22 Desember 2017 |
"Kang Oman, apa kabar?" Sapaan dari nomor tak dikenal hinggap di ponselku.
Jarum panjang di jam dinding sebentar lagi merangsek menuju angka 12, menyusul jarum pendek yang telah mendahuluinya. Gelapnya malam menambah udara dingin yang menusuk sumsum dan tulang. Warga Osaka Jepang memilih tinggal di rumah sejak petang tadi. Sudah bulan Maret, tapi dingin belum hendak beranjak pergi. Bintik lembut butir salju di jendela menghiasi suasana hening dan sepi.
"Alhamdulillah baik. Maaf, ini nomor siapa yah?"
"Lukman Hakim Saifuddin", jawab sang pengirim pesan.
Hah, sang Menteri Agama? Tak mungkin, benakku.
Kantuk hilang, berganti penasaran. Siapa pula yang berani ngaku-ngaku sebagai menteri agama? Kutanya beberapa kolega yang mungkin waskita.
"Itu memang nomor HP Pak Lukman", ujar seorang kawan, alumnus Pondok Gontor, tempat belajar Lukman Hakim Saifuddin yang 'asli'.
"Apa yang bisa saya bantu, Mas Lukman?"
Aku dengar menteri yang satu ini orangnya egaliter, terbuka, open minded. Tak perlu lah aku memanggilnya ‘pak Menteri’. Toh aku bukan bawahan strukturalnya langsung. Aku mencoba mencairkan komunikasi.
“Kalau boleh tahu, sekarang pangkat dan golongan Kang Oman, berapa?”. Santun sekali ini menteri, pikirku.
“Alhamdulillah, per 1 Oktober 2016, saya sudah Guru Besar Pembina Utama Madya, Golongan IVd, Mas”. Aku mulai curiga.
“Saya ingin dan berharap Kang Oman mendaftarkan diri menjadi calon staf ahli Menag. Awal April 2017 ini akhir pendaftaran. Berkenankah?”
Nah, benar, kan? Aku diam tercenung. Ku yakin mata belum terlelap, kuyakinkan diriku tidak sedang bermimpi. Seharusnya aku tidur, besok pagi ada jadwal presentasi hasil penelitian di depan para professor Jepang ahli Indonesia. Pertanyaan Mas Lukman membawaku menerawang berbagai kemungkinan.
Sejak lulus program doktoral spesialisasi filologi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Depok pada 2003, aku beruntung mendapat berbagai tawaran research fellow di sejumlah universitas di Eropa dan Jepang. Bermula dari kesempatan fellowship dari the Alexander von Humboldt-Stiftung, Jerman (2006-2008), berlanjut visiting professordi Oxford Center for Islamic Studies (OXCIS) (2010), di ILCAA Tokyo University of Foreign Studies (2012-2013), ASAFAS Kyoto University (2016), dan terakhir di Osaka University.
Status fungsional sebagai dosen di FAH UIN Jakarta sangat memungkinkan mengambil kesempatan fellowship yang tidak setiap orang bisa meraihnya. Sekarang, apakah ada kemungkinan aku menerima tawaran Mas Lukman?
“Saya istikharah dulu ya, Mas. Soalnya saya sudah punya dunia sendiri yang jarang orang geluti”, aku mencoba berdiplomasi. “Indonesia ini memiliki warisan khazanah manuskrip keagamaan yang luar biasa kaya, tercecer di dalam dan luar negeri, sayangnya tak banyak yang minat mengkaji. Saya sudah menikmati pengembaraan merawat dan mengkaji manuskrip-manuskrip itu puluhan tahun. Sayang kalau dunia ini saya tinggal”. Imbuhku. Bolehlah aku sedikit membanggakan diri.
