte Stadthalle.
Masalahnya aku belum eungeuh bahwa halte untuk arah pulang berada di sisi jalan yang lain, yang kebetulan berada di perempatan, sehingga agak teresmbunyi. Jadilah aku naik Bus ke arah yang aku tumpangi waktu pagi hari berangkat. Sebetulnya aku agak ragu, cuma, karena orang sini katanya banyak yang tidak bisa diajak ngomong bahasa Inggris, aku gak berani nanya, maklum pelajaran bahasa Jerman di hari pertama belum cukup buat nanya itu ini...
Dalam keraguan aku masih diam di Bus, “siapa tahu nanti juga lewat apartemenkua“, begitu pikirku. Aku perhatikan setiap bangunan yang dilewati, sambil mengingat-ingat jalan yang aku lewati tadi pagi. Ah.., ternyata jalannya benar-benar berbeda! Apalagi waktu tempuh sudah lebih dari 30 menit, padahal waktu pergi hanya 10 menit, dan aku belum juga melihat apartemenku.
Keraguanku semakin menjadi ketika satu persatu penumpang turun, sampai akhirnya Bus kosong sama sekali. Pengemudi pun kelihatan memandangiku lewat kaca spion dengan mimik keheranan. Dipandangi begitu, aku pun nekat aja turun. “aku mau nunggu bus yang lain aja biar gak terlalu malu sama supir itu“.
Entah di halte apa aku turun, lupa namanya, yang jelas aku berada di sebuah perumahan yang sangat sepi. 20 menit aku tunggu datangnya Bus...ah, akhirnya muncul juga! Tapi...tunggu dulu, ternyata lagi-lagi aku nunggu di sisi jalan yang salah, tempat aku turun tadi, terang saja Busnya tidak berhenti di sini, melainkan di halte sebrang sana. Aku berusaha lari, namun begitu aku lihat pengemudinya, ternyata itu Bus yang tadi aku tumpangi, aku pun membuang muka, malu rasanya sama itu supir. Rupanya Bus ini telah sampai di tujuan terakhirnya, dan kembali memutar.
Ah…aku tidak jadi mengejar Bus itu, aku mungkin terlalu perasa, padahal apa peduli supir itu denganku?
Aku biarkan Bus itu lewat, aku amati jadwal Bus berikutnya, 20 menit lagi! Sambil nunggu, aku catat semua nama halte Bus yang akan dilewati, biar gak kesasar lagi….
Akhirnya Bus yang ditunggu-tunggu pun tiba, tentu saja ini Bus yang lain, sehingga supirnya tidak akan tahu pengalaman memalukan yang tadi menimpaku…Selama duduk di Bus, aku hitung jumlah halte yang dilewati sebelum sampai di Klufterplatz, tentu saja aku kembali melewati Gothe Insitut. Akhirnya sampai juga di apartemenku.
Ah, dasar…..pengalaman pertama selalu sulit! Benar kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan...
January 25, 2007
Pokoknya 2 euro...!
Ini pengalaman pertamaku naik bus di Bonn. Sekali lagi, pengalaman pertama memang selalu sulit. Aku menginap di sebuah apartemen yang disediakan Goethe Institut, di Annaberger Str 178, tentunya atas biaya dari Yayasan the Alexander von Humboldt. Dalam apartemenku ada dua pintu kamar, yang satunya diisi oleh kawan dari Korea Selatan.
Apartemenku agak jauh dari Goethe, sehingga setiap hari aku harus naik bus. Nah, besok aku sudah harus pergi pake bus itu, padahal aku belum punya tiket. Di sini, umumnya orang menggunakan tiket bulanan yang berlaku untuk semua jenis angkutan, dengan frekuensi yang tak terbatas.
Karena belum punya tiket bulanan, aku tanya sama pemilik rumah dan kawan seapartemen itu, bagaimana saya harus beli tiket buat pergi ke Goethe, "Ah, mudah aja", kata mereka, "tinggal bayar ke supirnya langsung, harganya sekitar 2 euro".
Besoknya, dengan percaya diri aku pun berdiri menunggu bus 612 di Halte Klufterplatz. Begitu bus tiba, aku pun langsung naik dan duduk dengan tenang. "nanti begitu tiba di tujuan, aku bayar ke supirnya 2 euro", demikian gumamku dalam hati.
Dan, hanya 10 menit aku sudah sampai di Halte Stadthalle, halte yang paling dekat dengan Goethe. Aku pun bermaksud turun seraya menghampiri supir, dan "creng" aku kasih uang 2 euro; "is this right? 2 euro?", tanyaku sambil langsung siap turun, maklum aku belum tahu sama sekali bahasa Jerman.
Anehnya, aku melihat mimik sang supir yang keheranan sambil mengangkat tangan, mungkin dia bertanya, "untuk apa ini?", sayangnya karena dalam bahasa Jerman, aku pun tidak faham.
Ah, daripada pusing-pusing, aku langsung saja turun, dan aku biarkan uang 2 euro itu, "pokoknya 2 euro..!!" begitu pikirku karena ingat "petunjuk" yang aku terima kemaren....
