Membaca berita-berita tentang sesat menyesatkan yang lagi marak di Tanah Air, ingatanku melayang ke masa lebih dari 300 tahun lalu.....
Pada paro kedua abad 17, Nuruddin al-Raniri di Aceh mengeluarkan fatwa bahwa ajaran wahdatul wujud yang diajarkan Hamzah Fansuri dan Shamsuddin Sumatrani adalah sesat, pengikutnya boleh dibunuh.
Ajaran wahdatul wujud sendiri mengajarkan kesatuan wujud, bahwa alam itu adalah pancaran dari Tuhan. Cuma, ada orang yang mungkin agamanya belum terlalu mantap, lalu kebablasan mempelajari dan memahami ajaran ini, lalu ia mengklaim bahwa ia sdh menyatu dengan Tuhan, dan tidak lagi perlu melaksanakan kewajiban syariat.
Karena saat itu al-Raniri menjadi ulama yang menjadi patron Istana (mungkin sekarang mah kaya MUI kali yah), Sultan Iskandar Tsani mendengar dan melaksanakan fatwa itu. Kitab-kitab yang ditulis oleh kedua ulama itu dibakar pada sekitar tahun 1642 di depan Masjid Baiturrahman Aceh. Sejumlah pengikutnya dikejar-kejar dan dihukum mati. Kehilangan kitab-kitab karangan Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani itu adalah salah satu tragedi intelektual yang pernah terjadi di Aceh akibat konflik sosial-keagamaan yang terjadi.
Pada 1661, ulama Aceh lainnya, Abdurrauf Singkel, pulang kampung setelah belajar agama di Makkah dan Madinah selama 19 tahun. Ia kayaknya gak tega melihat konflik berdarah dan berkepanjangan akibat perbedaan faham keagamaan di kalangan Muslim itu. Lalu ia minta fatwa dan saran kepada gurunya di Madinah, kira2 bunyinya: “gimana baiknya nih Ustaz menyikapi masalah sosial-keagamaan di Kampoeng ane”? Abdurrauf sendiri pernah belajar wahdatul wujud kepada gurunya yang bernama Ibrahim al-Kurani itu, tapi dia tetap mengajarkan ketaatan pada aspek-aspek syariat.
Fatwa itu lama sekali tidak datang, maklum dulu blm ada email, jadi komunikasi agak lambat, permintaan fatwanya saja dititipkan kepada orang yang mau naek haji, yang baru akan sampai di Mekah beberapa bulan kemudian, padahal Abdurrauf sudah ditanya terus oleh Sultanah Safiatudin, penguasa baru yang menggantikan Sultan Iskandar Tsani, dan mengangkatnya jadi ulama Istana menggantikan al-Raniri.
Sambil menunggu, Abdurrauf menulis kitab, dikasih judul Tanbih al-Mashi, semacam pedoman hidup jadi Sufi. Ia, antara lain menulis:
“Kalau kita menjumpai ada orang yang mengklaim bahwa manusia dan alam adalah identik secara mutlak dengan Tuhan, yakinlah bahwa itu keliru, kecuali dulu emang begitu pada zaman azali. Tapi kalau kita menjumpai ada orang yang terlalu gampang mengutuk dan menyesatkan orang lain, itu juga tidak benar, karena Nabi pernah bilang: sesungguhnya orang yang suka mengutuk itu tidak bisa menjadi orang yang mati syahid atau orang yang mendapat syafa'at di hari kiamat.”
Nah, pada sekitar 1665, fatwa dari gurunya di Madinah pun datang, berupa kitab berjudul Ithaf al-Dhaki, semacam ‘Persembahan bagi orang suci’. Panjang banget memang karya itu, kira-kira 100 halaman, itupun tergantung jumlah baris per halamannya, dan tentunya dalam bahasa Arab. Yang penting di situ gurunya bilang:
"...Kalau memahaminya benar, tidak ada kontradiksi antara ajaran kesatuan Wujud (wahdat al-wujud) dengan hukum-hukum syariat, dan ajaran itu juga tidak bertentangan dengan tuntutan agama untuk mematuhi perintah berbuat baik dan larangan berbuat buruk. Artinya, merasa menjadi orang suci boleh, tapi kewajiban syariat (maksudnya shalat, puasa, dll) seyogyanya tetap jalan terus..."
Guru Syiah Kuala itu juga bilang:
"...Semua fenomena alam ini pada hakikatnya adalah manifestasi (mazhar) Tuhan, dan semuanya diciptakan oleh serta atas Kehendak-Nya, siapapun yang menjumpai sebuah kebaikan dalam fenomena alam, hendaklah ia memuji Allah, karena Dia bermurah hati menciptakannya, padahal tidak ada keharusan bagi-Nya untuk melakukan apapun, karena pada dasarnya Dia tidak membutuhkan alam semesta. Tapi, barangsiapa menjumpai hal yang sebaliknya (keburukan, kesesatan, dan sebangsanya), hendaklah ia tidak mencela kecuali kepada dirinya sendiri, karena “Dia telah memberikan setiap sesuatu bentuk ciptaannya” (20: 50). Katakan saja olehmu: “Allah mempunyai hujjah (alasan) yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya” (6: 149)..."
Sungguh santun dan indah kedengarannya fatwa itu, tidak ada kata ‘tangkap’, ‘bunuh’, atau yang serem-serem lainnya…………..semua diminta santun dan menggunakan ‘wisdom’ dalam menyikapi fenomena alam ciptaan-Nya.
Salam damai dari Bonn
No comments:
Post a Comment