“Selamat beristikharah”. Hanya itu jawaban Mas Lukman. Ia tak pernah bertanya lagi, tak pernah mengingatkan lagi, juga tak pernah menjanjikan apapun. Ketika tiga minggu kemudian aku akhirnya memutuskan mendaftarkan semua berkas lamaran, ia hanya pernah sekali berkirim pesan, “Semoga anda lolos dalam proses seleksi, karena saya dan Kemenag membutuhkan kontribusi anda”.
Reformasi Birokrasi
Apa betul Menteri Agama dan Kementerian Agama membutuhkanku? Entahlah, mungkin itu basa-basi Mas Lukman saja, supaya aku tertarik mendaftar dalam seleksi terbuka Jabatan Tinggi Madya itu.
Sepulang ke tanah air pada awal April 2017, tak serta merta aku mendaftarkan diri. Menjadi Staf Ahli Menteri berarti masuk ke dalam dunia birokrasi, dan meninggalkan, atau setidaknya mengurangi perhatian pada, dunia akademik yang puluhan tahun aku geluti.
Aku mencoba berselancar, mencari tahu apa visi Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama? Reformasi Birokrasi!
Hmm…apa iya Kemenag ingin mereformasi diri? Jujur saja sudah lama aku agak apatis. Sebagaimana orang kebanyakan di luar birokrasi, aku sulit memandang layar putih prestasi dan capaian Kemenag, meski ia sesungguhnya rumahku sendiri. Sentimen negatif di media ibarat noda hitam yang mengaburkan layar lebar putihnya.
Rekam jejak Lukman sejak awal menjadi Menteri di era SBY-Boediono, dan kemudian Jokowi-JK, sedikit banyak mengubah pandanganku.
Pada 2014, hanya sehari selepas dilantik sebagai Menteri Agama, Lukman bergegas menyambangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Kemenag memerlukan pandangan dari pihak lain, dalam hal ini KPK, yang sudah mempunyai pengalaman dalam akuntabilitas data supaya tata kelola dana Kemenag tepat guna dan tepat sararan”. Demikian sebuah kanal berita mengutip Lukman.
Aku menangkap kesan bahwa Lukman bertekad serius membenahi manajemen penyelenggaraan ibadah haji, serta menyusun fondasi reformasi birokrasi di Kemenag. Ia pun sering mengajak jajarannya ‘bersilaturahmi’ ke kantor KPK dan melakukan serangkaian pertemuan dengan pimpinan lembaga pemberantasan korupsi tersebut demi untuk memperbaiki tata kelola keuangan di Kementerian Agama, tidak hanya dana haji, melainkan juga dana pendidikan agama dan keagamaan sesuai tugas dan fungsinya.
Komitmen kuat Lukman terhadap reformasi birokrasi dan khususnya transparansi penyelenggaraan haji ibarat shock therapy yang dalam jangka waktu relatif singkat mengangkat citra dan moril ASN Kemenag.
Melalui mbah google, aku tahu bahwa dalam rilis tentang Evaluasi Kinerja 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendapati Lukman sebagai salah satu Menteri dengan kinerja paling memenuhi harapan publik. Litbang Kompas merilis hasil survey bahwa 66,3% publik menyatakan puas dengan kinerja Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. SETARA Institute, yang meneliti kinerja menteri berdasarkan kompetensinya, juga menempatkan Lukman dalam 10 menteri berkinerja baik. Sementara Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menempatkannya sebagai menteri terbaik kedua.
Tidak hanya berkinerja baik menurut responden survei, Lukman juga berhasil melakukan transformasi kinerja jajaran Kementerian Agama, sehingga mendapatkan penghargaan predikat B dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Padahal, selama bertahun-tahun Kementerian Agama dianggap berkinerja kurang sehingga hanya diganjar nilai CC.
Orang ini memang serius ingin melakukan reformasi birokrasi di Kemenag, pikirku.
Berbagai rekam jejak digital yang aku temukan mengkonfirmasi bahwa Lukman sedang bekerja keras mengubah pola pikir kerja jajarannya ke arah peningkatan kinerja yang berorientasi pada pelayanan yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan hati-hati (prudent).
