Baru beberapa hari tiba di Oxford, aku harus kembali ke Jakarta untuk menjemput istri dan anak-anakku. Selain soal rindu (cengeng ya! kaya baru kali ini aja pergi jauh, he), aku juga ingin mengajak mereka travelling, biar gak cuma aku yang menikmati indahnya kota-kota di Mancanegara ini. Bukan untuk diajak ke Oxford, tapi ke Hanoi, Vietnam. Waktuku tidak banyak, hanya kurang lebih tujuh hari aku bisa meninggalkan tugas risetku di Oxford.
Aku tidak sempat istirahat, jadwal penerbangan ke Hanoi persis berselang satu hari setibaku di Jakarta. Aku hanya sempat bercengkrama sambil ngepak koper yang akan dibawa. 'Toh nanti di jalan akan bersama', gumamku. Ah, lucunya Jiddane! dan betapa sudah pandainya Fadli dan Alif membantu orang tua. Aku memutuskan berangkat ke Bandara menggunakan kendaraan pribadi, Atoz keluaran 2005. ‘Toh hanya beberapa hari saja akan berada di Hanoi’, fikirku.
Sayangnya, di perjalanan kendaraanku ngadat, meski cukup beruntung karena itu terjadi di dekat rumah kawanku yang dengan senang hati menawarkan kendaraannya untuk dipakai, dan bahkan ia sendiri yang akan mengantar ke Bandara. Eh, aku malah lupa siapa nama kawan baikku itu yah?
Aku pun setuju, aku meminta dia mengantar istri dan akan-anakku ke Bandara, sementara aku akan menjaga kendaraan kami yang ngadat itu. Mereka pun berangkat!
Aku lupa mencharge HP saat mau pergi tadi, jadilah tidak ada komunikasi yang bisa dilakukan. ‘Gawat’, fikirku. Tapi aku yakin semuanya akan baik-baik saja.
Perjalanan ke Bandara kelihatannya cukup lama, ‘mungkin macet’ fikirku. Waktu Zuhur pun tiba, aku dengar suara Azan begitu dekat dari Mushalla Kampung. ‘Ah, mungkin lebih baik aku shalat di Mushalla saja, sambil nunggu kabar dari temanku’, gumamku seraya beranjak pergi.
Ternyata, selepas shalat Zuhur, orang di kampung itu lagi ngadain kerja bakti. Ketimbang bengong, aku pun ikut angkat-angkat batu sebisanya. ‘Gak enak sama orang kampung situ’.
Dua jam berselang, aku sudah agak terkantuk-kantuk kelelahan seraya duduk di bawah rindangnya pohon mangga. Sebuah sapaan lembut membangunkanku, ‘Sayang…capek yah?’ ternyata istri dan anak-anakku sudah kembali. ‘Lho, kok gak jadi ke Hanoi?’ tanyaku dengan penuh heran.
‘Gimana mau pergi, yang punya acara kan kamu? Tiketnya juga semua kamu pegang’, gumamnya dengan tetap tersenyum. Dia terlihat begitu manis dengan senyumnya, tanpa ada raut masam sedikitpun. Betapa konyolnya aku ini!
Aku pun benar-benar bangun dari tidur….tapi bukan sedang di bawah pohon mangga nan rindang itu. Aku masih di kamar kecil apartement di Broad Street 14A rupanya. Sapaan lembut itu pun rupanya ilusi belaka, akibat kerinduan. Tak apalah, itu cukup mengobati!
Kutengok jendela, hari masih terlalu gelap untuk ukuran waktu setempat, jam 05.00, fajar pun belum menyingsing. Sejenak aku pejamkan lagi mata ini, dan masih bisa kurasakan nikmatnya pertemuan dengan istri dan anak-anakku, meski hanya dalam mimpi, dan meski aku begitu konyol!
Ah, aku harus mempersiapkan sarapan, dan segera menghadiri acara perkenalan 17 Fellow untuk periode Michaelmas Term 2010 di Oxford Centre for Islamic Studies, jam 11 siang ini.
--------------------
06 October 2010
Khusus untuk my beloved family: Ida, Fadli, Alif, dan Jiddane di Murisalim, I miss you all…
This is my personal weblog, you may find here my personal experiences, my special interests, my beloved family, and not-so serious writings about daily life...
October 8, 2010
August 21, 2010
Lagi, kisah si 'Encep' oleh sang wartawan...
Sumber: Tabloid Nyata
http://www.nyata.co.id/artikeldetail.php?id=253
---------------------
Foto: Encep (berpeci), saat menjadi 'buruh' pabrik Radar Jaya Offset di Jakarta (1989-1990).
Kerasnya hidup dan perjuangan panjang adalah secuplik perjalanan doktor muda, Oman ‘Encep’ Fathurahman. Demi impian yang diraih, ia rela bergulat dengan debu dan terik matahari sebagai pedadang asongan.
Di ruangan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, seorang lelaki sedang asyik dengan pekerjaannya. Naskah-naskah kuno yang sudah berubah warna kertasnya menumpuk di depannya. Tangan kanannya memegang sebuah kamera DSLR. Cahaya blitz berkilatan dari buah lampu studio di kanan-kirinya.
Siang itu, Jumat (123), Oman Fathurahman, nama lelaki itu, sedang melakukan digitalisasi terhadap naskah Tata Bahasa Arab yang ditulis pada abad 18 dan naskah Primbon Jawa-Cirebon yang ditulis pada abad yang sama.
Sebagai Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa), Oman memang tengah mengembangkan apa yang dinamakan manuscript digital library. Merespon Unesco yang mewajibkan membangun World Digital Library. Sudah sekitar 1000 naskah yang telah didigitalisasi.
Naskah kuno memang telah membuat Oman, yang sewaktu kecil dipanggil Encep, ini jatuh cinta. Kecintaan yang membuat Encep meraih gelar doktor di Universitas Indonesia atas beasiswa penuh dari The Indonesian International Education Foundation (IIEF).
Disertasi berjudul Tarikat Shattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-naskah di Sumatra Barat berhasil dipertahankannya. Encep pun lulus dengan predikat cum laude pada 11 September 2003.
Tak hanya itu, dari naskah-naskah kuno itu pula membawa Encep berkeliling dunia, Prancis, Jerman, Jepang, Belanda, Inggris, Malaysia, Cairo... Diundang ke berbagai seminar atau jadi pembicara. Berbagai buku dan tulisan yang dibuatnya menjadi pertimbangan utama penilaian The Alexander von Humboldt-Stiftung. Tahun 2006, yayasan terkenal di Jerman itu memberikan fellowship sebagai Gastwissenschaftler (tamu peneliti) di Cologne University, bersama Prof. Dr. Edwin Wieringa sebagai academic host-nya.
Selama 2 tahun, Encep, istri dan ketiga putranya tinggal di Bonn, Jerman. Tak lama lagi, Encep juga berangkat ke Inggris untuk melakukan riset di Oxford Centre for Islamic Studies (OCIS), atas award the Chevening Fellowship. Encep akan menjalani program penelitian selama 3 bulan di sana.
Dengan berbagai pencapaian besar ini, Encep mengaku sangat bersyukur. Pasalnya, dulu dia hanya mengimpikan dapat kuliah S1, malah mendapatkan gelar doktor. Encep yang lahir dari golongan menengah ke bawah dan besar di pesantren ternyata bisa menemukan jalan hidupnya. Meski harus melalui perjuangan yang panjang dan berliku.
"Sukses pendidikan itu tidak pararel dengan sukses ekonomi. Sukses ekonomi juga tidak selalu berarti sukses dalam pendidikan. Meski ekonomi terbatas, kalau kita mau ya bisa juga. Bahkan bisa lebih dari standar. Banyak beasiswa menunggu di mana-mana," jelas Encep di ruang kerjanya.
"Kuncinya bukan pada sekolah agama atau umum, tapi bagaimana kita menekuninya. Tekun, kerja keras, dan pantang menyerah. Dalam beberapa hal kayaknya saya mempunyai itu," imbuhnya.
Ekonomi Ketat
Sembari ditemani segelas kopi susu, Encep menceritakan kisah hidupnya yang penuh perjuangan. Namun bisa menginspirasi banyak orang.