Belakangan aku tahu, bukan begitu caranya bayar tiket, harusnya begitu naik, aku langsung bilang ke supir kemana tujuanku, nanti supir yang menentukan berapa aku harus bayar...belakangan aku juga baru tahu bahwa seharusnya aku bayar 2.20 euro, bukan 2 euro!
Ah, maklum, aku masih berpikir cara bayar ongkos di angkot Indonesia, naik dulu baru bayar, di sini, bayar dulu baru naik...
Rupanya pemilik rumah yang aku tanya kemaren juga jarang naik bus, begitu pula kawan apartemenku.....
Maaf yah pak Supir....
Apartemenku agak jauh dari Goethe, sehingga setiap hari aku harus naik bus. Nah, besok aku sudah harus pergi pake bus itu, padahal aku belum punya tiket. Di sini, umumnya orang menggunakan tiket bulanan yang berlaku untuk semua jenis angkutan, dengan frekuensi yang tak terbatas.
Karena belum punya tiket bulanan, aku tanya sama pemilik rumah dan kawan seapartemen itu, bagaimana saya harus beli tiket buat pergi ke Goethe, "Ah, mudah aja", kata mereka, "tinggal bayar ke supirnya langsung, harganya sekitar 2 euro".
Besoknya, dengan percaya diri aku pun berdiri menunggu bus 612 di Halte Klufterplatz. Begitu bus tiba, aku pun langsung naik dan duduk dengan tenang. "nanti begitu tiba di tujuan, aku bayar ke supirnya 2 euro", demikian gumamku dalam hati.
Dan, hanya 10 menit aku sudah sampai di Halte Stadthalle, halte yang paling dekat dengan Goethe. Aku pun bermaksud turun seraya menghampiri supir, dan "creng" aku kasih uang 2 euro; "is this right? 2 euro?", tanyaku sambil langsung siap turun, maklum aku belum tahu sama sekali bahasa Jerman.
Anehnya, aku melihat mimik sang supir yang keheranan sambil mengangkat tangan, mungkin dia bertanya, "untuk apa ini?", sayangnya karena dalam bahasa Jerman, aku pun tidak faham.
Ah, daripada pusing-pusing, aku langsung saja turun, dan aku biarkan uang 2 euro itu, "pokoknya 2 euro..!!" begitu pikirku karena ingat "petunjuk" yang aku terima kemaren....
Belakangan aku tahu, bukan begitu caranya bayar tiket, harusnya begitu naik, aku langsung bilang ke supir kemana tujuanku, nanti supir yang menentukan berapa aku harus bayar...belakangan aku juga baru tahu bahwa seharusnya aku bayar 2.20 euro, bukan 2 euro!
Ah, maklum, aku masih berpikir cara bayar ongkos di angkot Indonesia, naik dulu baru bayar, di sini, bayar dulu baru naik...
Rupanya pemilik rumah yang aku tanya kemaren juga jarang naik bus, begitu pula kawan apartemenku.....
Maaf yah pak Supir....
January 24, 2007
Pertama Kali Selalu Sulit...
5 Juni 2006, aku mendarat di Frankurt. Aku memang baru pertama kali menginjak Jerman, sama sekali belum tahu seluk beluk negeri ini, termasuk sistem transportasinya.
Untung ada kawan baik dari Bandung, kandidat PhD di Uni Frankfurt, yang tinggal di Manheim, Kang Saiful Rahman Sunarya namanya; dialah yang dengan sangat sabar dan santun memanduku bagaimana cara hidup di Jerman;
Kang Saiful pula yang menjemputku di Bandara Frankfurt, tak terbayangkan jika aku harus sendirian, mana pengetahuan bahasa Jerman pun aku nol sama sekali. Kata “danke schön“ saja baru tahu ketika Kang Saiful mengucapkannya ke orang lain saat kami jalan-jalan di Frankfurt.
Meski hari pertama aku langsung ikut Kang Saiful ke Manheim, tapi bukan bararti aku akan tinggal di kota ini, karena “tugas“ pertamaku di Jerman adalah mengikuti kursus bahasa di Goethe Institut Bonn selama dua bulan. Karenanya, keesokan harinya aku langsung menuju Bonn...dan saat inilah petualangan pertama dimulai, karena aku harus pergi sendirian menuju Bonn, untuk selanjutnya mencari alamat Goethe Institut.
Petunjuk dari Kang Saiful sebetulnya cukup terperinci, mulai dari beli tiket sampai halte tempat aku harus turun. Sayangnya, ada satu informasi yang kurang akurat, sehingga menyebabkan aku kebingungan.
Setelah turun dari kereta IC di Bonn Hbf, Kang Saiful memintaku untuk naik U-Bahn dan turun di Bad Godesberg, katanya di sinilah U-Bahn akan berakhir, dan semua penumpang akan turun. Begitu keluar dari halte, aku katanya akan langsung melihat gedung Goethe. Mudah sekali kedengarannya..
