Sejak kembali ke Tanah Air, saya betul-betul 'malas', atau memang tidak bisa menyempatkan iseng-iseng, menggoreskan 'sejarah harian' hidupku di blog ini, tuntutan hidup di Jakarta memang terlalu keras dan membuat fikiran kurang nyantai...Buktinya, postingku yang terakhir kutulis tanggal 20 Januari 2009, saat salah satu peristiwa mahapenting dalam hidupku terjadi, Bapak pergi untuk selama-lamanya.
Tapi kini, reportase di Majalah Elshinta telah 'mengusikku' kembali. Maklum, ini menyangkut masa lalu yang tak akan pernah aku lupakan.......
-----------------------
Sumber:
http://www.elshinta .com/v2003a/ majalah/01- 2010/Pencerahan. htm
Kerasnya hidup dan perjuangan panjang adalah secuplik kisah menarik dari seorang doktor muda, Oman Fathurahman. Lulusan S3 konsentrasi filologi Universitas Indonesia (UI) ini sebelumnya banyak bertarung dengan pahit getirnya hidup. Demi pendidikan, setiap harinya, ia rela bergulat dengan terik matahari dan debu jalanan sebagai penjual asongan di sepanjang jalan Kebayoran Lama-Tanah Abang...
Encep, begitulah dulu ia dipanggil. Anak ke tujuh dari 9 bersaudara, pasangan H. M. Harun dan Sukesih, ini terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Tapi itu tidak mengurangi semangatnya untuk mengenyam ilmu di pendidikan formal. Malah di kemudian hari, justru itulah yang menyulutnya makin membara untuk mengail tinta-tinta kesuksesan di jenjang pendidikan tinggi. Titah orangtua yang hanya bisa menyekolahkannya sampai jenjang SLTA, ia labrak. Bukan karena melarang sekolah di pendidikan formal, keterbatasan biaya menjadi faktor pemicunya.
Masa kecilnya ia habiskan di kampung halamannya, Kuningan, Jawa Barat. Setamat MAN di Cipasung, Tasikmalaya, ia `mengunci rapat' niatnya untuk studi di perguruan tinggi. Encep harus menuruti keinginan orangtuanya untuk `dibuang' ke pesantren. Dari pesantren ke pesantren, begitulah jalan hidupnya saat itu dan dijalaninya bertahun-tahun.
Sampai akhirnya datang suatu hari, ia nekat `kabur' dari pesantren. "Pagi-pagi, dengan berselimutkan sarung saya kabur dari pesantren," ucap pria yang lahir pada 8 Agustus 1969 sambil terbahak lepas.
Dirinya melakukan aksi nekat itu karena hasratnya yang sudah memuncak tak tertahankan untuk kuliah. "Saya datang ke rumah, dimarahilah saya. Istilahnya, sampai `mengemis darah' pada orangtua untuk bisa kuliah. Beribu pinta pun tak berarti, karena orangtua tak mampu. Modal nekat setelah dapat restu, saya berangkat ke Jakarta, tidak bawa apapun, kecuali sedikit bekal dari A Jojo dan Ceu Lili, kakakku" kisahnya pelan. Dan, inilah babak awal gurita kelam dari perjalanan hidupnya.
Menjadi Pengasong Jalanan
Tahun 1989 dengan bersandar di rumah saudara, Encep mulai mencari rupiah untuk bekal kuliah. Dengan bermodalkan kotak gendongan berisi rokok, ia menjadi penjual asongan di sepanjang ruas jalan Kebayoran Lama hingga Tanah Abang dengan berjalan kaki. Profesi ini dilakukannya setiap hari, tanpa menyerah. "Setiap hari, saya hanya bisa dapatkan 10.000 rupiah, paling besar 15.000 rupiah.
Karena modal dari orang lain, saya hanya dapat keuntungan 10%. Jika sehari 10.000, saya hanya dapat 1.000. Tapi saya tak putus asa, saya terus lakukan itu setiap hari, keuntungannya saya tabung untuk modal kuliah. Dengan catatan, itupun kalau tidak kena palak preman Tanah Abang," tutur suami Husnayah Al Hudayah, mengenang.
Mengumpulkan uang senilai 500.000 rupiah untuk pendaftaran masuk kuliah dengan penghasilan sehari seribu memang terasa berat dan lama. "Memang lama untuk mengumpulkan sejumlah uang itu. Saya akhirnya jajaki bisnis lain, jual permen. Ya lumayanlah tambah-tambah, untungnya 100-200 rupiah," ungkap bapak 3 anak, Fadli Husnurrahman, Alif Alfaini Rahman dan Jiddane Ashkura Rahman ini.
Kurang lebih satu tahun ia bersahabat dengan jalanan sebagai pengasong hingga akhirnya ia disodori kakaknya, sebuah iklan di sobekan koran ibukota, iklan lowongan kerja sebagai editor bahasa arab di Percetakan Radar Jaya Offset di Roxi. Betapa sumringahnya Encep saat itu, karena memang ia jagonya bahasa arab.
Encep pun akhirnya bekerja sebagai editor dengan penghasilan 80.000 rupiah perbulan. Tak selang berapa lama, ia pun berhasil masuk Fakultas Adab, Jurusan Satra Arab IAIN (kini UIN) Jakarta. Beberapa tahun kemudian, ia pun lulus dengan predikat cum laude. Karena kepintarannya, ia ditawari beasiswa S2 oleh Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa) di UI dan diambilnya. Tak cuma itu, setelah lulus program magisternya, tak kepalang, Encep pun meraih beasiswa Indonesian International Education Foundation (IIEF) untuk program doktoral di Universitas yang sama. Ia pun menyelesaikannya dengan menulis disertasi bernilai cum laude.
Bahkan, setelah menggondol titel doktor, ia menyabet beasiswa post doctoral dari the Alexander von Humboldt-Stiftung untuk melakukan riset di Universitaet zu Koeln, Jerman. "Selama 2 tahun saya di Jerman. Saya pun memboyong keluarga kesana. Selama di Jerman, alhamdulillah saya sekeluarga bisa naik haji," cetus pria berusia 40 tahun ini dengan paras bahagia.
Kini, setelah masa sulitnya terlewati, pria yang berprinsip `jalani hidup seperti air yang mengalir' ini sering hilir mudik ke mancanegara untuk urusan presentasi karya-karyanya. Sejumlah kota-kota cantik di dunia telah disinggahinya.
Bahkan dalam waktu dekat, ia pun akan mengajukan dirinya sebagai guru besar (profesor) di bidang yang digelutinya, filologi. "Never forget those who were with you when you were a nobody," pungkasnya seolah mengingatkan pribadinya.
Teks: Cucun Hendriana/ Foto: Rizki Rahmat