Sebagai bentuk komitmen untuk mengawal reformasi birokrasi Kemenag yang berkelanjutan, Lukman merumuskan lima nilai budaya kerja sebagai mantra, yaitu: integritas, profesionalitas, inovasi, tanggung jawab, dan keteladanan.
Kelima budaya kerja tersebut tentu saja memiliki konsekuensi bagi Lukman sendiri, karena ia berarti harus konsisten memberi contoh dan teladan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam keseluruhan tugasnya sebagai pimpinan tertinggi di Kemenag, di mana semua mata memandang dan memperhatikan dirinya. Namun, Lukman sama sekali tidak merasa terbebani. Sebaliknya, ia mengaku sangat menikmati.
“Cibiran di medsos saya anggap sebagai hiburan; mereka yang membully itu kan hanya karena tidak tahu saja apa yang sesungguhnya sedang kita kerjakan”, sebuah kanal berita mengutip Lukman.
Ah, Mas Lukman rupanya memang sedang mencari ASN Kemenag yang bisa diajaknya membenahi Kementerian Agama. Mungkin aku dianggapnya bisa membantu. Kalau memang begitu adanya, tak elok aku menolak tawarannya.
Mengejar Pahala
Rekam jejak digital tentang kiprah dan integritas Lukman sebagai orang nomor wahid di Kemenag itu lebih dari cukup bagiku untuk memutuskan melamar sebagai Staf Ahli Menteri Agama. Aku tak ingin ketinggalan bebenah rumahku sendiri. Aku ingin ikut mengejar pahala.
Proses seleksi pejabat tinggi di Kemenag secara terbuka rupanya sudah dilakukan sejak 2016. Itu jadi bagian komitmen reformasi birokrasi yang diterapkan Mas Lukman. Aku harus mengikuti tahap demi tahap secara saksama, mulai dari seleksi administrasi, assesmen tertulis, tes psikologi, hingga wawancara.
Aiih, bagiku sebetulnya ini tahap menjenuhkan!
Selama proses itu (April-Oktober 2017), aku tak pernah melakukan komunikasi dengan Mas Lukman. Jangan-jangan ia pun lupa pernah ‘menantangku’ untuk ikut mengabdi di birokrasi. Lebih dari sepuluh nama lolos hingga tahap wawancara, aku jalani dengan penuh kesungguhan. Kalau pun gagal tak kan kurisaukan, nothing to lose saja.
Semua tahapan seleksi diselenggarakan oleh Kemenag secara professional; aku sempat putus asa saat harus menjawab lebih dari 250 soal psikotes, menggambar, merumuskan visi dan misi, hingga akhirnya harus mempresentasikannya di depan para penguji.
“Pak, kalau bisa, nilai saya dikecilkan saja agar saya tidak lolos”, sempat terucap ke penguji, saat aku lelah melanjutkan isian.
Aku tahu, jabatan Staf Ahli Menteri Agama yang aku lamar bukanlah sembarang posisi; ia salah satu eselon I yang akan sangat dekat dengan sang menteri, harus bisa memberikan saran dan masukan strategis, dan sesekali mewakili tugas menteri.
Tapi aku sangat terkesan, untuk mengisi jabatan tinggi strategis ini, Kemenag melakukan proses seleksi terbuka sesuai dengan prinsip dasar reformasi birokrasi. Tak ada permainan, tak ada kepura-puraan, semua dilaksanakan secara terbuka dan professional.
Sebagai Menteri Agama, Lukman memang punya preferensi memilih orang-orang yang mungkin ia anggap terbaik dan memiliki kualifikasi, dan itu banyak dilakukan seorang pimpinan tertinggi yang punya mimpi. Namun, perkara proses seleksi, ibarat iklan parfum, ‘selanjutnya terserah anda’.
Ini toh Sang Menteri itu?
Sehari sebelum hari ibu, 22 Desember 2017, aku mendapat notifikasi pelantikan sebagai Staf Ahli Menteri Agama bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi. Ah, aku lulus rupanya! Besok harus pakai jas, dan aku tak pernah punya jas resmi. Untung seorang kawan meminjami.