Encep dilahirkan pada 8 Agustus 1969 di Kuningan, Jawa Barat. Encep adalah anak nomor 7 dari 9 bersaudara pasangan HM Harun BA dan Sukesih. Setelah Encep lahir, keluarga ini menetap di Pasapen, Kuningan, Jawa Barat.
Ayahnya adalah seorang guru agama Sekolah Rakyat. Sedangkan ibunya, pegawai Departemen Agama. "Ketika saya lahir, saya melihat orangtua sudah mulai mapan. Sudah jadi pegawai negeri, padahal zaman kayak saya masih makan ubi jalar" katanya mengawali cerita.
Ekonomi orangtuanya memang terbilang lumayan. Namun keluarganya adalah keluarga besar. Hal yang membuat semua anak-anaknya harus sekolah tapi hanya sampai Madrasah Aliyah (setingkat SMA).
Sebagai keluarga besar, orangtuanya menerapkan apa yang disebut Encep sebagai 'sistem ekonomi ketat'. Artinya membatasi jatah pakaian, biaya pendidikan, dan jatah makan. "Kami sering harus puas makan sepotong atau seperempat potong telur. Lebih lumayan dari cerita kakak-kakak sebelum saya lahir. Mimih (ibu) sempat hanya bisa memasak satu kali bubur untuk dimakan seluruh keluarga," terang Encep.
Encep tumbuh di keluarga yang sangat religius. Ayahnya sangat fanatik menyekolahkan anak-anaknya di madrasah dan kemudian di asramakan ke pondok pesantren. "Memasukkan anaknya ke pesantren itu sebenarnya tidak umum, juga di lingkungan terdekat saya. Di keluarga saya, bapak yang keukeuh kalau anaknya harus di pesantren. Selalu membanggakan anaknya di pesantren," ucap Encep.
Tahun 1981, setelah menyelesaikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) PUI Kuningan, Encep meneruskan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) di tempat yang sama. Encep lulus MTs tahun 1984. "Kelas tiga Tsanawiyah saya sudah khatam Al-Quran sebanyak 32 kali. Setiap khatam, bapak selalu memberikan hadiah 1000 perak. Orangtua juga mengajari membaca dan memahami kitab Safinah. Hingga saya hafal bagian-bagian tertentu baik teks Arab maupun terjemahan Sunda-nya," ungkap Encep. "Jujur saja, pemahaman saya tentang kitab kuning adalah salah satu kunci pembuka ke karir saya. Sampai saat ini. Saya bangga memiliki kemampuan membaca teks-teks berhuruf Arab gundul," imbuhnya.
Setelah itu, Encep pun melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Di Cipasung, Encep juga menjadi santri di pesantren setempat. "Saya sebenarnya nggak mau. Seneng main, seneng bebas. Tiba-tiba dimasukkan ke pesantren. Tapi nggak punya pilihan. Kalau anak sekarang mungkin punya pilihan dan bisa menolak," terangnya.
Makan Bonggol Pisang
Tahun 1987, Encep lulus MAN Cipasung. Nah, inilah awal masalah pelik yang menimpa Encep muda. Karena berprestasi, Encep lulus dan mendapatkan jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK) ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
"Bisa masuk perguruan tinggi tanpa masuk tes. Tentu sangat membanggakan saya. Tapi, kebahagiaan saya langsung musnah saat bapak tidak menyanggupi membayar biaya kuliah," kata Encep.
"Bapak memang sangat peduli pendidikan. Tapi hanya sampai SMA. Karena bapak harus membiayai kedua adik saya. Saat itu masih SD dan SMP," ujarnya. Akhirnya, Encep benar-benar tidak dapat kuliah. Encep malah dimasukkan ke pesantren salaf (pesantren tanpa jenjang pendidikan formal) di Baitul Hikmah, Haurkuning, Salopa, Tasikmalaya. Sebuah pesantren yang terletak di kaki gunung.
"Kalau mau makan harus cari bonggol jantung pisang. Diulek pake garam. Kita juga ngutang kalau buat makan. Tiap hari turun ke sungai untuk ngambil pasir dan batu untuk pembangunan pesantren. Jalannya nanjak. Tiap hari begitu. Saya sebenarnya nggak mau, tapi lagi-lagi saya nggak ada pilihan," jelas Encep.
Pesantren ini terkenal dengan kekhususannya mengajarkan ilmu tata bahasa Arab. Pimpinannya, KH Saefuddin Zuhri memwajibkan santrinya menghafal kitab-kitab nahw sarf, seperti Al-Ajurumiyya, Kailani, Nazm al-Maqsud, hingga yang tertinggi, Alfiyya ibn Malik.
"Dari pesantren ini saya mengenal Bahasa Arab lebh baik. Saya jadi hafal kitab-kitab itu. Karena kalau tidak bisa menghafal, saya atau santri lain direndam di kolam," terang Encep semberi tertawa.
Selama satu tahun Encep menimba ilmu di pesantren itu. Tahun 1988, Encep pamit pada pimpinan pesantren karena ingin kuliah. Alasan yang membuat pimpinan itu marah besar. "Saya juga bilang ke bapak ingin kuliah. Beliau masih tetap bilang mau pakai apa bayarnya. Saya bilang, sudah bosen. Kata bapak, ya udah ke tempat lain aja. Maksudnya, pindah pesantren," terang Encep.
Dengan pasrah, Encep masuk ke Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya. Pesantren pimpinan KH Khoer Affandi yang di Jawa Barat dikenal sebagai mantan tokoh Darul Islam (DI/TII).
Ada kisah lucu saat Encep belajar di pesantren yang khusus mengajarkan ilmu tauhid (ketuhanan) ini. Saat itu, di pesantren akan dilaksanakan lomba pidato dalam rangka memperingati hari besar Islam. Encep yang baru masuk pesantren tiba-tiba diminta untuk ikut lomba tersebut. Gara-garanya wakil kamarnya sakit. Hasilnya, Encep malah menjadi juara pidato antar kamar.
Menjadi juara antar kamar, Encep menjadi wakil untuk lomba antar asrama. Lagi-lagi, Encep menjadi juaranya. Encep pun mewakili asramanya untuk lomba pidato se-pesantren. "Saya menang lagi. Saya ditunjuk untuk menjadi wakil lomba pidato antar pesantren. Saya membatin, wah kalau begini-begini terus bisa-bisa saya tidak kuliah-kuliah. Jadi tukang pidato terus," katanya.
Sebuah pikiran nakal terlintas di benak Encep. Setelah 4 bulan di pesantren atau satu bulan sebelum lomba pidato antar pesantren, Encep memilih kabur. "Subuh-subuh saya kabur. Berkerudung sarung. Sambil menjinjing sepatu. Saya ke terminal Bus Tasikmalaya dan pulang ke rumah. Saya nggak mau lagi ke pesantren," jelas Encep.
"Hasrat saya untuk kuliah terus membayangi otak saya. Ijazah saya hanya tiga tahun waktunya. Saya membayangkan Juli tahun 1989 sudah bisa kuliah," lanjutnya.
Menjadi Pengasong
Keputusan Encep sudah bulat. Ayahnya pun akhirnya tidak bisa melarangnya lagi. Kakak-kakaknya, terutama kakak sepupunya Jojo begitu mendukungnya. "Saya ingin kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta," ucapnya.
Dengan bekal doa dan sedikit uang, Encep berangkat ke Jakarta pada Oktober 1988. Tujuannya, rumah kontrakan kakak sepupunya, Solihin dan Adah, yang tinggal di Sukabumi Udik, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
"Saat di Jakarta, sembari menunggu bulan Juli, saya berpikir keras. Masak saya hanya duduk-duduk doang. Terus terang saya nggak enak hati. Ini sangat membebani," ujar Encep. Lantas, kakak sepupunya pun melontarkan ide untuk berjualan rokok. Menjadi pedagang asongan.
