Berita terbit di: Indo Pos, 27 Juni 2011
Tak banyak ahli filologi (ilmu yang mempelajari manuskrip kuno) spesialis agama Islam. Salah seorang Indonesia yang menekuninya adalah Oman Fathurahman, dosen Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta. Bagaimana liku-likunya berburu naskah kuno Islam ke seluruh Nusantara? MOH. HILMI SETIAWAN, Jakarta
SUASANA di kompleks Kampus 2 Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta, tampak lengang kemarin (26/7). Maklum, aktivitas perkuliahan sedang libur. Tapi, tidak demikian di gedung Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM). Di gedung berlantai tiga itu, beberapa peneliti sibuk membolak- balik buku yang menjadi bahan penelitian. Salah seorang yang tampak sibuk itu adalah Oman Fathurahman. Di ruang kerja ber ukuran sekitar 3 x 3 meter tersebut, dia terlihat serius mencermati manuskrip atau buku-buku kuno agama Islam.
Buku-buku itu sudah kumal. Ujung sampulnya tampak bergerigi tidak rata karena dimakan ngengat dan rayap. ’’Jika tidak hati-hati membukanya, bisa rusak dan semakin sulit dibaca,’’ ujar pria kelahiran Kuningan, 8 Agustus 1969, itu.
Manuskrip kuno yang diteliti Oman kemarin, antara lain, berasal dari Makassar, Minangkabau, dan Aceh. Rata-rata, manuskrip yang diteliti menggunakan bahasa Melayu dan ditulis dengan huruf Arab. Ada juga yang ditulis dengan huruf-huruf kuno daerah setempat. Misalnya, manuskrip keluaran Makassar yang masih menggunakan huruf Lontara.
Ayah Fadli Husnurrahman, 14; Alif Alfaini Rahman, 11; dan Jiddane Asykura Rahman, 7, itu menuturkan, dirinya tidak mengalami persoalan jika naskah-naskah kuno tersebut ditulis dalam bahasa Arab. Sebab, dirinya adalah lulusan Bahasa dan Sastra Arab UIN ’’Tapi, jika ditulis dengan huruf-huruf lokal yang tidak saya kuasai, saya perlu bantuan,’’ ungkap suami Husnayah al Hudayah tersebut.
Dalam kasus itu, dia harus meminta bantuan mahasiswa yang tersebar di penjuru tanah air. Oman merupakan ahli filologi spesialis naskah agama Islam di Indonesia. Karirnya sebagai peneliti dan dosen filologi datang begitu saja. Sama sekali tidak direncanakan. Dia mengungkapkan, selama kuliah S-1 di jurusan bahasa dan sastra Arab, tidak terbayang dirinya akan bergelut dalam dunia manuskrip kuno. Sebab, awalnya profesi tersebut benar- benar asing bagi dirinya.
Tapi, nasib berkata lain. Beberapa saat setelah diwisuda pada 1994, Oman ditawari salah seorang dosennya, Prof. Dr. Nabilah Lubis, untuk masuk menjadi tim penyusun sebuah buku di bawah pimpinan seorang sarjana Prancis, Prof. Dr. Henri Chambert-Loir. Waktu itu, dia mendapat tawaran untuk mentranskrip manuskrip kuno dari Makassar. Judul buku kuno itu adalah Zubdat al-Asrar karya Syekh Yusuf Al Makassari yang dibuat pada abad ke-17. Buku tersebut berbahasa Arab dengan terjemahan Pegon berbahasa Jawa.
Tugas Oman adalah menggubah tulisan buku yang berisi ajaran tasawuf Islam itu ke dalam huruf Latin. Awalnya, dia ogah bergabung dengan tim penyusun buku tersebut. Tapi, akhirnya dia luluh juga. Sebab, dirinya diiming-imingi bayaran yang cukup gede. ’’Bayarannya waktu itu dihitung setiap halaman,’’ ujar Oman. Sayangnya, dia enggan menyebutkan bayaran yang didapat. Oman hanya menyatakan, saat itu, buku yang dia transkrip setebal 60 halaman.
Keterlibatan Oman dalam mentranskrip manuskrip kuno tersebut menjadi titik awal karirnya. Dia lantas mendapat beasiswa dari Yayasan Naskah Nusantara dan EFEO (Ecole Francaise d’Extreme-Orient), lembaga donatur asal Prancis yang concern pada penelitian benda purbakala, untuk mendalami bidang filologi agama Islam.
Oman lantas meneruskan kuliah S-2 dan S-3 sastra di Universitas Indonesia (UI). Selama kuliah pascasarjana itu, kiprahnya di bidang filologi semakin moncer, bahkan sejak 2008 menjabat Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). Oman mencatat, dirinya sudah meneliti sepuluh manuskrip kuno untuk dijadikan buku dan tugas akhir. Sampai saat ini, dia sudah mendigitalkan sekitar 10 ribu manuskrip kuno. Diperkirakan, butuh beberapa truk kontainer besar untuk mengangkut manuskrip-manuskrip kuno itu.
Tapi, secara teknis, Oman dan para mahasiswa serta pemerhati filologi yang tergabung dalam Manassa memiliki semacam kode etik dalam meneliti manuskrip kuno. ’’Aturan tegas, antara lain, tidak boleh membawa pulang manuskrip kuno itu,’’ tegas pria yang pernah nyantri di Ponpes Cipasung, dan Ponpes Haurkuning Salopa, Tasikmalaya, tersebut. Oman menyebut aturan itu dengan istilah yang dia peroleh dari teman-temanya di Minangkabau, search and save. ’’Mencari dan menyelamatkan,’’ katanya. Caranya, mencari masyarakat yang menyimpan manuskrip-manuskrip kuno. Sampai saat ini, fokus garapan Oman lebih dominan pada manuskrip agama Islam dari Melayu. Setelah berhasil didapatkan, manuskrip itu difoto. Selanjutnya, naskah asli dibersihkan dan dimasukkan amplop, kemudian dikembalikan kepada pemiliknya.