Aku tak pernah bertemu Mas Lukman sebelumnya; hanya sesekali bertegur sapa di dunia maya. Aku cenderung suka bekerja menyendiri, puluhan tahun mengkaji manuskrip dalam sepi. Untungnya ia menteri gaul, rajin mengisi ruang publik dengan ajakan reformasi birokrasi di Kemenag, serta seruan menggaungkan cara pandang, sikap, dan perilaku moderat dalam beragama. Aku belum bisa mencerna, apa itu moderasi beragama.
Jumat, 22 Desember 2017, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin melantik puluhan pejabat hasil seleksi terbuka, eselon I dan II, termasuk diriku. Saat MC mengumumkan bahwa Menteri Agama akan memasuki ruangan pelantikan di Aula H.M. Rasjidi gedung Kemenag di Thamrin, aku mencuri pandang. Ini toh yang namanya Mas Lukman itu? Tinggi juga badannya, gagah pula, pikirku, dengan tak berhenti memandangnya. Maklum, orang pinggiran tetiba ketemu menteri!
Sejak ia dan Bu Trisna Willy menyalamiku, dan istriku, aku bertekad memberikan kontibusi membantu tekad Mas Lukman melakukan reformasi birokrasi di Kementerian Agama, rumahku. Keesokan hari, aku menyapanya “Pak Menteri”.
Aku sadar, tugas ini tidak mudah; rintangan dan godaan niscaya menghadang. Mungkin saja akan ada personil yang tidak sejalan. Mungkin juga ada intervensi ‘oknum’ yang mengganggu niat Pak Menteri menegakkan reformasi birokrasi.
Aku ikhlas keluar dari zona nyaman sebagai Guru Besar di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aku tinggalkan peluang visiting professor di kampus-kampus asing ternama, untuk sementara. Meski aku tetap bertekad tak henti berkarya.
Aku yakin masih banyak orang baik di Kemenag yang bisa diajak kerja sama, membangun tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan tepercaya.
Turbulensi Birokrasi
Saat aku sedang menyaksikan tumbuhnya kepercayaan diri ASN Kemenag berkat prestasi reformasi birokrasi yang digagas Menag Lukman, Kemenag mengalami turbulensi birokrasi akibat ulah oknum aparatnya yang tersandung masalah 'jual beli' jabatan. Semua prestasi ciamik Mas Lukman sebagai Menteri Agama seolah tenggelam.
“Menag Bersih Soal Duit, tapi Kedodoran di Birokrasi”, judul sebuah berita mengutip pernyataan Mahfud MD, yang dalam beberapa hal terlalu menyederhanakan cara pandang terhadap Menag dan Kemenag.
Bahwa Menag Lukman kecolongan dalam pengisian sejumlah jabatan, faktanya memang ada. Tapi untuk mengatakan bahwa ia kedodoran mengelola dan mengendalikan birokrasi di Kemenag, yang jumlah satuan kerjanya tidak kurang dari 4.590, dengan jumlah ASN tidak kurang dari 230 ribu, tentu perlu memperhatikan dukungan data selama 4 tahun ia menjabat.
Nyatanya, angka-angka indeks reformasi birokrasi (RB) Kemenag sejak 2014 hingga 2018 terus meningkat. Pada 2014, ketika Menag Lukman pertama kali menjabat, indeks RB Kemenag berada di titik nadir di angka 54,83 (CC). Berkat komitmennya bersama jajaran, tahun berikutnya (2015), indeks RB Kemenag naik menjadi 62,28 (B), lalu berturut-turut naik pada 2016 menjadi 69,14 (B), tahun 2017 menjadi 73,27 (BB), dan terakhir pada tahun 2018 bertengger di angka 74,02 (BB).