"Bukan saya yang memilih ingin jualan rokok. Apa yang paling mungkin saat itu untuk cari uang, ya itu," jelas Encep. Bermodal Rp 25 ribu dari kakak sepupunya, Encep mulai menjadi pedagang asongan. Setiap hari Encep berjalan kaki dari Kebayoran Lama sampai Tanah Abang. Paling jauh sampai Teater Jakarta.
"Terus terang saya sering menangis. Saya ini menguasai bahasa Arab, hafal Kitab Alfiyya. Tapi kok jadi pedagang asongan. Kalau hanya jadi pengasong, ngapain susah-susah belajar di pesantren," cerita Encep.
Apalagi keuntungannya sangatlah sedikit. Setiap hari Encep berhasil mengumpulkan uang Rp 10 ribu. Paling banyak Rp 15 ribu. Ini adalah hasil kotornya. Bersihnya, karena modalnya dari kakak sepupunya maka dipotong 10 persen. "Jadi penghasilan saya setiap hari hanya 1000 atau 1500 perak.
Uang itu disimpan kakak sepupu saya. Saya dibikinin buku tabungan. Sayang bukunya sudah hilang," kata Encep.
Sangat kurang! Ya, itulah yang selalu menghantui Encep. Impiannya untuk kuliah seperti semakin jauh dari jangkauannya. Namun, ide Encep tak pernah kurang. Untuk menambah penghasilan. Selain berjualan rokok, Encep berjualan permen. Saya titipkan ke warung-warung. Setiap satu minggu, ia cek permen-permen itu.
"Lumayan dapat tambahan beberapa puluh rupiah. Saya bersyukur mau menjalani itu. Yang penting saya punya penghasilan sendiri. Saya tidak ada bayangan kalau bisa sampai sekarang. Target saya itu hanya kuliah," jelas Encep.
Beberapa bulan, Encep menjalani hidup sebagai pengasong. Berbagai kisah pahit pun telah ia lalui. Mulai dari dipalak preman sampai kotak jualannya dicuri orang saat ditinggal shalat Duhur. Hidup memang tidak ada yang tahu.
Awal tahun 1989, secara tak sengaja, Encep menemukan sebuah iklan lowongan pekerjaan dari potongan surat kabar. Dalam iklan itu tertulis Sebuah Penerbit dan Percetakan buku, Radar Jaya Offset, membutuhkan seorang editor bahasa Arab. Iseng-iseng Encep memasukkan lamaran.
Saat tes, saingannya adalah mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah dan mahasiswa Intitut Ilmu Al-Quran (IIQ). "Padahal yang diterima cuma satu. Sempet grogi juga. Alhamdulillah, saya diterima. Saya pun pindah ke asrama perusahaan di daerah Roxy," ucap Encep.
Akhirnya, Encep pun 'naik pangkat'. Dari pedagang asongan berpenghasilan 1000 perak menjadi editor bahasa Arab. Gajinya waktu itu Rp 80 ribu. Plus uang makan Rp 1000.
"Tugas saya memeriksa teks-teks bahasa Arab jika ada yang salah tulis. Baik huruf maupun harakatnya. Tak hanya buku tapi juga kitab suci Al-Quran," jelasnya.
Jualan Kaca Mata
Meski sudah bekerja, keinginannya untuk kuliah tetap mengebu-gebu. Encep berpikir bahwa gajinya masih jauh untuk membayar biaya kuliah yang waktu itu sekitar Rp 500 ribu.
Untuk mencapainya, Encep giat mencari tambahan dana. Dia pun menjadi guru les privat belajar bahasa Arab dan mengaji. Hal itu dilakukan pulang kerja. "Karena tempatnya jauh-jauh, saya beli motor Honda CB 100 seharga 200 ribu," kenang Encep.
Tempat utama aktifitasnya adalah Perumahan Villa Mutiara di Sawah Baru, Ciputat, Tangerang. Ia tidak akan pernah bisa melupakan keluarga Haji Abdurrozak yang dengan penuh ketulusan ‘menampungnya’ dan memperkenalkannya dengan keluarga-keluarga lain yang ingin belajar ngaji di kompleks itu.
Encep juga mengaku banyak berhutang budi pada keluarga sepupunya yang lain di Ciputat, "Ayi Edi dan Ayi Ade adalah bak pengganti orang tua saya di tempat mengembara", ujarnya.
Dengan ketekunannya yang luar biasa, saat pendaftaran mahasiswa baru tahun 1990, Encep berhasil mendaftar. "Ada cerita panjang saat itu. Panjang dan penuh perjuangan," katanya singkat.
Awalnya, Encep enggan untuk menceritakannya. Namun setelah didesak, akhirnya ia pun mau meringkasnya. Ceritanya, sehari sebelum ujian masuk perguruan tinggi, kartu ujian Encep dibawa keponakannya, Aep Ermana. Padahal, keponakannya itu sedang kemping pramuka di Cipatuguran, Sukabumi.
"Jam 9 malam, saya menyusulnya. Naik motor yang sering putus rantainya. Saya nekat saja. Setelah nyasar-nyasar, sampe lokasi jam 2 pagi. Ketemu. Saya tanya, katanya kartu tes itu gak dibawa, tapi diselipin di buku di kosannya di Ciputat. Akhirnya saya balik lagi. Karena ngantuk, motor nabrak tebing, tali koplingnya putus. Saya dari Sukabumi ke rumah nggak pakai kopling" ungkap Encep.
"Sampai di kos keponakan saya jam 6 pagi. Saya cari buku yang disebutnya, ternyata nggak ada. Saya putuskan untuk membongkar semua buku. Panik. Sejam kemudian baru ketemu. Jam 8 pagi, saya ujian. Jam pertama kebetulan bahasa Arab. Sambil tidur aja saya bisa," imbuhnya.
Setelah mengikuti ujian masuk, Encep pun lulus dan menjadi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sampai di sini, perjuangan Encep belumlah berakhir. Karena kuliah, Encep harus berhenti dari pekerjaannya sebagai editor. Untuk memenuhi biaya kuliah, Encep melakukan apa saja.
"Saya cari tambahan dengan jual jam tangan, jual batik, privat ngajar ngaji sampai menjalani bisnis multilevel marketing, CNI" terangnya.
Pekerjaan tambahan yang terakhir ia jalani adalah mendirikan sebuah optik. Modalnya Rp 1 juta hasil pinjaman dari kakaknya Jojo. "Pinjaman itu tidak cash. Saya diberi uang 600 ribu. Sisanya dalam bentuk televisi merk National Quintrix 14 inch seharga 400 ribu," ungkap Encep.
Modal itu lalu dibelikan alat periksa mata Ophthalmic Trial Set buatan Shanghai China seharga Rp 500 ribu. Sisanya dibelikan beberapa buah frame kacamata.
"Sertifikatnya atau izinnya, saya nebeng sama temen, namanya Makmun di Senopati. Saya periksa mata mahasiswa dan dosen. Saya bikin spanduknya El Kuny Optical. Terima periksa mata gratis. Terima resep dokter. Diskon 20 persen. Kredit tiga bulan," jelasnya tertawa.
Selain sibuk kuliah dan menambah uang tabungan, Encep mengajar mengaji dari rumah ke rumah. Dari kegiatan privat inilah ia bertemu dengan seorang gadis yang kemudian menjadi istrinya, Ida, tante dari anak asuhnya.
Encep juga aktif dalam berorganisasi di kampusnya. Seperti menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Adab IAIN Cabang Ciputat (1992-1993), Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Adab (1993-1994) dan aktif di Lembaga Kaligrafi Al-Quran (Lemka).
"Setelah itu kehidupan saya mulai kelihatan. Saya bilang, saya nggak mau muluk-muluk. Cukup kuliah S1 aja" kata Encep.
Namun, ceritanya menjadi lain. Encep meraih predikat cum laude dan lulus tahun 1995. Seorang filolog Perancis, Henri Chambert-Loir mendorongnya untuk kuliah magister di UI bidang filologi. "Saya juga dapat beasiswa dari IAIN. Tapi saya memilih UI. Atas bantuan Pak Henri, saya dikenalkan dengan Bu Dewaki yang mengurus beasiswa dari Program Penggalakan Kajian Naskah-naskah Nusantara. Saya juga magang di Ecole Francaise d'Extreme Orient (EFEO) pimpinan Henri," jelasnya.