Manuskrip itu tidak sampai dibawa ke luar rumah sang pemilik. Yang dibawa ke Jakarta hanya hasil jepretannya. ’’Hasil jepretan itu sekaligus menjadi kunci penelitian manuskrip kuno,’’ paparnya. Selama menelusuri daerah-daerah di Indonesia yang kental dengan budaya Melayu untuk mencari manuskrip kuno, Oman menjumpai beragam pengalaman. Mulai dicurigai sebagai mata-mata luar negeri hingga kolektor gelap manuskrip kuno.
Dia mengakui, selama ini, banyak dijumpai tengkulak manuskrip kuno. ’’Itu sudah bukan rahasia,’’ ujarnya. Para kolektor tersebut rela merogoh kocek untuk membeli manuskrip bersejarah dari masyarakat, kemudian dijual lagi, biasanya ke luar Negeri. Jual-beli itu terjadi karena masyarakat butuh uang. Dia berharap Pemerintah lebih memperhatikan manuskrip-manuskrip tersebut.
Dia yakin, manuskrip itu merupakan bagian dari cagar budaya yang harus dilestarikan. ’’Sebagian besar manuskrip itu dimiliki masyarakat biasa,’’ terang Oman. Sebagian kecil lagi sudah masuk lemari museum-museum sejarah. Pengalaman yang mengesankan lainnya adalah budaya masyarakat yang memegang manuskrip itu.
Di beberapa tempat, manuskrip tersebut menjadi barang yang sakral, bahkan jimat. Suatu ketika, Oman beserta tim tertarik hunting manuskrip kuno di sebuah pusat perkembangan Melayu di Indonesia. Perjalanan lantas berujung pada sebuah penemuan manuskrip kuno yang sangat disakralkan pemiliknya. ’’Manuskrip itu dibungkus kain putih dan ditaburi bunga,’’ ucapnya lantas mewanti-wanti untuk tidak menyebutkan daerah asal manuskrip itu. Menurut sang pemilik, Oman harus menjalankan ritual khusus untuk membuka dan menjepret buku usang tersebut. Ritual yang harus dijalankan, Oman dan rekan-rekannya harus berpuasa tujuh hari.
Selain itu, harus ada penyembelihan kambing! Tidak ingin buruan yang sudah di depan mata lepas, akhirnya Oman dan rekan-rekannya bersedia memenuhi persyaratan tersebut. Setelah berpuasa dan menyembelih kambing, upacara pembukaan kain pembungkus naskah kuno itu pun dimulai. Ternyata, setelah dipelajari, manuskrip tersebut hanya berisi catatan utang sang raja setempat. ’’Ya akhirnya kami hanya membersihkan kembali. Setelah itu, pulang, cari buruan lain,’’ ujar Oman.
Dia menegaskan, pada beberapa manuskrip, meski ditulis dengan huruf Arab, tidak berarti isinya bermuatan ajaran agama Islam. Ada juga manuskrip-manuskrip yang berisi primbon serta ajaran-ajaran mistis yang ditulis dengan huruf Arab. Selain itu, media manuskrip tersebut beragam. Selain kertas, Oman pernah menemukan manuskrip yang ditulis di kayu, bambu, tulang hewan, serta kulit binatang.
Dengan mempelajari manuskrip-manuskrip kuno itu, dia bisa memetakan persebaran Islam di Indonesia. Khususnya di daerah-daerah basis budaya Melayu. Oman menuturkan, budaya peninggalan manuskrip itu mulai berkembang pada abad ke-17. Pada abad tersebut, rata-rata manuskrip agama Islam berisi ajaran tasawuf. ’’Ilmu ketauhidan menjadi dasar penyebaran Islam,’’ jelasnya. Menurut dia, Islam masuk ke Indonesia tidak didahului pengajaran hukum-hukum fikih seperti tata cara beribadah. Tidak juga mengajarkan urusan halal dan haram.
Menurut analisis Oman, aturan fikih serta halal dan haram bisa menghambat persebaran agama Islam jika menjadi prioritas utama saat itu. Sebab, di awal perkembangan Islam, penduduk masih kental dengan ajaran Hindu, Buddha, dan mistis lokal. Sebaliknya, lanjut Oman, Islam masuk dengan pengenalan ketauhidan.
’’Penanaman syahadat menjadi kunci utama,’’ katanya. Dengan cara itu, Islam masuk ke Indonesia tanpa diiringi pertempuran. Selanjutnya, memasuki abad ke-18 hingga ke-19, baru ditemukan manuskrip-manuskrip kuno yang berisi ajaran-ajaran fikih serta aturan halal dan haram. Menurut Oman, ajaran tersebut bisa diterapkan setelah penduduk menghayati konsep tauhid.
Saat ini, Oman tidak sendiri menjadi peneliti manuskrip kuno agama Islam. Sebab, dari perjuangannya merayu pemerintah, sejak 2010, di UIN Jakarta dibuka program pascasarjana konsentrasi filologi khusus karya-karya kuno agama Islam, atas beasiswa dari Puslitbang Lektur Keagamaan, Kementerian Agama. Dalam setiap angkatan, ada 12 mahasiswa yang belajar filologi. ’’Mereka semua mendapat beasiswa,’’ ujarnya.
Dengan perkembangan tersebut, dia berharap profesi filologi manuskrip kuno agama Islam tidak menjadi sesuatu yang langka di negeri ini. Dari perkembangan itu, Oman yakin khazanah keislaman tanah air bisa terjaga. (c5/nw)