September 13, 2007

Ramadhan di Bonn

Sore ini, kawanku, Ging Ginanjar, penyiar Radio Jerman, Deutsche Welle di Bonn, mengajakku ‘ngawangkong’ soal pengalaman menjalankan ibadah puasa di Jerman. Ini memang Ramadhan tahun kedua bagi kami sekeluarga selama tinggal di Jerman. Hasil obrolan kami itu telah disiarkan pada 13 September 2007 acara siaran pagi, jam 05.00-06.00 WIB, meski jangan kaget, Ging menyebut statusku sebagai mahasiswa Magister di Uni Koeln, ah jadi muda lagi dong...!

Banyak yang berbeda memang, antara menjalankan puasa di Negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam dengan berpuasa di Negara seperti Jerman, di mana masyarakat Muslim adalah minoritas.

Pasalnya, puasa Ramadhan di Indonesia tidak hanya sekedar sebagai ritual agama semata, melainkan lebih dari itu ada unsur-unsur ritual budayanya. Nah, hal terakhir inilah yang terasa sekali hilang dari nuansa puasa di sini. Tentunya kawan-kawan yang tinggal di negara-negara lain pun merasakan hal yang sama.

Menjelang Ramadhan misalnya, masyarakat Muslim Indonesia memiliki tradisi berziarah ke makam orang tua dan leluhurnya; menjelang sahur pun biasanya ada anak-anak muda yang menabuh kentongan, bahkan ember, dan berkeliling kampung untuk membangunkan sahur. Pengeras suara di masjid-masjid juga seringkali seperti berlomba untuk membaca salawat, tadarus, dan alunan azan. Menjelang magrib juga ada tradisi ngabuburit, jalan-jalan sore ke taman atau ke alun-alun masjid sambil menunggu beduk magrib. Tradisi yang tak kalah menariknya tentu adalah makan kolak…..wah, jadi pengen nih!

Mungkin beberapa tradisi seperti itu tidak biasa terjadi di kota-kota besar, tapi pengalamanku hidup di kampung, nuansa demikian sangat berkesan dan tak pernah terlupakan. Nah, semua itu kini benar-benar hilang dari sekeliling kami saat Ramadhan, laptopku pun terpaksa menggantikan tugas sang bilal untuk mengumandangkan azan.

Untungnya, setiap Jumat dan Sabtu, masyarakat Muslim asal Indonesia di Bonn bersama-sama menggelar tarawih berjamaah di gedung eks KBRI. Saat itulah biasanya ada yang bikinin masakan khas bulan Ramadhan, lumayan untuk mengobati rasa rindu kampung halaman.

Dari segi godaan berpuasa, berpuasa di Eropa, yang punya empat musim ini, juga punya dinamika tersendiri. Kalau di Indonesia kita biasa menahan lapar dan dahaga selama kurang lebih 8 jam, di sini bisa 14 sampai 15 jam, tergantung musimnya. Yang lebih berat tentunya kalau Ramadhan jatuh pada musim panas, bayangkan…puasa mulai jam 3 dinihari sampai jam 10 malam! Ah, untungnya April depan insya Allah kami akan pulang kampung, duh rindunya…!

No comments:

Post a Comment