Encep merampungkan Magisternya dengan cepat. Tak lebih dari 2 tahun ia sudah selesai. Predikatnya cum laude. Tahun 1999, Encep melanjutkan kuliah doktoral di UI. Kembali ia lulus dengan cum laude. * mono
Tidak Romantis dan Serius
Perjalanan panjang Encep meraih impiannya tak lepas dari peranan istrinya, Husnayah atau yang akrab dipanggil Ida. Wanita ini adalah pendukung utama Encep dalam meraih seluruh pendidikannya.
"Kami berkenalan selepas kuliah S1. Waktu itu dia lagi ngajarin keponakan saya ngaji. Dikenalin kakak saya, bang Husin" ungkapnya.
Setelah diangkat menjadi PNS di IAIN, sekarang UIN, Jakarta, pada 7 April 1996 mereka menikah. Kini, mereka dikaruniai tiga putra, Fadli Husnurrahman (1997), Alif Alfaini Rahman (2000), dan Jiddane Ashkura Rahman (2004).
Di mata Ida, Encep bukanlah seorang yang romantis. Encep adalah seorang pribadi yang serius dan cenderung perfeksionis. "Kalau udah kerja harus tuntas. Harus dapat hasil yang terbaik," katanya.
Hal paling romantis yang pernah dilakukan suaminya? "Makan malam dan ngajak nonton. Itu saja. Bapak tidak suka keluar rumah. Beda sama saya yang suka jalan-jalan," ucapnya sembari tertawa.
Di rumah, Encep sangat suka menonton film action, drama dan film anak-anak. "Kalau libur paling nonton bareng-bareng di rumah sama anak-anak. Kalau nggak ya pergi ke toko buku, berenang, dan silaturahmi ke saudara-saudaranya," terang Ida.
Apakah suami juga galak pada anak-anak? "Kalau dibilang galak sih nggak ya. Malah lebih galak saya. Nggak banyak ngomong tapi berwibawa. Kalau anak-anak nggak disiplin baru marah. Bapak juga selalu menekankan pada anak-anak supaya jangan mudah putus asa," jelasnya. * mono
Tak Mudah Putus Asa dan Pekerja Keras
Kesuksesan Ecep meraih cita-cita tak bisa dilepaskan dari peranan kakak sepupunya, Jojo. Dialah yang mendorong dan menyakinkan ayah Encep saat pergi ke Jakarta. Dia pula yang memberikan modal untuk membiayai kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Lantas bagaimana Encep di mata kakaknya? "Orangnya kreatif, tidak gampang putus asa dan seorang pekerja keras. Keinginannya untuk kuliah sangat tinggi," jelas Jojo. Saat Encep pertama kali di Jakarta dan memilih untuk berjualan rokok, Jojo selalu memberikan nasihat.
"Saya selalu tekankan bahwa ke Jakarta bukan untuk mencari uang tapi untuk kuliah. Uang bukan tujuan. Itu selalu saya tekankan," kata Jojo yang menjabat sebagai Kepala Seksi Urusan Agama, kementerian Agama Kota Cirebon ini. Jojo semakin menghargai kerja keras Encep saat dirinya diterima kuliah di IAIN. Tak heran, ia dengan gampang memberikan modal dagang untuk Encep.
"Idenya selalu ada. Saya juga heran kenapa dia memilih untuk membuka optik. Dia bilangnya pinjam. Dan sudah dikembalikan. Kebetulan saya punya uang lebih ya saya berikan saja. Ia pun membuktikannya dan berhasil lulus kuliah," ucap Jojo yang menjadi suami kakak perempuan Encep, Lily Halimah, ini.
"Saya hobi di pendidikan. Saya tidak suka melihat anak-anak nganggur. Saya melihat potensi pada diri Oman. Sekarang keyakinan saya terbukti," ungkap Jojo. * mono
http://www.nyata.co.id/artikeldetail.php?id=253
---------------------
Foto: Encep (berpeci), saat menjadi 'buruh' pabrik Radar Jaya Offset di Jakarta (1989-1990).
Kerasnya hidup dan perjuangan panjang adalah secuplik perjalanan doktor muda, Oman ‘Encep’ Fathurahman. Demi impian yang diraih, ia rela bergulat dengan debu dan terik matahari sebagai pedadang asongan.
Di ruangan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, seorang lelaki sedang asyik dengan pekerjaannya. Naskah-naskah kuno yang sudah berubah warna kertasnya menumpuk di depannya. Tangan kanannya memegang sebuah kamera DSLR. Cahaya blitz berkilatan dari buah lampu studio di kanan-kirinya.
Siang itu, Jumat (123), Oman Fathurahman, nama lelaki itu, sedang melakukan digitalisasi terhadap naskah Tata Bahasa Arab yang ditulis pada abad 18 dan naskah Primbon Jawa-Cirebon yang ditulis pada abad yang sama.
Sebagai Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa), Oman memang tengah mengembangkan apa yang dinamakan manuscript digital library. Merespon Unesco yang mewajibkan membangun World Digital Library. Sudah sekitar 1000 naskah yang telah didigitalisasi.
Naskah kuno memang telah membuat Oman, yang sewaktu kecil dipanggil Encep, ini jatuh cinta. Kecintaan yang membuat Encep meraih gelar doktor di Universitas Indonesia atas beasiswa penuh dari The Indonesian International Education Foundation (IIEF).
Disertasi berjudul Tarikat Shattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-naskah di Sumatra Barat berhasil dipertahankannya. Encep pun lulus dengan predikat cum laude pada 11 September 2003.
Tak hanya itu, dari naskah-naskah kuno itu pula membawa Encep berkeliling dunia, Prancis, Jerman, Jepang, Belanda, Inggris, Malaysia, Cairo... Diundang ke berbagai seminar atau jadi pembicara. Berbagai buku dan tulisan yang dibuatnya menjadi pertimbangan utama penilaian The Alexander von Humboldt-Stiftung. Tahun 2006, yayasan terkenal di Jerman itu memberikan fellowship sebagai Gastwissenschaftler (tamu peneliti) di Cologne University, bersama Prof. Dr. Edwin Wieringa sebagai academic host-nya.
Selama 2 tahun, Encep, istri dan ketiga putranya tinggal di Bonn, Jerman. Tak lama lagi, Encep juga berangkat ke Inggris untuk melakukan riset di Oxford Centre for Islamic Studies (OCIS), atas award the Chevening Fellowship. Encep akan menjalani program penelitian selama 3 bulan di sana.
Dengan berbagai pencapaian besar ini, Encep mengaku sangat bersyukur. Pasalnya, dulu dia hanya mengimpikan dapat kuliah S1, malah mendapatkan gelar doktor. Encep yang lahir dari golongan menengah ke bawah dan besar di pesantren ternyata bisa menemukan jalan hidupnya. Meski harus melalui perjuangan yang panjang dan berliku.
"Sukses pendidikan itu tidak pararel dengan sukses ekonomi. Sukses ekonomi juga tidak selalu berarti sukses dalam pendidikan. Meski ekonomi terbatas, kalau kita mau ya bisa juga. Bahkan bisa lebih dari standar. Banyak beasiswa menunggu di mana-mana," jelas Encep di ruang kerjanya.
"Kuncinya bukan pada sekolah agama atau umum, tapi bagaimana kita menekuninya. Tekun, kerja keras, dan pantang menyerah. Dalam beberapa hal kayaknya saya mempunyai itu," imbuhnya.
Ekonomi Ketat
Sembari ditemani segelas kopi susu, Encep menceritakan kisah hidupnya yang penuh perjuangan. Namun bisa menginspirasi banyak orang.
Encep dilahirkan pada 8 Agustus 1969 di Kuningan, Jawa Barat. Encep adalah anak nomor 7 dari 9 bersaudara pasangan HM Harun BA dan Sukesih. Setelah Encep lahir, keluarga ini menetap di Pasapen, Kuningan, Jawa Barat.