Hampir dua tahun mendampingi sebagai Staf Ahli, aku sedikit banyak tahu bahwa cara Menag Lukman memilih pejabat sudah atas berbagai pertimbangan matang. Semua masukan diterima, tapi independensi dan obyektifitas tetap dijaga. Prosedur dijalankan, lalu sesuai regulasi, Lukman memilih sesuai kebutuhan organisasi.
Peningkatan indeks reformasi birokrasi mustahil dicapai kalau ia tidak berdaya mengendalikan birokrasi di Kemenag. Bahwa masih ada yang bolong, bagian itulah yang harus kita benahi bersama.
Jumat Terakhir?
“Pak Oman, tadi saya beberes di rumah dinas Widya Chandra. Rumah dinas sudah kosong hari ini”. Kali ini bukan sapaan dari orang yang tak kukenal. Pesan WA di Kamis malam itu kuterima dari Bu Trisna Willy, yang enggan disapa Bu Menteri.
Mungkin ini memang isyarat. Lusa, Minggu 20 Oktober 2019, Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Jokowi-Makruf Amin, akan dilantik. Menteri Agama, bersama para menteri Kabinet Kerja, otomatis akan demisioner. Menag Lukman akan kembali menjadi Mas Lukman.
Hanya Presiden terpilih yang tahu, siapa-siapa yang akan mendampinginya sebagai menteri di kabinet berikutnya. Pun Mas Lukman tidak tahu, ia akan diminta membantu Presiden lagi atau tidak. Satu hal yang pasti, sudah berkali-kali ia berujar, “Saya sudah kangen ingin menjadi proletar, menikmati secangkir kopi tanpa harus bergegas pergi”.
Boleh jadi ini Jumat terakhir bagi seorang Lukman berkantor di Lapangan Banteng, tapi ia tak pernah surut bekerja gara-gara itu. Sebaliknya, dalam dua minggu terakhir ia nyaris tak pernah rehat melayani umat.
Ia pun banyak memetik buah yang ditanamnya sejak empat tahun menjabat. Selasa, 8 Oktober lalu, buku Moderasi Beragama terbit dan dikupas para pakar. Buku ini berisi visi utamanya dalam mengelola kerukunan umat beragama. Gagasannya tentang moderasi ini sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, sehingga segera menjadi cara pandang negara dalam upaya merawat keragaman.
Kamis, 17 Oktober kemaren, Menag Lukman juga sumringah saat Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil survei Indeks Kepuasan Ibadah Haji 2019, yang menunjukkan angka 85,91 (sangat memuaskan), tertinggi sepanjang sejarah penyelenggaraan haji di Indonesia. Grafik angka indeks kepuasan pelayanan haji itu memang tak pernah menurun sejak 2014 ketika kendali kementerian ini berada di pundaknya.
Tak ada gading yang tak retak. Lukman Hakim Saifuddin memang bukan manusia sempurna, masih ada sejumlah PR besar di Kemenag yang belum selesai diembannya. Tapi ia sudah berusaha.
Menteri agama berikutnya harus berlapang dada, bekerja dengan memanfaatkan landasan yang sudah ada, seraya mengembangkan inovasi yang lebih baik lagi. Setiap orang hebat tak pernah berprestasi sendiri, selalu ada bahu orang lain yang mendahului. Isaac Newton mengajari, “If I have seen further, it is by standing upon the shoulders of giants”.
Ditemani secangkir kopi, di Jumat pagi ini saya memanjat syukur dan puji, karena meskitak lama, tapi beruntung berkesempatan menemani Mas Lukman ngopi, ngobrol, dan bekerja untuk bangsa dan negara, dengan berbagai dinamika dan lika-likunya.
Sapaan tak dikenal Mas Lukman dua tahun lalu telah menyeretku untuk menyelami sepenuh hati tentang makna “iklas beramal” yang bertahun-tahun kupandang menempel di logo Kementerian Agama.
Esok, entah bagaimana, kita lihat jalan cerita berikutnya. Mari kembali ngopi!
No comments:
Post a Comment