Aku pun memperhatikan setiap nama halte yang dilewati U-Bahn nomor 16 ini, dan begitu ada tulisan Bad Godesberg, aku pun turun dan naik tangga menuju keluar. Ah, kulihat-lihat di sekeliling, tak ada tanda-tanda gedung bertuliskan Goethe Institut, apa memang gedung di sini selalu tanpa tulisan? Begitu pikirku saat itu. Anehnya, sekian kali aku bertanya sama orang, kebetulan orang yang kutanya tidak tahu letak gedung Goethe itu, meski aku perlihatkan nama jalan dan nomor gedungnya.
Akhirnya, setelah lebih dari satu jam berkeliling, aku pun menghampiri sebuah taksi, dan meminta diantar ke alamat yang tertulis. “Wah, alamat itu tidak jauh, bisa jalan kaki“, kata supir Taksi, sambil menunjuk ke sebuah arah jalan. Aku pun ikuti arah yang ditunjuknya itu. Eh, dasar namanya pengalaman pertama, tetep aja gak ketemu tu gedung, meski aku sudah tanya beberapa kali ke orang. Untuk kedua kalinya aku menghampiri sebuah Taksi lain, dan meminta supirnya mengantarku ke alamat yang aku pegang. Nah, kali ini supir Taksinya ketawa sambil berkata, “you can look at the building in front of you”, masya Allah…!
Belakangan aku baru tahu, seharusnya aku tidak turun di halte Bad Godesberg, melainkan di Stadhalle, memang wilayahnya namanya ya Bad Godesberg. Dari halte ini, gedung Goethe langsung bias kelihatan, meski memang tidak ada tulisan terpampang yang mudah dilihat dari jauh...
Yaaah, namanya juga pengalaman pertama…
Untung ada kawan baik dari Bandung, kandidat PhD di Uni Frankfurt, yang tinggal di Manheim, Kang Saiful Rahman Sunarya namanya; dialah yang dengan sangat sabar dan santun memanduku bagaimana cara hidup di Jerman;
Kang Saiful pula yang menjemputku di Bandara Frankfurt, tak terbayangkan jika aku harus sendirian, mana pengetahuan bahasa Jerman pun aku nol sama sekali. Kata “danke schön“ saja baru tahu ketika Kang Saiful mengucapkannya ke orang lain saat kami jalan-jalan di Frankfurt.
Meski hari pertama aku langsung ikut Kang Saiful ke Manheim, tapi bukan bararti aku akan tinggal di kota ini, karena “tugas“ pertamaku di Jerman adalah mengikuti kursus bahasa di Goethe Institut Bonn selama dua bulan. Karenanya, keesokan harinya aku langsung menuju Bonn...dan saat inilah petualangan pertama dimulai, karena aku harus pergi sendirian menuju Bonn, untuk selanjutnya mencari alamat Goethe Institut.
Petunjuk dari Kang Saiful sebetulnya cukup terperinci, mulai dari beli tiket sampai halte tempat aku harus turun. Sayangnya, ada satu informasi yang kurang akurat, sehingga menyebabkan aku kebingungan.
Setelah turun dari kereta IC di Bonn Hbf, Kang Saiful memintaku untuk naik U-Bahn dan turun di Bad Godesberg, katanya di sinilah U-Bahn akan berakhir, dan semua penumpang akan turun. Begitu keluar dari halte, aku katanya akan langsung melihat gedung Goethe. Mudah sekali kedengarannya..
Aku pun memperhatikan setiap nama halte yang dilewati U-Bahn nomor 16 ini, dan begitu ada tulisan Bad Godesberg, aku pun turun dan naik tangga menuju keluar. Ah, kulihat-lihat di sekeliling, tak ada tanda-tanda gedung bertuliskan Goethe Institut, apa memang gedung di sini selalu tanpa tulisan? Begitu pikirku saat itu. Anehnya, sekian kali aku bertanya sama orang, kebetulan orang yang kutanya tidak tahu letak gedung Goethe itu, meski aku perlihatkan nama jalan dan nomor gedungnya.
Akhirnya, setelah lebih dari satu jam berkeliling, aku pun menghampiri sebuah taksi, dan meminta diantar ke alamat yang tertulis. “Wah, alamat itu tidak jauh, bisa jalan kaki“, kata supir Taksi, sambil menunjuk ke sebuah arah jalan. Aku pun ikuti arah yang ditunjuknya itu. Eh, dasar namanya pengalaman pertama, tetep aja gak ketemu tu gedung, meski aku sudah tanya beberapa kali ke orang. Untuk kedua kalinya aku menghampiri sebuah Taksi lain, dan meminta supirnya mengantarku ke alamat yang aku pegang. Nah, kali ini supir Taksinya ketawa sambil berkata, “you can look at the building in front of you”, masya Allah…!
Belakangan aku baru tahu, seharusnya aku tidak turun di halte Bad Godesberg, melainkan di Stadhalle, memang wilayahnya namanya ya Bad Godesberg. Dari halte ini, gedung Goethe langsung bias kelihatan, meski memang tidak ada tulisan terpampang yang mudah dilihat dari jauh...
Yaaah, namanya juga pengalaman pertama…