Ayahnya adalah seorang guru agama Sekolah Rakyat. Sedangkan ibunya, pegawai Departemen Agama. "Ketika saya lahir, saya melihat orangtua sudah mulai mapan. Sudah jadi pegawai negeri, padahal zaman kayak saya masih makan ubi jalar" katanya mengawali cerita.
Ekonomi orangtuanya memang terbilang lumayan. Namun keluarganya adalah keluarga besar. Hal yang membuat semua anak-anaknya harus sekolah tapi hanya sampai Madrasah Aliyah (setingkat SMA).
Sebagai keluarga besar, orangtuanya menerapkan apa yang disebut Encep sebagai 'sistem ekonomi ketat'. Artinya membatasi jatah pakaian, biaya pendidikan, dan jatah makan. "Kami sering harus puas makan sepotong atau seperempat potong telur. Lebih lumayan dari cerita kakak-kakak sebelum saya lahir. Mimih (ibu) sempat hanya bisa memasak satu kali bubur untuk dimakan seluruh keluarga," terang Encep.
Encep tumbuh di keluarga yang sangat religius. Ayahnya sangat fanatik menyekolahkan anak-anaknya di madrasah dan kemudian di asramakan ke pondok pesantren. "Memasukkan anaknya ke pesantren itu sebenarnya tidak umum, juga di lingkungan terdekat saya. Di keluarga saya, bapak yang keukeuh kalau anaknya harus di pesantren. Selalu membanggakan anaknya di pesantren," ucap Encep.
Tahun 1981, setelah menyelesaikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) PUI Kuningan, Encep meneruskan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) di tempat yang sama. Encep lulus MTs tahun 1984. "Kelas tiga Tsanawiyah saya sudah khatam Al-Quran sebanyak 32 kali. Setiap khatam, bapak selalu memberikan hadiah 1000 perak. Orangtua juga mengajari membaca dan memahami kitab Safinah. Hingga saya hafal bagian-bagian tertentu baik teks Arab maupun terjemahan Sunda-nya," ungkap Encep. "Jujur saja, pemahaman saya tentang kitab kuning adalah salah satu kunci pembuka ke karir saya. Sampai saat ini. Saya bangga memiliki kemampuan membaca teks-teks berhuruf Arab gundul," imbuhnya.
Setelah itu, Encep pun melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Di Cipasung, Encep juga menjadi santri di pesantren setempat. "Saya sebenarnya nggak mau. Seneng main, seneng bebas. Tiba-tiba dimasukkan ke pesantren. Tapi nggak punya pilihan. Kalau anak sekarang mungkin punya pilihan dan bisa menolak," terangnya.
Makan Bonggol Pisang
Tahun 1987, Encep lulus MAN Cipasung. Nah, inilah awal masalah pelik yang menimpa Encep muda. Karena berprestasi, Encep lulus dan mendapatkan jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK) ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
"Bisa masuk perguruan tinggi tanpa masuk tes. Tentu sangat membanggakan saya. Tapi, kebahagiaan saya langsung musnah saat bapak tidak menyanggupi membayar biaya kuliah," kata Encep.
"Bapak memang sangat peduli pendidikan. Tapi hanya sampai SMA. Karena bapak harus membiayai kedua adik saya. Saat itu masih SD dan SMP," ujarnya. Akhirnya, Encep benar-benar tidak dapat kuliah. Encep malah dimasukkan ke pesantren salaf (pesantren tanpa jenjang pendidikan formal) di Baitul Hikmah, Haurkuning, Salopa, Tasikmalaya. Sebuah pesantren yang terletak di kaki gunung.
"Kalau mau makan harus cari bonggol jantung pisang. Diulek pake garam. Kita juga ngutang kalau buat makan. Tiap hari turun ke sungai untuk ngambil pasir dan batu untuk pembangunan pesantren. Jalannya nanjak. Tiap hari begitu. Saya sebenarnya nggak mau, tapi lagi-lagi saya nggak ada pilihan," jelas Encep.
Pesantren ini terkenal dengan kekhususannya mengajarkan ilmu tata bahasa Arab. Pimpinannya, KH Saefuddin Zuhri memwajibkan santrinya menghafal kitab-kitab nahw sarf, seperti Al-Ajurumiyya, Kailani, Nazm al-Maqsud, hingga yang tertinggi, Alfiyya ibn Malik.
"Dari pesantren ini saya mengenal Bahasa Arab lebh baik. Saya jadi hafal kitab-kitab itu. Karena kalau tidak bisa menghafal, saya atau santri lain direndam di kolam," terang Encep semberi tertawa.
Selama satu tahun Encep menimba ilmu di pesantren itu. Tahun 1988, Encep pamit pada pimpinan pesantren karena ingin kuliah. Alasan yang membuat pimpinan itu marah besar. "Saya juga bilang ke bapak ingin kuliah. Beliau masih tetap bilang mau pakai apa bayarnya. Saya bilang, sudah bosen. Kata bapak, ya udah ke tempat lain aja. Maksudnya, pindah pesantren," terang Encep.
Dengan pasrah, Encep masuk ke Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya. Pesantren pimpinan KH Khoer Affandi yang di Jawa Barat dikenal sebagai mantan tokoh Darul Islam (DI/TII).
Ada kisah lucu saat Encep belajar di pesantren yang khusus mengajarkan ilmu tauhid (ketuhanan) ini. Saat itu, di pesantren akan dilaksanakan lomba pidato dalam rangka memperingati hari besar Islam. Encep yang baru masuk pesantren tiba-tiba diminta untuk ikut lomba tersebut. Gara-garanya wakil kamarnya sakit. Hasilnya, Encep malah menjadi juara pidato antar kamar.
Menjadi juara antar kamar, Encep menjadi wakil untuk lomba antar asrama. Lagi-lagi, Encep menjadi juaranya. Encep pun mewakili asramanya untuk lomba pidato se-pesantren. "Saya menang lagi. Saya ditunjuk untuk menjadi wakil lomba pidato antar pesantren. Saya membatin, wah kalau begini-begini terus bisa-bisa saya tidak kuliah-kuliah. Jadi tukang pidato terus," katanya.
Sebuah pikiran nakal terlintas di benak Encep. Setelah 4 bulan di pesantren atau satu bulan sebelum lomba pidato antar pesantren, Encep memilih kabur. "Subuh-subuh saya kabur. Berkerudung sarung. Sambil menjinjing sepatu. Saya ke terminal Bus Tasikmalaya dan pulang ke rumah. Saya nggak mau lagi ke pesantren," jelas Encep.
"Hasrat saya untuk kuliah terus membayangi otak saya. Ijazah saya hanya tiga tahun waktunya. Saya membayangkan Juli tahun 1989 sudah bisa kuliah," lanjutnya.
Menjadi Pengasong
Keputusan Encep sudah bulat. Ayahnya pun akhirnya tidak bisa melarangnya lagi. Kakak-kakaknya, terutama kakak sepupunya Jojo begitu mendukungnya. "Saya ingin kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta," ucapnya.
Dengan bekal doa dan sedikit uang, Encep berangkat ke Jakarta pada Oktober 1988. Tujuannya, rumah kontrakan kakak sepupunya, Solihin dan Adah, yang tinggal di Sukabumi Udik, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
"Saat di Jakarta, sembari menunggu bulan Juli, saya berpikir keras. Masak saya hanya duduk-duduk doang. Terus terang saya nggak enak hati. Ini sangat membebani," ujar Encep. Lantas, kakak sepupunya pun melontarkan ide untuk berjualan rokok. Menjadi pedagang asongan.
"Bukan saya yang memilih ingin jualan rokok. Apa yang paling mungkin saat itu untuk cari uang, ya itu," jelas Encep. Bermodal Rp 25 ribu dari kakak sepupunya, Encep mulai menjadi pedagang asongan. Setiap hari Encep berjalan kaki dari Kebayoran Lama sampai Tanah Abang. Paling jauh sampai Teater Jakarta.
"Terus terang saya sering menangis. Saya ini menguasai bahasa Arab, hafal Kitab Alfiyya. Tapi kok jadi pedagang asongan. Kalau hanya jadi pengasong, ngapain susah-susah belajar di pesantren," cerita Encep.
