cita-cita awal si Encep.... |
Konten dikutip dari: [I:Boekoe].
---------------
Oman Fathurahman tidak pernah merancang hidupnya. Namun, sejak remaja dia memelihara cita-cita: suatu ketika bisa jadi mahasiswa. Lewat jalan berliku–termasuk jadi pedagang asongan–Oman melampaui cita-citanya.
”Cita-cita saya bertahap karena harus mengukur diri,” ujar laki-laki asal Kuningan, Jawa Barat, yang menghabiskan masa remaja di lingkungan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
Oman bukan berasal dari keluarga berada. Ketika diterima di IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, melalui jalur PMDK, orangtua Oman, KH M Harun dan Sukesih, tidak sanggup membiayainya. Oman kemudian dikirim ke Pesantren Haurkuning, Tasikmalaya, untuk belajar tata bahasa Arab.
Dengan setengah hati, Oman belajar di Haurkuning. Setahun di sana, Oman pamit pada kiai dan kembali ke rumah. ”Saya minta izin lagi ke orangtua untuk kuliah. Tapi tidak diizinkan. Saya malah dimasukkan ke pesantren tauhid di Manonjaya, Tasikmalaya.”
Seminggu di sana, Oman menunjukkan prestasi. Dia juara pidato seasrama dan sepesantren. Dia dielu-elukan, diberi hadiah makan gratis. Namun, Oman justru galau. ”Kalau begini terus saya enggak akan kuliah.”
Akhir 1980-an, Oman kabur ke Jakarta mencari uang. Usianya baru 19 tahun ketika dia merasakan kerasnya hidup di Jakarta. Setiap hari Oman jalan kaki dari rumah sepupunya di Kebayoran Lama–tempat dia menumpang hidup–ke bioskop Djakarta Theater, di sekitar kawasan Sarinah, Jakarta, untuk mengasong. Hasil bersih yang didapat Oman hanya Rp 1.000 per hari. ”Saya nangis beberapa kali. Kok jadi tukang asongan. Bagaimana bisa ngumpulkan uang untuk biaya kuliah.”
Enam bulan kemudian, Oman membaca iklan yang mencari editor bahasa Arab. Oman melamar dan berhasil mendapatkan pekerjaan itu. ”Gajinya Rp 80.000, dan saya bisa tinggal di asrama perusahaan di Roxy.”
Nasibnya membaik. Oman bisa mengumpulkan uang untuk biaya kuliah. Tahun 1990, dia akhirnya kuliah di Jurusan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. ”Nyatanya, setelah lulus saya jadi pengangguran.”
Saat itulah, Profesor Nabila Lubis, dosen filologi pertama UIN, Jakarta, meminta bantuan Oman mengedit suntingan manuskrip berbahasa Arab dengan terjemahan beraksara Jawa. ”Saya ambil tawaran itu karena ada duitnya. Ternyata tidak terlalu sulit. Saya hanya memberi komentar pada terjemahan yang salah. Rupanya itulah pekerjaan filolog.”
Sejak saat itu, Oman berkenalan dengan filologi. Dia lebih jauh mengarungi rimba filologi setelah mendapat beasiswa S-2 dan S-3 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Begitulah, jalannya di dunia filologi lumayan mulus sebab sejak di pesantren Oman terbiasa membaca kitab tua. ”Cuma waktu itu enggak ada yang bilang kalau itu manuskrip.”
Setelah sukses menjadi filolog dengan spesialisasi naskah Islam Indonesia, Oman membangun satu lagi obsesi: menyebarkan kajian manuskrip ke pesantren. ”Kalau itu sudah dilakukan, puaslah hidup saya.” (BSW/AIK)
No comments:
Post a Comment