Apalagi keuntungannya sangatlah sedikit. Setiap hari Encep berhasil mengumpulkan uang Rp 10 ribu. Paling banyak Rp 15 ribu. Ini adalah hasil kotornya. Bersihnya, karena modalnya dari kakak sepupunya maka dipotong 10 persen. "Jadi penghasilan saya setiap hari hanya 1000 atau 1500 perak.
Uang itu disimpan kakak sepupu saya. Saya dibikinin buku tabungan. Sayang bukunya sudah hilang," kata Encep.
Sangat kurang! Ya, itulah yang selalu menghantui Encep. Impiannya untuk kuliah seperti semakin jauh dari jangkauannya. Namun, ide Encep tak pernah kurang. Untuk menambah penghasilan. Selain berjualan rokok, Encep berjualan permen. Saya titipkan ke warung-warung. Setiap satu minggu, ia cek permen-permen itu.
"Lumayan dapat tambahan beberapa puluh rupiah. Saya bersyukur mau menjalani itu. Yang penting saya punya penghasilan sendiri. Saya tidak ada bayangan kalau bisa sampai sekarang. Target saya itu hanya kuliah," jelas Encep.
Beberapa bulan, Encep menjalani hidup sebagai pengasong. Berbagai kisah pahit pun telah ia lalui. Mulai dari dipalak preman sampai kotak jualannya dicuri orang saat ditinggal shalat Duhur. Hidup memang tidak ada yang tahu.
Awal tahun 1989, secara tak sengaja, Encep menemukan sebuah iklan lowongan pekerjaan dari potongan surat kabar. Dalam iklan itu tertulis Sebuah Penerbit dan Percetakan buku, Radar Jaya Offset, membutuhkan seorang editor bahasa Arab. Iseng-iseng Encep memasukkan lamaran.
Saat tes, saingannya adalah mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah dan mahasiswa Intitut Ilmu Al-Quran (IIQ). "Padahal yang diterima cuma satu. Sempet grogi juga. Alhamdulillah, saya diterima. Saya pun pindah ke asrama perusahaan di daerah Roxy," ucap Encep.
Akhirnya, Encep pun 'naik pangkat'. Dari pedagang asongan berpenghasilan 1000 perak menjadi editor bahasa Arab. Gajinya waktu itu Rp 80 ribu. Plus uang makan Rp 1000.
"Tugas saya memeriksa teks-teks bahasa Arab jika ada yang salah tulis. Baik huruf maupun harakatnya. Tak hanya buku tapi juga kitab suci Al-Quran," jelasnya.
Jualan Kaca Mata
Meski sudah bekerja, keinginannya untuk kuliah tetap mengebu-gebu. Encep berpikir bahwa gajinya masih jauh untuk membayar biaya kuliah yang waktu itu sekitar Rp 500 ribu.
Untuk mencapainya, Encep giat mencari tambahan dana. Dia pun menjadi guru les privat belajar bahasa Arab dan mengaji. Hal itu dilakukan pulang kerja. "Karena tempatnya jauh-jauh, saya beli motor Honda CB 100 seharga 200 ribu," kenang Encep.
Tempat utama aktifitasnya adalah Perumahan Villa Mutiara di Sawah Baru, Ciputat, Tangerang. Ia tidak akan pernah bisa melupakan keluarga Haji Abdurrozak yang dengan penuh ketulusan ‘menampungnya’ dan memperkenalkannya dengan keluarga-keluarga lain yang ingin belajar ngaji di kompleks itu.
Encep juga mengaku banyak berhutang budi pada keluarga sepupunya yang lain di Ciputat, "Ayi Edi dan Ayi Ade adalah bak pengganti orang tua saya di tempat mengembara", ujarnya.
Dengan ketekunannya yang luar biasa, saat pendaftaran mahasiswa baru tahun 1990, Encep berhasil mendaftar. "Ada cerita panjang saat itu. Panjang dan penuh perjuangan," katanya singkat.
Awalnya, Encep enggan untuk menceritakannya. Namun setelah didesak, akhirnya ia pun mau meringkasnya. Ceritanya, sehari sebelum ujian masuk perguruan tinggi, kartu ujian Encep dibawa keponakannya, Aep Ermana. Padahal, keponakannya itu sedang kemping pramuka di Cipatuguran, Sukabumi.
"Jam 9 malam, saya menyusulnya. Naik motor yang sering putus rantainya. Saya nekat saja. Setelah nyasar-nyasar, sampe lokasi jam 2 pagi. Ketemu. Saya tanya, katanya kartu tes itu gak dibawa, tapi diselipin di buku di kosannya di Ciputat. Akhirnya saya balik lagi. Karena ngantuk, motor nabrak tebing, tali koplingnya putus. Saya dari Sukabumi ke rumah nggak pakai kopling" ungkap Encep.
"Sampai di kos keponakan saya jam 6 pagi. Saya cari buku yang disebutnya, ternyata nggak ada. Saya putuskan untuk membongkar semua buku. Panik. Sejam kemudian baru ketemu. Jam 8 pagi, saya ujian. Jam pertama kebetulan bahasa Arab. Sambil tidur aja saya bisa," imbuhnya.
Setelah mengikuti ujian masuk, Encep pun lulus dan menjadi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sampai di sini, perjuangan Encep belumlah berakhir. Karena kuliah, Encep harus berhenti dari pekerjaannya sebagai editor. Untuk memenuhi biaya kuliah, Encep melakukan apa saja.
"Saya cari tambahan dengan jual jam tangan, jual batik, privat ngajar ngaji sampai menjalani bisnis multilevel marketing, CNI" terangnya.
Pekerjaan tambahan yang terakhir ia jalani adalah mendirikan sebuah optik. Modalnya Rp 1 juta hasil pinjaman dari kakaknya Jojo. "Pinjaman itu tidak cash. Saya diberi uang 600 ribu. Sisanya dalam bentuk televisi merk National Quintrix 14 inch seharga 400 ribu," ungkap Encep.
Modal itu lalu dibelikan alat periksa mata Ophthalmic Trial Set buatan Shanghai China seharga Rp 500 ribu. Sisanya dibelikan beberapa buah frame kacamata.
"Sertifikatnya atau izinnya, saya nebeng sama temen, namanya Makmun di Senopati. Saya periksa mata mahasiswa dan dosen. Saya bikin spanduknya El Kuny Optical. Terima periksa mata gratis. Terima resep dokter. Diskon 20 persen. Kredit tiga bulan," jelasnya tertawa.
Selain sibuk kuliah dan menambah uang tabungan, Encep mengajar mengaji dari rumah ke rumah. Dari kegiatan privat inilah ia bertemu dengan seorang gadis yang kemudian menjadi istrinya, Ida, tante dari anak asuhnya.
Encep juga aktif dalam berorganisasi di kampusnya. Seperti menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Adab IAIN Cabang Ciputat (1992-1993), Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Adab (1993-1994) dan aktif di Lembaga Kaligrafi Al-Quran (Lemka).
"Setelah itu kehidupan saya mulai kelihatan. Saya bilang, saya nggak mau muluk-muluk. Cukup kuliah S1 aja" kata Encep.
Namun, ceritanya menjadi lain. Encep meraih predikat cum laude dan lulus tahun 1995. Seorang filolog Perancis, Henri Chambert-Loir mendorongnya untuk kuliah magister di UI bidang filologi. "Saya juga dapat beasiswa dari IAIN. Tapi saya memilih UI. Atas bantuan Pak Henri, saya dikenalkan dengan Bu Dewaki yang mengurus beasiswa dari Program Penggalakan Kajian Naskah-naskah Nusantara. Saya juga magang di Ecole Francaise d'Extreme Orient (EFEO) pimpinan Henri," jelasnya.
Encep merampungkan Magisternya dengan cepat. Tak lebih dari 2 tahun ia sudah selesai. Predikatnya cum laude. Tahun 1999, Encep melanjutkan kuliah doktoral di UI. Kembali ia lulus dengan cum laude. * mono
Tidak Romantis dan Serius
Perjalanan panjang Encep meraih impiannya tak lepas dari peranan istrinya, Husnayah atau yang akrab dipanggil Ida. Wanita ini adalah pendukung utama Encep dalam meraih seluruh pendidikannya.
"Kami berkenalan selepas kuliah S1. Waktu itu dia lagi ngajarin keponakan saya ngaji. Dikenalin kakak saya, bang Husin" ungkapnya.
Setelah diangkat menjadi PNS di IAIN, sekarang UIN, Jakarta, pada 7 April 1996 mereka menikah. Kini, mereka dikaruniai tiga putra, Fadli Husnurrahman (1997), Alif Alfaini Rahman (2000), dan Jiddane Ashkura Rahman (2004).
Di mata Ida, Encep bukanlah seorang yang romantis. Encep adalah seorang pribadi yang serius dan cenderung perfeksionis. "Kalau udah kerja harus tuntas. Harus dapat hasil yang terbaik," katanya.
Hal paling romantis yang pernah dilakukan suaminya? "Makan malam dan ngajak nonton. Itu saja. Bapak tidak suka keluar rumah. Beda sama saya yang suka jalan-jalan," ucapnya sembari tertawa.
Di rumah, Encep sangat suka menonton film action, drama dan film anak-anak. "Kalau libur paling nonton bareng-bareng di rumah sama anak-anak. Kalau nggak ya pergi ke toko buku, berenang, dan silaturahmi ke saudara-saudaranya," terang Ida.
Apakah suami juga galak pada anak-anak? "Kalau dibilang galak sih nggak ya. Malah lebih galak saya. Nggak banyak ngomong tapi berwibawa. Kalau anak-anak nggak disiplin baru marah. Bapak juga selalu menekankan pada anak-anak supaya jangan mudah putus asa," jelasnya. * mono
Tak Mudah Putus Asa dan Pekerja Keras
Kesuksesan Ecep meraih cita-cita tak bisa dilepaskan dari peranan kakak sepupunya, Jojo. Dialah yang mendorong dan menyakinkan ayah Encep saat pergi ke Jakarta. Dia pula yang memberikan modal untuk membiayai kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Lantas bagaimana Encep di mata kakaknya? "Orangnya kreatif, tidak gampang putus asa dan seorang pekerja keras. Keinginannya untuk kuliah sangat tinggi," jelas Jojo. Saat Encep pertama kali di Jakarta dan memilih untuk berjualan rokok, Jojo selalu memberikan nasihat.
"Saya selalu tekankan bahwa ke Jakarta bukan untuk mencari uang tapi untuk kuliah. Uang bukan tujuan. Itu selalu saya tekankan," kata Jojo yang menjabat sebagai Kepala Seksi Urusan Agama, kementerian Agama Kota Cirebon ini. Jojo semakin menghargai kerja keras Encep saat dirinya diterima kuliah di IAIN. Tak heran, ia dengan gampang memberikan modal dagang untuk Encep.
"Idenya selalu ada. Saya juga heran kenapa dia memilih untuk membuka optik. Dia bilangnya pinjam. Dan sudah dikembalikan. Kebetulan saya punya uang lebih ya saya berikan saja. Ia pun membuktikannya dan berhasil lulus kuliah," ucap Jojo yang menjadi suami kakak perempuan Encep, Lily Halimah, ini.
"Saya hobi di pendidikan. Saya tidak suka melihat anak-anak nganggur. Saya melihat potensi pada diri Oman. Sekarang keyakinan saya terbukti," ungkap Jojo. * mono
February 11, 2010
Mengingatkan masa lalu
Sejak kembali ke Tanah Air, saya betul-betul 'malas', atau memang tidak bisa menyempatkan iseng-iseng, menggoreskan 'sejarah harian' hidupku di blog ini, tuntutan hidup di Jakarta memang terlalu keras dan membuat fikiran kurang nyantai...Buktinya, postingku yang terakhir kutulis tanggal 20 Januari 2009, saat salah satu peristiwa mahapenting dalam hidupku terjadi, Bapak pergi untuk selama-lamanya.
Tapi kini, reportase di Majalah Elshinta telah 'mengusikku' kembali. Maklum, ini menyangkut masa lalu yang tak akan pernah aku lupakan.......
-----------------------
Sumber:
http://www.elshinta .com/v2003a/ majalah/01- 2010/Pencerahan. htm
Kerasnya hidup dan perjuangan panjang adalah secuplik kisah menarik dari seorang doktor muda, Oman Fathurahman. Lulusan S3 konsentrasi filologi Universitas Indonesia (UI) ini sebelumnya banyak bertarung dengan pahit getirnya hidup. Demi pendidikan, setiap harinya, ia rela bergulat dengan terik matahari dan debu jalanan sebagai penjual asongan di sepanjang jalan Kebayoran Lama-Tanah Abang...
Encep, begitulah dulu ia dipanggil. Anak ke tujuh dari 9 bersaudara, pasangan H. M. Harun dan Sukesih, ini terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Tapi itu tidak mengurangi semangatnya untuk mengenyam ilmu di pendidikan formal. Malah di kemudian hari, justru itulah yang menyulutnya makin membara untuk mengail tinta-tinta kesuksesan di jenjang pendidikan tinggi. Titah orangtua yang hanya bisa menyekolahkannya sampai jenjang SLTA, ia labrak. Bukan karena melarang sekolah di pendidikan formal, keterbatasan biaya menjadi faktor pemicunya.
Masa kecilnya ia habiskan di kampung halamannya, Kuningan, Jawa Barat. Setamat MAN di Cipasung, Tasikmalaya, ia `mengunci rapat' niatnya untuk studi di perguruan tinggi. Encep harus menuruti keinginan orangtuanya untuk `dibuang' ke pesantren. Dari pesantren ke pesantren, begitulah jalan hidupnya saat itu dan dijalaninya bertahun-tahun.
Sampai akhirnya datang suatu hari, ia nekat `kabur' dari pesantren. "Pagi-pagi, dengan berselimutkan sarung saya kabur dari pesantren," ucap pria yang lahir pada 8 Agustus 1969 sambil terbahak lepas.
Dirinya melakukan aksi nekat itu karena hasratnya yang sudah memuncak tak tertahankan untuk kuliah. "Saya datang ke rumah, dimarahilah saya. Istilahnya, sampai `mengemis darah' pada orangtua untuk bisa kuliah. Beribu pinta pun tak berarti, karena orangtua tak mampu. Modal nekat setelah dapat restu, saya berangkat ke Jakarta, tidak bawa apapun, kecuali sedikit bekal dari A Jojo dan Ceu Lili, kakakku" kisahnya pelan. Dan, inilah babak awal gurita kelam dari perjalanan hidupnya.
Menjadi Pengasong Jalanan
Tahun 1989 dengan bersandar di rumah saudara, Encep mulai mencari rupiah untuk bekal kuliah. Dengan bermodalkan kotak gendongan berisi rokok, ia menjadi penjual asongan di sepanjang ruas jalan Kebayoran Lama hingga Tanah Abang dengan berjalan kaki. Profesi ini dilakukannya setiap hari, tanpa menyerah. "Setiap hari, saya hanya bisa dapatkan 10.000 rupiah, paling besar 15.000 rupiah.
Karena modal dari orang lain, saya hanya dapat keuntungan 10%. Jika sehari 10.000, saya hanya dapat 1.000. Tapi saya tak putus asa, saya terus lakukan itu setiap hari, keuntungannya saya tabung untuk modal kuliah. Dengan catatan, itupun kalau tidak kena palak preman Tanah Abang," tutur suami Husnayah Al Hudayah, mengenang.
Mengumpulkan uang senilai 500.000 rupiah untuk pendaftaran masuk kuliah dengan penghasilan sehari seribu memang terasa berat dan lama. "Memang lama untuk mengumpulkan sejumlah uang itu. Saya akhirnya jajaki bisnis lain, jual permen. Ya lumayanlah tambah-tambah, untungnya 100-200 rupiah," ungkap bapak 3 anak, Fadli Husnurrahman, Alif Alfaini Rahman dan Jiddane Ashkura Rahman ini.
Kurang lebih satu tahun ia bersahabat dengan jalanan sebagai pengasong hingga akhirnya ia disodori kakaknya, sebuah iklan di sobekan koran ibukota, iklan lowongan kerja sebagai editor bahasa arab di Percetakan Radar Jaya Offset di Roxi. Betapa sumringahnya Encep saat itu, karena memang ia jagonya bahasa arab.
Encep pun akhirnya bekerja sebagai editor dengan penghasilan 80.000 rupiah perbulan. Tak selang berapa lama, ia pun berhasil masuk Fakultas Adab, Jurusan Satra Arab IAIN (kini UIN) Jakarta. Beberapa tahun kemudian, ia pun lulus dengan predikat cum laude. Karena kepintarannya, ia ditawari beasiswa S2 oleh Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa) di UI dan diambilnya. Tak cuma itu, setelah lulus program magisternya, tak kepalang, Encep pun meraih beasiswa Indonesian International Education Foundation (IIEF) untuk program doktoral di Universitas yang sama. Ia pun menyelesaikannya dengan menulis disertasi bernilai cum laude.
Bahkan, setelah menggondol titel doktor, ia menyabet beasiswa post doctoral dari the Alexander von Humboldt-Stiftung untuk melakukan riset di Universitaet zu Koeln, Jerman. "Selama 2 tahun saya di Jerman. Saya pun memboyong keluarga kesana. Selama di Jerman, alhamdulillah saya sekeluarga bisa naik haji," cetus pria berusia 40 tahun ini dengan paras bahagia.
Kini, setelah masa sulitnya terlewati, pria yang berprinsip `jalani hidup seperti air yang mengalir' ini sering hilir mudik ke mancanegara untuk urusan presentasi karya-karyanya. Sejumlah kota-kota cantik di dunia telah disinggahinya.
Bahkan dalam waktu dekat, ia pun akan mengajukan dirinya sebagai guru besar (profesor) di bidang yang digelutinya, filologi. "Never forget those who were with you when you were a nobody," pungkasnya seolah mengingatkan pribadinya.
Teks: Cucun Hendriana/ Foto: Rizki Rahmat
Tapi kini, reportase di Majalah Elshinta telah 'mengusikku' kembali. Maklum, ini menyangkut masa lalu yang tak akan pernah aku lupakan.......
-----------------------
Sumber:
http://www.elshinta .com/v2003a/ majalah/01- 2010/Pencerahan. htm
Kerasnya hidup dan perjuangan panjang adalah secuplik kisah menarik dari seorang doktor muda, Oman Fathurahman. Lulusan S3 konsentrasi filologi Universitas Indonesia (UI) ini sebelumnya banyak bertarung dengan pahit getirnya hidup. Demi pendidikan, setiap harinya, ia rela bergulat dengan terik matahari dan debu jalanan sebagai penjual asongan di sepanjang jalan Kebayoran Lama-Tanah Abang...
Encep, begitulah dulu ia dipanggil. Anak ke tujuh dari 9 bersaudara, pasangan H. M. Harun dan Sukesih, ini terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Tapi itu tidak mengurangi semangatnya untuk mengenyam ilmu di pendidikan formal. Malah di kemudian hari, justru itulah yang menyulutnya makin membara untuk mengail tinta-tinta kesuksesan di jenjang pendidikan tinggi. Titah orangtua yang hanya bisa menyekolahkannya sampai jenjang SLTA, ia labrak. Bukan karena melarang sekolah di pendidikan formal, keterbatasan biaya menjadi faktor pemicunya.
Masa kecilnya ia habiskan di kampung halamannya, Kuningan, Jawa Barat. Setamat MAN di Cipasung, Tasikmalaya, ia `mengunci rapat' niatnya untuk studi di perguruan tinggi. Encep harus menuruti keinginan orangtuanya untuk `dibuang' ke pesantren. Dari pesantren ke pesantren, begitulah jalan hidupnya saat itu dan dijalaninya bertahun-tahun.
Sampai akhirnya datang suatu hari, ia nekat `kabur' dari pesantren. "Pagi-pagi, dengan berselimutkan sarung saya kabur dari pesantren," ucap pria yang lahir pada 8 Agustus 1969 sambil terbahak lepas.
Dirinya melakukan aksi nekat itu karena hasratnya yang sudah memuncak tak tertahankan untuk kuliah. "Saya datang ke rumah, dimarahilah saya. Istilahnya, sampai `mengemis darah' pada orangtua untuk bisa kuliah. Beribu pinta pun tak berarti, karena orangtua tak mampu. Modal nekat setelah dapat restu, saya berangkat ke Jakarta, tidak bawa apapun, kecuali sedikit bekal dari A Jojo dan Ceu Lili, kakakku" kisahnya pelan. Dan, inilah babak awal gurita kelam dari perjalanan hidupnya.
Menjadi Pengasong Jalanan
Tahun 1989 dengan bersandar di rumah saudara, Encep mulai mencari rupiah untuk bekal kuliah. Dengan bermodalkan kotak gendongan berisi rokok, ia menjadi penjual asongan di sepanjang ruas jalan Kebayoran Lama hingga Tanah Abang dengan berjalan kaki. Profesi ini dilakukannya setiap hari, tanpa menyerah. "Setiap hari, saya hanya bisa dapatkan 10.000 rupiah, paling besar 15.000 rupiah.
Karena modal dari orang lain, saya hanya dapat keuntungan 10%. Jika sehari 10.000, saya hanya dapat 1.000. Tapi saya tak putus asa, saya terus lakukan itu setiap hari, keuntungannya saya tabung untuk modal kuliah. Dengan catatan, itupun kalau tidak kena palak preman Tanah Abang," tutur suami Husnayah Al Hudayah, mengenang.
Mengumpulkan uang senilai 500.000 rupiah untuk pendaftaran masuk kuliah dengan penghasilan sehari seribu memang terasa berat dan lama. "Memang lama untuk mengumpulkan sejumlah uang itu. Saya akhirnya jajaki bisnis lain, jual permen. Ya lumayanlah tambah-tambah, untungnya 100-200 rupiah," ungkap bapak 3 anak, Fadli Husnurrahman, Alif Alfaini Rahman dan Jiddane Ashkura Rahman ini.
Kurang lebih satu tahun ia bersahabat dengan jalanan sebagai pengasong hingga akhirnya ia disodori kakaknya, sebuah iklan di sobekan koran ibukota, iklan lowongan kerja sebagai editor bahasa arab di Percetakan Radar Jaya Offset di Roxi. Betapa sumringahnya Encep saat itu, karena memang ia jagonya bahasa arab.
Encep pun akhirnya bekerja sebagai editor dengan penghasilan 80.000 rupiah perbulan. Tak selang berapa lama, ia pun berhasil masuk Fakultas Adab, Jurusan Satra Arab IAIN (kini UIN) Jakarta. Beberapa tahun kemudian, ia pun lulus dengan predikat cum laude. Karena kepintarannya, ia ditawari beasiswa S2 oleh Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa) di UI dan diambilnya. Tak cuma itu, setelah lulus program magisternya, tak kepalang, Encep pun meraih beasiswa Indonesian International Education Foundation (IIEF) untuk program doktoral di Universitas yang sama. Ia pun menyelesaikannya dengan menulis disertasi bernilai cum laude.
Bahkan, setelah menggondol titel doktor, ia menyabet beasiswa post doctoral dari the Alexander von Humboldt-Stiftung untuk melakukan riset di Universitaet zu Koeln, Jerman. "Selama 2 tahun saya di Jerman. Saya pun memboyong keluarga kesana. Selama di Jerman, alhamdulillah saya sekeluarga bisa naik haji," cetus pria berusia 40 tahun ini dengan paras bahagia.
Kini, setelah masa sulitnya terlewati, pria yang berprinsip `jalani hidup seperti air yang mengalir' ini sering hilir mudik ke mancanegara untuk urusan presentasi karya-karyanya. Sejumlah kota-kota cantik di dunia telah disinggahinya.
Bahkan dalam waktu dekat, ia pun akan mengajukan dirinya sebagai guru besar (profesor) di bidang yang digelutinya, filologi. "Never forget those who were with you when you were a nobody," pungkasnya seolah mengingatkan pribadinya.
Teks: Cucun Hendriana/ Foto: Rizki Rahmat